JAKARTA (IndependensI.com) – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia kembali surplus US$ 4,37 miliar pada September 2021, sehingga secara akumulatif sembilan bulan tahun ini mencapai surplus sebesar US$ 25,07 miliar. Angka ini jauh lebih bagus dibanding periode yang sama pada 2019 dan 2020.
Chief Economist Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW), Budi Hikmat, mengatakan trade surplus ini sudah kita alami sejak 17 bulan terakhir secara berturut-turut, yang sekaligus menjadi rekor terpanjang sejak 2011.
Melonjaknya trade surplus yang dilandasi kenaikan harga komoditas unggulan Indonesia merupakan berkah yang tidak boleh disia-siakan, baik pemerintah ataupun pelaku usaha yang berkaitan dengan ekspor komoditas. Ini adalah momentum yang sangat baik untuk memacu re-industrialisasi terutama di sektor pertambangan untuk memperkuat daya saing negara, keuangan pemerintah dan memacu kesempatan kerja.
Capaian trade surplus ini menjadi katalis positif bagi penguatan mata uang rupiah ditengah trend penguatan indeks dollar. Peningkatan penerimaan pemerintah sejalan kenaikan harga komoditas melandasi sentimen positif bagi Surat Berharga Negara (SBN). Supply risk SBN diharapkan menurun sehingga memungkinkan yield SBN tetap menarik ditengah risiko tren yield obligasi berbagai negara yang cenderung naik.
Membaiknya IDR currency risk dan SBN supply risk diatas melandasi optimisme capital inflow dana asing kembali menuju pasar modal Indonesia. Selama Januari hingga September 2021, dana asing masuk di pasar regular bursa saham Indonesia telah mencapai Rp 40 triliun. Bahkan seminggu terakhir saja mencapai Rp 4 triliun. Hal ini menandakan confident level investor global terhadap perekonomian Indonesia cukup tinggi.
Tingkat kepercayaan investor asing kepada bursa saham nasional menunjukkan membaiknya trade surplus yang didorong oleh tingginya harga komoditas unggulan dipercaya akan meningkatkan kinerja keuangan banyak perusahaan yang memiliki fokus di perdagangan komoditas. Mengingat eksposur komoditas unggulan seperti CPO, batubara dan nikel cukup besar pada kinerja ekspor nasional.
“Kita harus belajar untuk mengindari kekeliruan setelah super-cycle commodity booming 2000-2012 ketika penguatan daya beli masyarakat yang ditopang kenaikan harga komoditas ekspor ternyata berakhir dengan memburuknya defisit neraca berjalan,” ucap Budi.
Sebab lanjut Budi, bersamaan dengan trend eksternal penguatan dollar, memburuknya defisit neraca berjalan adalah faktor eksternal yang memicu memperlemah rupiah yang menakutkan investor asing dan memaksa Indonesia terus berutang.
Hal tersebut terjadi karena kita boros tidak memanfaatkan kenaikan pendapatan untuk hal yang produktif dan inklusif seperti yang pernah dilakukan administrasi Presiden Soeharto saat mengalami Oil Bonanza pada periode 1970-an.
“Setidaknya hingga kuartal I 2022, tren kenaikan harga komoditas unggulan kita diprediksi masih akan berlanjut terutama bagi komoditas batubara dan sumber energi lain,” tambahnya.
Namun, ke depan, pemerintah negara konsumen komoditas energi seperti China dan Eropa juga diprediksi akan melakukan intervensi untuk menurunkan harga komoditas energi yang sudah memicu lonjakan inflasi.
Namun revolusi new economy yang semakin memacu digitalisasi, penggunaan teknologi otomotif dan energi terbarukan dan rivalitas multi polar antar negara melandasi booming sektor mining yang harus dimanfaatkan pemerintah melalui akselerasi strategi hilirasi dan penguatan industri terkait guna meningkatkan nilai tambahnya.