JAKARTA (Independensi.com) – Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menunjukkan ketidaktahuan ketika berbicara mengenai sagu untuk mengantisipasi kalau terjadi krisis beras. Sebab, harga sagu jauh lebih mahal keitmbang beras, sehingga jalan keluar yang disampaikan terkesan omong kosong.
“Kalau saya ditanyai, ya aneh saja, mereka koar-koar soal food estate, yang tentu didukung anggaran Negara. Tetapi, sagu dijadikan andalan kalau terjadi krisis. Sementara harga sagu jauh lebih mahal dari beras. Apa ini bukan omong kosong? Persoalan pangan serius tetapi kok solusinya omong kosong,” kata Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina ketika dihubungi wartawan di Jakarta, Sabtu (8/10/2022).
Engelina dimintai tanggapan sebab beberapa hari lalu, Menteri Pertanian menyampaikan dalam pidatonya yang dikutip media, kalau terjadi krisis beras, maka cukup dengan membabat satu juta hektar sagu yang ada di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Menurut Engelina, sebenarnya Mentan menawarkan solusi yang benar-benar menjawab masalah. Untuk membeli beras saja sudah susah, apalagi membeli sagu yang harganya hampir dua atau tiga kali dari harga beras.
“Misalnya, di Ambon, harga sagu itu bisa mencapai Rp 400 ribu per 20 kg. Dengan uang yang sama sudah bisa memperoleh 50 kg beras. Solusinya akan benar kalau produksi sagu tinggi, sehingga orang bisa membeli dengan harga yang lebih terjangkau. Itu kan jadi asal omong tanpa tahu harga sagu di lapangan. Berarti dia kira sagu lebih murah ya,” kata Engelina.
Menurut Engelina, kalau seorang Mentan memiliki solusi untuk memanen pangan yang mereka tidak pernah dipedulikan, maka bisa jadi pesan tersirat kalau food estate yang diidolakan selama ini sekadar pencitraan.
“Kalau begini, jujur saja, saya ragu program food estate itu berjalan baik di lapangan. Waktu akan menjawab itu. Sebab, kalau berjalan baik tidak perlu Menteri khawatir krisis beras dan melirik sagu yang telah lama dilupakan,” jelas Engelina.
Engelina mengatakan, sebenarnya kalau pemerintah di berbagai level serius untuk mengutamakan pangan lokal, maka tidak mungkin terjadi krisis pangan, karena keberagaman pangan lokal yang dimiliki Indonesia.
“Ketika sekitar tahun 1920, saat wabah flu Spanyol dan Pulau Jawa dilanda kekeringan yang menyebabkan kesulitan pangan, itu mendapat bantuan pasokan sagu dari Maluku. Tetapi, pemerintah terlalu mengutamakan impor pangan, sehingga lupa akan potensi pangan lokal yang sangat besar,” tegasnya.
Selain itu, kata Engelina, cara pandang Menteri Pertanian sangat memprihatinkan, karena memilih cara tinggal memanen hutan sagu, yang mungkin sekali mereka tidak pernah peduli. Dia menegaskan, potensi sagu terbesar itu ada di Papua dan Maluku.
“Pak Menteri, kawasan timur itu kawasan miskin atau dimiskinkan. Papua dan Maluku itu juara dalam kemisknan. Kok tiba-tiba mau mengandalkan pangan orang yang sudah miskin untuk mengatasi masalah krisis pangan. Ketika berpesta lupa orang miskin, ketika kelaparan ambil bagian orang miskin. Kalau tak mampu urus Negara ya jangan coba-cobalah,” tegasnya.
Engelina menegaskan, Menteri Pertanian perlu memahmi lebih baik, sehingga tidak melihat daerah, seperti Maluku dan Papua itu sekadar sebagai cadangan pangan atau cadangan ikan dan sebagainya. “Kalau kita Tanya, berapa anggaran yang digelontorkan untuk sagu atau apa kebijakan untuk memperkuat pengolahan sagu dan sebagainya, bisa dijelaskan dan apakah benar ada keberpihakan terhadap sagu, sehingga begitu percaya diri seolah tanaman sagu milik Negara,” katanya.
Engelina yang juga tokoh dari kawasan timur ini mengatakan, sejauh yang diikuti, pemerintah hanya memperkuat infrasstruktur yang berkaitan dengan pertanian, seperti bendungan, irigasi, waduk dan food estate yang di Kalimantan dan berbagai tempat. Untuk itu, katanya, sangat mengejutkan ketika tiba-tiba Menteri Pertanian menyadari sagu sebagai pangan yang diandalkan kalau terjadi krisis.
“Kebanyakan bicara soal food estate, yang kita tidak tahu, apakah biaya yang dikeluarkan seimbang dengan hasil yang diperoleh. Saya kira, food estate itu kan pasti ada pengadaan bibit, pengadaan traktor dan sebagainya, yang tentu harganya tidak kecil. Tetapi, untuk apa juga kalau akhirnya hanya mengandalkan hutan sagu. Atau untuk apa juga ada menteri pertanian, kalau hanya bisa ambil dari alam,” kata Engelina.
Engelina mengharapkan, agar Pemerintah benar-benar menyiapkan satu desain kesejahteraan bagi kawasan timur, sehingga kawasan ini terangkat dari kemiskinan. Apa yang dilakukan selama ini sudah terbukti tidak mampu mengangkat kawasan ini dari kemiskinan, sehingga perlu memikirkan satu terobosan yang konsisten, terarah dan terukur. “Kalau tidak ada terobosan kebijakan, saya kira tidak akan mampu untuk mengatasi kemiskinan di kawasan ini,” tegasnya.
Lahan Sagu Terancam
Sementara itu, Pakar Pertanian dari Universitas Pattimura Ambon, Prof. Dr. Ir. John M. Matinahoru secara terpisah mengatakan, secara pribadi wacana Menteri Pertanian untuk mengganti beras dengan pangan sagu sangat mungkin bagi Papua, Maluku dan Riau, karena merupakan pangan utama mereka sejak nenek moyangnya.
“Tapi mungkin bagi provinsi lain bermasalah. Harus ada kecukupan dana untuk kajian penelitian bagaimana sagu disenangi sebagai pangan subtitusi,” katanya.
Menurut John Matnahoru, sebenarnya permasalahan yang dihadapi saat ini, dimana banyak lahan-lahan sagu yang berubah menjadi areal sawah, sehingga luas lahan sagu semakin berkurang. Untuk itu, katanya, diperlukan produk hukum berupa peraturan pemerintah untuk menjaga dan melindungi ekosistem sagu agar tidak terancam punah di masa depan.
Dia menambahkan, dari berbagai kajian yang sempat diikuti, ternyata makanan sagu jauh lebih sehat daripada makan nasi. Tetapi, hal ini mungkin lebih tepat dijelaskan ahli gizi atau dari ilmu kesehatan. (*)