Direktur PT Bank OCBC NISP Diperiksa Sebagai Saksi Korupsi Pembangunan Pabrik PT KS

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Kejaksaan Agung kebut penuntasan kasus dugaan korupsi terkait pembangunan
pabrik blast furnace oleh PT Krakatau Steel (KS) pada tahun 2011 dengan kembali memeriksa dua orang saksi hari ini di Gedung Bundar pada JAM Pidsus, Jakarta.

Salah satu diantaranya yang diperiksa melalui tim jaksa penyidik pidana khusus yakni saksi S selaku Direktur PT Bank OCBC NISP. Sedangkan satu saksi lainnya yakni RHD selaku Ahli PT Amythas.

Belum diketahui keterangan atau kesaksian apa yang sangat penting digali tim jaksa penyidik dari kedua saksi tersebut guna membuat  semakin terang benderang kasus yang sedang disidik.

Namun yang jelas menurut Kapuspenkum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana pemeriksaan terhadap kedua saksi untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan pabrik blast furnace oleh PT KS tahun 2011.

“Kedua saksi yakni S dan RHD masing-masing diperiksa untuk enam orang tersangka yaitu tersangka FB, ASS, BP, HW alias RH dan MR,” kata Sumedana dalam keterangannya, Selasa (1/11/2022).

Adapun kasus yang menjerat para tersangka berawal ketika PT KS pada tahun 2011-2019 ingin membangun Pabrik Blast Furnace Complex yaitu pabrik untuk memproses produksi besi cair (hot metal) dengan menggunakan bahan bakar batubara (kokas).

“Tujuannya untuk memajukan industri baja nasional dengan biaya produksi lebih murah karena jika memakai bahan bakar gas, maka biaya produksi lebih mahal,” tutur Sumedana.

Selanjutnya Direksi PT KS menyetujui pembangunan pabrik BFC dengan bahan bakar batubara berkapasitas 1,2 juta ton/tahun hot metal. Adapun pemenang lelang proyek atau kontraktornya yaitu MCC CERI konsorsim dengan PT Krakatau Engineering.

Sedangkan nilai kontrak untuk pembangunan pabrik dengan sistem turnkey atau terima jadi sesuai dengan kontrak awal Rp4,7 triliun. Namun hingga addendum ke empat membengkak menjadi Rp 6,9 Triliun.

Dikatakan Sumedana bahwa ternyata dalam pelaksanaan perencanaan, tender/lelang, kontrak dan pelaksanaan pembangunan diduga telah terjadi penyimpangan. “Selain hasil pekerjaan BFC saat ini mangkrak karena tidak layak dan tidak dapat dimanfaatkan dan terdapat pekerjaan yang belum selesai dikerjakan.”

Dia menyebutkan akibat perbuatan para tersangka diduga merugikan keuangan negara sebesar senilai kontarak Rp6,9 triliun. Adapun para tersangka disangka melanggar pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 jo pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(muj)