Oleh : Djalan Sihombing
SEJAK dahulu kala, permasalahan “lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT)” baik masa sekarang, dan di masa mendatang menjadi permasalahan dan pembahasan yang tidak akan berhenti.
Permasalahan ini menimbulkan pro dan kontra antara sesama manusia, bernegara, dan umat beragama.
Merujuk pada Kitab Suci Alkitab, sejak semula, Tuhan menetapkan perkawinan terdiri pria (Adam) dan wanita (Hawa).
Dapat dimengerti mengapa Tuhan menciptakan wanita sebagai penolong, sebab hubungan perkawinan yang sah dan legal di hadapan Tuhan adalah pria dan wanita, bukan pria dengan pria atau wanita dengan wanita.
Hal ini juga disebutkan di Matius 19 ayat 5 : “Dan firman-Nya : Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging”. Sangat jelas, perkawinan Kristen terdiri dari pria dan wanita atau berlawanan jenis.
Perilaku seks menyimpang dalam Perjanjian Lama disebutkan di Kejadian 19 : 1-29. Dimana para pria dari Sodom, yang muda sampai dengan yang sudah tua mengepung rumah Lot, bermaksud memerkosa kedua malaikat yang ada di dalam rumah itu.
Pengaruh kisah ini memberitahukan bukti sejarah awal adanya dosa hubungan seks sesama jenis yang dibenci Tuhan.
Kejadian tersebut melahirkan istilah baru yakni sodomi dari kata Sodom, kota yang dimusnahkan Tuhan.
Pengakuan dan penerimaan sebagian gereja-gereja terhadap perilaku, perkawinan sejenis, lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT) menjadi permasalahan umat Kristiani di dunia termasuk Indonesia.
Menurut Pew Research Center, sudah 30 negara yang melegalkan perkawinan sesama jenis, baik secara nasional maupun di sejumlah daerah.
Negara-negara yang mengakui terutama di Eropa, Amerika Serikat, dan Amerika Latin. Hanya Taiwan yang berada di Asia.
Demokrasi digunakan gereja-gereja tertentu untuk melegalkan perkawinan sejenis.
Yang menjadi pertanyaan, apakah demokrasi bisa mengubah maksud dan otoritas Firman Tuhan?
Apakah hasil penelitian manusia (yang merupakan ciptaan Tuhan), boleh dipergunakan untuk mengubah maksud Tuhan tentang manusia itu sendiri?
Di dalam Firman Tuhan, sama sekali tidak ada satu ayat pun yang mengatakan perkawinan LGBT itu bukan dosa.
Tetapi dengan menggunakan demokrasi, maksud Tuhan diubah manusia itu sendiri.
Manusia mendasarkan demokrasi, hasil penelitian manusia, dan HAM atau kesetaraan hidup untuk melegalkannya.
Misalnya, Gereja Presbyterian di AS, melakukan pemungutan suara pada tanggal 19 Juni 2014, yang hasilnya 61 % pemilik hak suara setuju memberkati perkawinan sejenis.
Dalam pemungutan suara juga, 71 % mendukung Sinode Gereja untuk mengubah definisi perkawinan, yaitu seorang pria dan seorang perempuan diganti dengan definisi menjadi “dua orang setiap jenis kelamin”, untuk mengijinkan adanya perkawinan sesama jenis.
Bila demikian, apakah perkawinan itu masih kudus adanya? Apakah manusia berhak mengubah otoritas Firman Tuhan?
Di Amerika Serikat, keputusan mengejutkan diambil negara dalam hal ini Mahkamah Agung. Tanggal 26 Juni 2015 hari bersejarah buat kalangan LGBT, dengan memenangkan gugatan dari Jim Obergefell, Negeri Paman Sam akhirnya melegalkan perkawinan sejenis di seluruh negara bagiannya.
Obergefell merupakan pemimpin kaum LGBT AS, yang menyampaikan gugatan agar perkawinan sejenis bisa disahkan di AS. Tuntutannya tersebut dikabulkan oleh Hakim Anthony.
Hakim itu mengabulkan gugatan dari Obergeffel, setelah 5 dari 9 hakim anggota persidangan setuju mengesahkan permohonan legalisasi ini.
Alasan utamanya, “Tidak ada ikatan yang lebih tinggi dari perkawinan untuk mewujudkan cita-cita tertinggi dari cinta, kesetiaan, pengabdian, pengorbanan dan keluarga,” sebut Kennedy seperti dikutip dari CNN, Sabtu (27/6/2015).
Mereka meminta untuk disamakan haknya di mata hukum. Konstitusi telah mengabulkan hak mereka.
Bagaimana dengan gereja-gereja di Indonesia kaitannya dengan UU Perkawinan?
Di Indonesia berlaku Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
UU Nomor 1 tahun 1974, memiliki pertimbangan bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya UU tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.
Penjelasan Pasal 1 UU Nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, di mana Sila yang pertamanya ialah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting.
Membentuk keluarga yang bahagia rapat/erat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Dalam pasal 2 ayat 1 menyebutkan : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
Artinya, sahnya suatu perkawinan bila dilakukan menurut agama yang dianut calon yang mau kawin (kedua mempelai). Tugas negara mencatatkan perkawinan tersebut.
Masalah LGBT, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) telah membuat Pernyataan pastoral dengan surat Nomor 360/PGI-XVI/2016 tanggal 17 Juni 2016 perihal Pengantar Pernyataan Sikap PGI.
Apakah sikap PGI ini juga berdasarkan demokrasi, pertimbangan HAM dan mengacu hasil penelitian manusia ciptaanNya?
Bila dikaitkan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974, tentu pernyataan pastoral PGI sudah tidak sesuai dengan UU negara dimana gereja-gereja anggota PGI berada.
Lantas, PGI mau ke mana? Apakah PGI minta negara dan gereja-gereja untuk melegalkan perkawinan sesama jenis sementara itu bertentangan dengan ketentuan UU?
Seharusnya PGI, mendasarkan penggembalaan umat berdasarkan Firman Tuhan, tidak terikut-ikut arus global yang menghendaki perkawinan sesama jenis.
Katakan ya atau tidak, bukan berada pada posisi gray (abu-abu). Alkitab adalah Kitab Suci, bukan dokumen yang bisa diubah manusia.
Bila pendukung LGBT menggunakan ayat-ayat Alkitab sebagai dasar pertimbangannya adalah kekeliruan.
Charles Kimball mengutip Shakespeare yang mengatakan : “Setan pun bisa mengutip kitab suci untuk kepentingannya”. Bahkan Yesus sudah mengingatkan tentang nabi-nabi palsu.
PGI seharusnya memberikan penggembalaan pastoral berdasarkan Firman Tuhan sebagaimana tertulis dalam Alkitab, tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia termasuk UU Perkawinan tersebut, dan tidak mengacu pada ketentuan negara asing.
Ajaran cinta kasih, dimana sesama manusia harus saling mengasihi. Tetapi, harus bisa membedakan ajaran cinta kasih dengan apa yang dilarang oleh Tuhan pencipta alam semesta.
Memaknai Kasih bukan berarti membiarkan manusia itu berdosa, tetapi diingatkan dan membawa ke jalan yang benar agar tidak berbuat dosa.
Mengasihi sesama bukan berarti mengakui atau melegalkan kesalahan atau penyimpangannya.
Semoga tulisan ini dapat dipergunakan sebagai masukan kepada PGI dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam mempertimbangkan masalah LGBT di Indonesia.
Penulis adalah seorang advokat, anggota Jemaat HKBP, tinggal di Jakarta.