Dr. Maruly H. Utama. (ist)

KPU dan Kiamat Kecil Demokrasi

Loading

Oleh: Dr. Maruly H. Utama*

JAKARTA (Independensi.com) – Tulisan ini bukan merupakan hasil penelitian, juga bukan karya jurnalistik. Judulnya saja sudah secara tegas mewakili bahasa kaum miskin kota.

Adalah sebuah kekonyolan jika ada yang menilai tulisan ini sebuah karya ilmiah. Sama konyolnya dengan sikap reaksioner seorang Menko yang mengatakan “ada main” (Lihat YouTube Kemenko Polhukam) dalam menanggapi keputusan PN Jakpus atas gugatan No.757/Pdt.G/2022 yang diajukan pada 8 Desember 2022.

Putusan PN Jakpus memerintahkan KPU menghentikan sisa tahapan Pemilu terhitung sejak putusan dibacakan pada Kamis 2 Maret 2023 selama 2 tahun 4 bulan 7 hari.

Dengan lugas dapat katakan PN Jakpus memerintahkan KPU untuk menunda Pemilu hingga April 2025.

Spekulasi “ada main” Menko seperti kode jika tidak ingin dikatakan menjadi aba-aba
dimulainya orkestra menolak Putusan PN Jakpus dengan munculnya spekulasi baru dengan mengatakan Prima ditunggangi, membahayakan demokrasi, putusan salah kamar hingga cek ombak (periksa situasi).

Tidak ketinggalan stasiun TV dalam acara debatnya yang mengundang narasumber amplop, intelektual genit dan pengamat bayaran. Seperti di komando, sikap mereka seragam dan ngawur dengan menjustifikasi putusan PN adalah kiamat kecil bagi demokrasi. Cara berpikirnya mungil seperti liliput.

Belakangan baru diketahui setelah melihat wawancara Menko dengan wartawan media Kompas Group. Bahwa sikap reaksioner Menko karena dimarahi oleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Saya biasa memanggilnya Tante Ega.

“Malam-malam saya ditelpon, ibu marah-marah atas putusan PN Jakpus” ujarnya.

Operasi “pengeroyokan” terhadap Prima yang dipimpin Menko ternyata karena telpon Tante Ega. Entah apa isi pembicaraan yang katanya marah-marah dalam sambungan telpon itu sehingga membuat Menko menjadi kalap dengan menuduh hakim ada main dan menyerukan perlawanan atas Putusan PN Jakpus.

Kita adalah bangsa yang lahir dari gejolak Revolusi Agustus 45 yang sudah teruji oleh
sejarah. Pernah melakukan penundaan Pemilu tahun 1971-1977. Pernah juga melakukan percepatan Pemilu 1997-1999. Lalu mengapa Putusan PN Jakpus disikapi seperti mendengar suara sangkakala pertanda dimulainya hari kiamat?

Dalam situasi seperti ini saya merindukan intelektual seperti Bung Dr. Arief Budiman.
Sengaja saya tidak menuliskan gelar Prof dan Alm. Tidak menuliskan gelar Prof karena setelah mendapat gelar Prof beliau jadi moderat juga. Tidak menuliskan alm karena bagi saya beliau tidak pernah mati karena jika rindu – seperti saat ini – saya selalu membaca buku-bukunya.

Statemennya menjadi motivasi dan tidak pernah mengambil posisi netral. Selalu berpihak pada gerakan.

Belajar Demokrasi

Beberapa pengurus Prima adalah teman-teman saya di gerakan. Karenanya saya sedikit banyak mengenal cara berpikir Prima. Mereka adalah orang-orang yang belajar dan memahami demokrasi bukan dalam ruang kelas.

Periode 80an hingga 90an awal adalah generasi yang belajar demokrasi dengan membaca buku “terlarang” dikamar kos berukuran 2x3m dengan resiko penjara. Hasil bacaan itu kemudian didiskusikan lalu dibawa masuk kedalam lorong kehidupan rakyat. Dipraktekkan bersama teman mahasiswa, buruh, petani, seniman dan kaum miskin perkotaan. Hidup dan belajar demokrasi bersama rakyat.

Dari sanalah muncul slogan yang paling ditakuti Regim Orde Baru. Satu Perlawanan Satu Perubahan, Rebut Demokrasi! Setiap aksi massa terdapat spanduk yang bertuliskan slogan ini pasti chaos. Dilokalisir, dipukul lalu ditangkap untuk dibawa ke kantor Polisi.

Keluar dari kantor polisi, istirahat sebentar di rumah untuk meyakinkan keluarga bahwa kita tetap baik-baik saja. Setelahnya kembali ke wilayah basis untuk melakukan pengorganisiran dalam kerangka merebut demokrasi. Begitu seterusnya dan tidak berhenti sebelum kediktatoran Orde Baru terguling.

Tidak mengherankan jika orang-orang yang memiliki pengalaman seperti ini memahami demokrasi substantif, demokrasi yang membuka ruang partisipasi rakyat seluas-luasnya untuk kesejahteraan bersama.

Mereka bukan aktivis gerakan tituler.

