Tuntut Mati Heru Hidayat, Ini Sejumlah Pertimbangan Memberatkan dari Tim JPU

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Sidang kasus korupsi PT Asabri yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp22,78 triliun, Senin (6/12) kemarin memasuki pembacaan surat tuntutan dari tim jaksa penuntut umum (JPU) terhadap tujuh terdakwa sekaligus.

Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta yang berlangsung mulai dari siang sekitar pukul 13.30 WIB hingga berakhir pukul 22.45 WIB, tuntutan hukuman paling berat dibacakan Tim JPU terhadap terdakwa Heru Hidayat yaitu hukuman mati.

Sedangkan enam terdakwa lainnya yaitu Adami Damiri, Sony widjadja, Jimmy Sutopo, Bachtiar Effendi, Hari Setianto dan Lukman Purnomosidi dituntut hukuman antara 10 tahun hingga 15 tahun penjara.

Kapuspenkum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan persnya, Selasa (7/12) mengatakan sebelum menuntut hukuman mati ada sejumlah pertimbangan dari Tim JPU mengenai pemberatan pidana atas perbuatan dari terdakwa Heru Hidayat.

Pertimbangan yang memberatkan dari tim JPU antara lain dari kerugian keuangan negara kasus Asabri sebesar Rp22,78 triliun, dinikmati Heru sebesar Rp12,643 triliun yang sangat jauh diluar nalar kemanusiaan dan sangat menciderai rasa keadilan masyarakat.

Heru juga dinyatakan telah terbukti bersalah korupsi dalam perkara lain PT Asuransi Jiwasraya dengan nilai kerugian negara yang juga sangat fantastis sebesar Rp16,807 triliun.

“Dimana Heru juga menikmati dari kerugian keuangan negara tersebut sebesar Rp10,728 triliun,” ungkap Leo seraya mengutip pertimbangan JPU lainnya bahwa skema kejahatan terdakwa baik dalam kasus Asabri dan sebelumnya Jiwasraya sangat sempurna sebagai kejahatan yang complicated dan sophisticated.

Karena, tuturnya, dilakukan dalam periode waktu sangat panjang dan berulang-ulang, melibatkan banyak skema termasuk kejahatan sindikasi yang menggunakan instrument pasar modal dan asuransi.

“Selain menggunakan banyak pihak sebagai nominee dan mengendalikan sejumlah instrumen di dalam system pasar modal, serta menimbulkan korban baik secara langsung dan tidak langsung yang sangat banyak dan bersifat meluas,” ucapnya.

Dia menyebutkan akibat perbuatan terdakwa secara langsung telah menyebabkan begitu banyak korban anggota TNI, Polri dan ASN/PNS di Kemenhan yang menjadi peserta di PT Asabri.

“Termasuk pula korban-korban yang meluas terhadap ratusan ribu nasabah pemegang polis pada PT Asuransi Jiwasraya yang tentu juga berdampak sangat besar dan serius bagi keluarganya,” ujarnya.

Perbuatan terdakwa, katanya lagi, mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat dan menghancurkan wibawa negara. “Karena telah menerobos sistem regulasi dan sistem pengawasan di Pasar Modal dan Asuransi dengan sindikat kejahatan yang sangat luar biasa berani, tak pandang bulu, serta tanpa rasa takut yang hadir dalam dirinya dalam memperkaya diri secara melawan hukum.”

Leo menyebutkan tim JPU dalam pertimbangannya juga menilai terdakwa tidak memiliki sedikitpun empati dengan beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperolehnya secara sukarela serta tidak pernah menunjukkan perbuatan yang dilakukannya adalah salah.

“Bahkan sebaliknya dengan sengaja berlindung pada suatu perisai yang sangat keliru dan tidak bermartabat bahwa transaksi di pasar modal adalah perbuatan perdata yang lazim dan lumrah,” tuturnya.

Dikatakannya juga terdakwa dalam sidang tidak menunjukkan rasa bersalah, apalagi suatu penyesalan sedikitpun atas pebuatan yang telah dilakukannya, telah jelas mengusik nilai-nilai kemanusiaan dan rasa keadilan sebagai bangsa yang sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Perbuatan yang dilakukan terdakwa juga merupakan perbuatan mengulang karena telah melakukan perbuatan korupsi dalam kasus Jiwasraya dan Asabri, “Dimana keduanya bisa dipandang sebagai suatu niat dan objek yang berbeda, meskipun periode peristiwanya bersamaan yaitu kasus Jiwasraya sejak tahun 2008 hingga 2018 dan Asabri sejak tahun 2012 hingga 2019,” ucap Leo.
                                                                                                     Bukan Unsur Perbuatan

Terkait dakwaan tidak menyebut pasal 2 ayat (2), menurut Tim JPU, frase “Keadaan tertentu” sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (2) adalah pemberatan pidana dan bukan sebagai unsur perbuatan.

Hal tersebut, tutur Leo, dicantumkan secara tegas dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 yaitu yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi…”

Dalam penjelasan umum UU Nomor 20 tahun 2001 juga dinyatakan bahwa: “Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan Pemberatan Pidana”.

Oleh karena itu, kata Leo, dengan tidak dicantumkannya pasal 2 ayat (2) tidaklah menjadi soal terhadap dapat diterapkannya pidana mati karena hanya sebagai alasan pemberatan pidana.

“Karena keadaan tertentu berdasarkan karakteristiknya yang bersifat sangat jahat, maka terhadap fakta-fakta hukum yang berlaku bagi terdakwa Heru Hidayat sangat tepat dan memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana mati,” ucap Leo.

Sebelum menuntut hukuman mati Tim JPU dalam persidangan menyatakan Heru Hidayat terbukti bersalah korupsi melanggar pasal 2 ayat (1)  jo pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan pasal 3 Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang


Tim JPU juga menuntutnya untuk membayar uang pengganti sebesar Rp12,643 triliun yang jika tidak dibayar maksimal dalam waktu satu bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi kerugian negara.(muj)