TB Hasanuddin : Bung Karno Tak Bisa Dilepaskan Dari Bandung & Sunda

Loading

Jakarta- Politisi PDI Perjuangan TB Hasanuddin menyatakan, nama Presiden RI pertama Sukarno atau Bung Karno tidak bisa dilepaskan dengan Bandung dan juga kebudayaan Sunda. Meski tak lahir di tanah Pasundan, namun Bung Karno punya kenangan tak terlupakan dari Bandung.

Perjuangan politik yang berujung penjara karena aksi Indonesia Menggugat hingga perumusan Marhaenisme menjadi bukti Bandung punya tempat istimewa di hati Bung Karno.

“Bung Karno pernah mengatakan, hanya Bandunglah aku kembali kepada cintaku yang sesungguhnya. Bahkan nama Bung Karno sendiri juga melekat di hati masyarakat Jawa Barat, wabil khusus Bandung sebagai goresan memori indah,” kata TB Hasanuddin dalam keterangan tertulisnya, baru-baru ini.

Hasanuddin mengungkapkan, Bung Karno telah aktif terjun ke masyarakat Jawa Barat melalui mekanisme door to door untuk mendengar aspirasi yang beredar di kalangan masyarakat.

“Founding father kita ini luar biasa hebatnya, di usia muda turun door to door kalau dalam bahasa sekarang menampung aspirasi. Jurus jitu yang beliau lakukan ialah dengan menguasai bahasa Sunda sehingga mudah di terima masyarakat,” jelasnya.

Menurutnya, salah satu tercetusnya teori Marhaenisme adalah saat Bung Karno muda bertemu dengan seorang petani bernama Mang Aeng. Dari situlah, teori tersebut dicetuskan dan dikenal hingga sekarang.

“Bung Karno tiba di sebuah wilayah persawahan dan ia bertemu dengan seorang petani bernama Mang Aeng, aslinya adalah Ki Marhaen. Bung Karno berdiskusi dalam bahasa Sunda tentang luas tanah, alat produksi, apa yang dimiliki dan bagaimana akses Mang Aeng. Dari situlah, Bung Karno membuat teori bahwa inilah yang harus diperjuangkan bangsa kita, akhirnya terkenal dengan nama Marhaenisme,” terang Anggota Komisi I DPR RI tersebut.

Dalam sebuah pidato, kata TB Hasanuddin, Bung Karno juga menyebut bahwa rakyat Indonesia yang nasibnya seperti Mang Aeng, apakah itu petani, buruh dan lain sebagainya kemudian dinamai menjadi Marhaen.

“Berangkat dari perjalanan Bung Karno menemui masyarakat, menggaungkan konsep dasar kebangsaan, beliau membentuk semacam grup diskusi politik yang berisikan tokoh-tokoh masyarakat di Bandung bernama Algemenee Studie Club,” ujar TB Hasanuddin.

Grup diskusi politik Bung Karno inilah yang kemudian mengirimnya ke balik jeruji besi. Belanda, kata TB Hasanuddin, merasa risau dan khawatir terhadap pergerakan Bung Karno, akhirnya didakwa melakukan pemberontakan.

“Bung Karno kemudian ditahan di rumah tahanan Banceuy. Tempat tahanan yang sangat sempit. Hanya 1,5 x 2,5 meter sudah termasuk wc non-permanen. Di sana Bung Karno justru membuat pledoi dengan pensil dan kertas dalam posisi serba terbatas. Pledoi itu disampaikan di depan pengadilan dengan judul Indonesia Menggugat,” paparnya.

Dalam pledoi tersebut, Bung Karno dengan berani memaparkan tentang konsep perlawanan atas penindasan yang dilakukan oleh kolonialisme dan imperialisme kepada sebuah bangsa.

“Pledoi Bung Karno itulah yang kemudian menjadi dasar pemikiran para pemimpin-pemimpin dunia. Betapa luar biasanya Bung Karno, dalam kondisi terhimpit beliau tetap menyuluhkan api perjuangan. Bahkan, ketika Bung Karno kemudian dipindahkan ke dalam tahanan Sukamiskin, beliau tetap menulis yang pada akhirnya saat ini karyanya kita kenal dengan Di Bawah Bendera Revolusi,” ujar Hasanuddin.