Berbeda dengan intelektual salon dan pengamat bayaran yang bacaannya buku-buku legal formal tentang demokrasi. Membacanya pun dengan nyaman diruang ber AC sambil rebahan dan mulutnya tidak berhenti mengunyah cemilan.

Diskusinya dari kafe ke kafe atau hotel berbintang. Bicaranya tidak substantif, berkutat pada problem demokrasi prosedural. Tapi pasar menyukai itu, sehingga tetap riuh walau tanpa makna.

Prima muncul untuk memasok kesadaran rakyat tentang demokrasi substantif.

Harapan Rakyat

Tidak pernah ada Prima tanpa slogan Satu Perlawanan Satu Perubahan Rebut Demokrasi. Prima benar-benar mempesona. Mereka memiliki kesabaran yang mengagumkan, kesabaran revolusioner.

Untuk menjadi seperti ini, saya harus belajar banyak pada Bung Kelik “nganu” Ismunanto, aktor intelektual Prima yang tidak pernah muncul dan tetap bekerja disaat yang lain sudah terlelap. Takjub.

Pasca Pemilu 99 dan PRD gagal masuk parlemen, banyak kader yang pergi. Berpolitik melalui partai lain atau menekuni profesi sesuai kemampuannya untuk membangun basis ekonomi. Sebagian kawan yang mengagumkan ini tetap di PRD dengan menghadapi segala dinamikanya.

Pemilu 04 mereka membentuk Popor dan gagal ikut Pemilu. Pemilu 09 koalisi dengan PBR dan lagi-lagi gagal masuk parlemen. Pemilu 14 dan 19 melakukan moksa.

Sekarang, Prima sedang menjalankan takdir sejarahnya untuk ikut menjadi peserta Pemilu 2025.

Dari awal tuntutan Prima hanya sebatas menjadi peserta Pemilu. Tetapi Putusan PN Jakpus yang mengakomodir keinginanan Prima melebihi target maksimal. Tuhan tidak main-main dalam memberikan momentum pada Prima untuk membawa isu yang elitis menjadi isu kerakyatan.

Kehadiran Prima pada Pemilu 2025 harus mampu menjawab problematika rakyat. Suap menyuap yang dilakukan panitia Pemilu dan Partai Politik. Jual beli suara, untuk soal ini rakyat paling mengerti nominal harga suara ditingkat DPRD Kab/Kota, DPRD Prop hingga DPR RI.

Praktek kecurangan seperti ini yang harus dieliminir. Yang mampu melakukan ini
hanya Prima. Sebab Partai lain tutup mata pada praktek kecurangan ini, hanya peduli pada Pemilu yang harus berjalan normal dan kepentingan Partai terakomodir dalam parlemen.

Sejarah selalu berulang. Jika dalam Pemilu 2025 masih ada praktek kecurangan jual beli suara maka Caleg Prima akan mencatat dan melaporkan ke Bawaslu. Jika Bawaslu tidak merespon maka Prima menuntut ke lembaga lain yang berkompeten seperti PN Jakpus. Prima pasti dimenangkan lagi.

Prima bukan partai para malaikat yang tidak mau berbuat curang, mereka tidak bisa! Jangankan buat mengalokasikan dana untuk curang, logistik yang ada buat bertahan saja pasti sudah minus. Saya meragukan pengajuan kredit mereka via pinjol bisa disetujui.

Tagline Prima sebagai Partai Rakyat Biasa tercermin dalam penampilan para kadernya. Nampaknya tidak ada yang menggunakan pomade agar rambutnya tetap rapi walau tertiup angin, seragamnya juga biasa digunakan rakyat kebanyakan. Tidak ada yang menggunakan sepatu branded dengan merek Aldo Brue yang hanya bisa di beli di Pasific Place dikawasan SCBD. Justeru pada Partai yang seperti ini rakyat berharap banyak, jangan meninggalkan rakyat dengan mencabut gugatan.

Selain Menko, sayup-sayup saya mendengar Tante Ega juga memarahi Komisioner KPU. Idealnya setelah memarahi KPU, Tante Ega bisa menggunakan pengaruhnya untuk mencopot dan mengganti semua anggota KPU yang sejak pelantikan hingga hari ini selalu menjadi sumber masalah. Dari masalah tahapan Pemilu hingga skandal seks dengan wanita emas.

Jika perempuan paling berkuasa di Republik ini telah mengekpresikan kepanikannya berarti sudah benar langkah “kuda” Prima. KPU boleh untuk melakukan banding, boleh juga untuk tidak mematuhi putusan PN Jakpus dengan tetap melanjutkan tahapan Pemilu. Bahkan KPU boleh punya seribu keinginan anarkis lainnya, tetapi harus sadar diri bahwa tidak semua keinginan itu bisa terpenuhi.

Kiamat kecil sangat mungkin terjadi, tapi ia hanya berlaku untuk Tante Ega, Menko,
intelektual salon, pengamat bayaran dan KPU. Tidak untuk rakyat!

*Penulis, Dr. Maruly H. Utama, dosen pasca sarjana Universitas Pasundan, Bandung.
Ketua SMID (Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi) cabang Bandung 1994-1996.