UBUD Gianyar (Independensi.com) – Perupa Made Djirna kembali menggebrak dunia seni dengan menampilkan pergelaran bertajuk ‘Sow, Sprout, Flourish’ dalam prosesi peletakan prasasti karya instalasi di Museum ARMA, Jumat 5 Januari 2024.
Made Djirna menghadirkan 30 anggota Sanggar Nitiswargi, Kedewatan, Ubud yang seluruhnya berpakain dari rangkaian tapis, klaras, dan bahan alami lain.
Mereka memasuki arena di depan karya seni instalasi Made Djirna sambil memainkan alat tabuh dan bebunyian alam seolah membawa pesan dan nuansa masa lalu, awal mula para leluhur hadir di bumi dan mengawali kehidupan yang lekat dengan alam.
Kemudian, seorang penari, Ananda Gayatri, dengan tubuh berbalut busana tridatu menggerakkan seluruh anggota tubuh, meliuk dan mengitari artefak bebatuan yang telah dililit akar pohon beringin.
Sementara performing art terus berlangsung, perupa Made Djirna merespons peristiwa ini dengan melukis di atas kain sekitar 25 meter yang terbentang mengelilingi area di depan karya seni instalasi.
“Ini persembahan kami menjelang akhir pameran sekaligus memaknai tahun baru dan prosesi peletakan prasasti pada seni instalasi di Museum ARMA,” kata Made Djirna.
Sejak 18 Desember 2023 lalu Djirna berpameran tunggal menampilkan 40 karya retrospektif di Museum ARMA Ubud hingga 14 Januari 2024 yang dikuratori Alexander Goetz.
Seni instalasi karya Made Djirna yang terletak di sebelah panggung terbuka Museum ARMA itu bertajuk “Numpang Lewat: Tumbuh dan Berkembang Bersama” yang dikerjakan saat pandemi Covid-19 dan telah dipelaspas (diupacarai) ada 2021 lalu.
Kini, di karya tersebut dipasang prasasti yang menarasikan karya berbahan ijuk, batu padas, batu apung, dan bahan alami lainya yang diperoleh Djirba dari sungai, hutan, dan pantai.
Melalui karya ini Djirna ingin mengajak berdialog mengenai keberadaan manusia baik sebagai pribadi maupun makhluk sosial seraya membahas kembali gagasan tentang ruang dan waktu serta kaitannya terhadap proses kehidupan kita.
Menurut Djirna dalam setiap kesempatan waktu, kita selalu numpang lewat suatu ruang yang menjadi wadah bertumbuh dan berkembang, baik secara perorangan maupun sebagai pasangan, keluarga, kelompok, suku, bangsa dan masyarakat global.
Pada ruang dan waktu ini perkembangan manusia tidak lepas dari interaksi semesta dan lingkungan sekitar yang tumbuh dan berkembang sesuai hakikat dan mewujudkan eksistensialismenya.
“Mengikuti kaidah ruang dan waktu serta kebersamaan, ihwal yang tejadi dan dialami masing-masing pribadi akan terus melintas ke berbagai lapisan kehidupan yang menciptakan untaian dari diri pribadi ke masyarakat dan kembali lagi ke pribadi masing-masing,” tuturnya.
Djirna menyebut tindakan kita dalam suatu ruang dan waktu akan meninggalkan jejak baik atau buruk tergantung pada niat dan dampaknya bagi lingkungan sekitar kita.
Gagasan itulah yang diwujudkan Djirna melalui karya instalasi “Numpang Lewat: Tumbuh dan Berkembang Bersama” (2021) yang kini telah dibelit akar pohon beringin, sesuai dengan hukum alam dan lingkungan.
Owner Museum ARMA Anak Agung Gde Rai mengatakan karya seni instalasi Djirna yang berada di kawasan museum ini sebagai karya partisipatori yang terus berkelanjutan dan melibatkan lingkungan secara alami.
“Pesan Djirna sangat kuat bahwa manusia yang dikaruniai bakat seharusnya memupuknya agar dapat berkembang dan memberikan sumbangsih bagi kebudayaan, kehidupan dan lingkungan secara luas,” katanya.
Made Djirna (lahir 1957) merampungkan studi di ASRI (kini ISI) Yogyakarta pada 1985 dan kini dikenal dengan eksplorasinya yang menggemakan isu-isu tentang kehidupan.
Karyanya dijiwai pengalaman hidup yang merupakan cermin dari kesadaran diri terdalam atas seni dan perjalanan hidupnya.
Djirna menggunakan berbagai teknik dan perspektif serta tidak membatasi diri pada genre tertentu. Pada karya dua dimensi bermain dengan warna dan tekstur yang menjadi corak untuk menopang bentuk rupa dari eksplorasi garis.
Pada karya patung dan instalasinya, terdapat eksplorasi bentuk dan ruang (spasial dan suasana) yang merupakan eksplorasinya atas bahan-bahan alami (seperti kayu, batu, tanah), baik yang dia olah dari awal maupun yang didapat sebagai ready-made atau found object.
Secara keseluruhan, perupaan karya Djirna beranjak dari pengalaman diri pribadi dan medium yang dieratkan dengan filosofi kehidupan tradisi Bali dan pencarian artistik serta estetika seni yang diperlakukan sesuai konteks ruang dan waktu.
Djirna telah menerima banyak penghargaan dan diundang dalam berbagai pameran tunggal maupun kelompok di sejumlah galeri serta museum di Indonesia, Australia, Belanda, Guam, Singapura, dan Swiss.
Karya Djirna telah menjadi bagian dari perhelatan seni rupa seperti “ArtJog 2023: Motif – Lamaran”, Jogja Nasional Museum, Indonesia (2023), “Asia Pacifc Triennale ke-10 (APT10)” di Queens Art Gallery; Gallery of Modern Art, Australia, “ArtJog 2019: Common Space”, Jogja Nasional Museum, Indonesia (2019), “ART•BALI 2018: Beyond the Myths”, ABBC Building, Indonesia (2018), “Jakarta Biennale 2017: JIWA”, Gudang Sarinah Ekosistem, Indonesia (2017), dan the “5th Singapore Biennale: An Atlas of Mirrors”, Singapore Art Museum, Singapura (2016).
Karyanya dikoleksi antara lain: Galeri Nasional Indonesia, Jakarta; Museum Tumurun, Solo, Indonesia; Museum OHD, Magelang; Museum der Kulturen Basel; Singapore Art Museum; The Northern Territory Museum of Art and Science, Darwin, Project Eleven, Melbourne, Australia. (hd)