JAKARTA (IndependensI.com) – Perlindungan pengungsi dan percepatan proses perundingan damai di Papua harus menjadi perhatian pemerintah pusat, kata Amnesty International Indonesia hari ini, setelah bersama-sama Majelis Rakyat Papua (MRP) menemui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud MD.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena serta Media Officer Amnesty International Indonesia Karina Tehusijarana mendampingi Ketua MRP Timotius Murib, Wakil Ketua MRP Yoel Mulait, serta Koordinator Tim Kerja Otsus MRP Benny Sweny untuk menyerahkan langsung 12 keputusan kultural MRP sepanjang 2021-2022 kepada Menkopolhukam di kantor ruang Nakula, Kemenkopolhukam, pada Jum’at (5/8).
Himpunan 12 keputusan kultural itu di antaranya, keputusan tentang penghentian kekerasan dan diskriminasi oleh aparat penegak hukum terhadap Orang Asli Papua (OAP) dan keputusan tentang perlindungan perempuan dan anak di wilayah konflik seperti Intan Jaya, Puncak, dan Nduga, Provinsi Papua.
“Keputusan-keputusan ini penting untuk memberikan perlindungan dan afirmasi terhadap masyarakat orang asli Papua. Yang paling mendesak adalah penghentian praktik diskriminasi dan kekerasan aparat dalam proses penegakan hukum, serta perlindungan anak dan perempuan di wilayah konflik seperti Intan Jaya,” kata Timotius dalam pertemuan tersebut.
Yoel juga secara khusus meminta kepada pemerintah untuk memberi atensi khusus terhadap pengungsi di daerah-daerah konflik seperti Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Nduga, dan Kabupaten Puncak.
“Usulan kami adalah dibentuk tim pencari fakta di bawah Kemenkopolhukam terkait dengan penanganan pengungsi. Bukan untuk menyalahkan pihak-pihak tertentu. Tetapi untuk mengidentifikasi kebutuhan pengungsi dan menunjuk instansi relevan lainnya demi memenuhi kebutuhan pengungsi,” kata Usman.
Menurut Prinsip-Prinsip tentang Pengungsi Internal dari Kantor Komisioner Tinggi untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan bantuan kemanusiaan kepada semua pengungsi internal yang berada dalam wilayahnya. Pengungsi internal yang tidak atau sudah berhenti berpartisipasi dalam pertempuran juga tidak boleh diserang dalam situasi apa pun.
Amnesty dan MRP juga meminta kepada Menkopolhukam untuk memastikan bahwa dialog atau perundingan damai yang sebelumnya sudah diinisasi oleh Dewan Gereja Papua (DGP), dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terus berjalan untuk memastikan keamanan dan perlindungan HAM warga sipil di Papua.
Menkopolhukam mengatakan menerima dengan baik masukan dari MRP maupun Amnesty dan akan menindaklanjutinya.
“Konstitusi kita memang memberi perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat. Perihal pengungsi, kami telah berusaha tangani. Tapi kami masih memerlukan masukan data-data yang akurat tentang keberadaan mereka dan apa kebutuhannya,” kata Mahfud.
Mahfud juga menegaskan kembali telah membicarakan laporan penelitian Amnesty International terkait pengelolaan sumber daya alam berupa rencana penambangan emas di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua.
“Saya telah membahasnya dengan sejumlah menteri, termasuk Menko Kemaritiman dan Investasi, Menteri ESDM, Menteri BUMN, serta Menteri Investasi. Kami pastikan itu baru merupakan simulasi. Jika jadi, kami akan menyerahkannya pada Pemda dahulu,” jelas Mahfud.
Amnesty berharap bahwa keputusan MRP sebagai representasi kultural masyarakat adat di Papua didengar dan dihormati oleh pemerintah pusat dan hak mereka atas hidup dilindungi. []