Jakarta (Independensi.com)- Pakar Komunikasi Politik Antonius Benny Susetyo mengutip tentang Thomas Aquinas. Dikatakannya, Thomas adalah salah satu filsuf dan teolog yang paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran Barat.
Pemikirannya tentang politik dan hukum sangat relevan untuk memahami dan mengkritisi penegakan hukum di Indonesia saat ini. Esensi dari politik dan hukum menurut Thomas Aquinas adalah mencapai “bonum commune” atau kebaikan bersama.
Dilanjutkannya, namun kenyataannya, penegakan hukum di Indonesia sering kali bersifat pragmatis dan tergantung pada pesanan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan. Thomas Aquinas berpendapat bahwa politik adalah seni mengatur masyarakat agar dapat hidup dalam harmoni dan mencapai tujuan bersama.
“Menurutnya (Thomas), manusia adalah “animal politicum” atau makhluk politik yang tidak bisa hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain untuk mencapai kebahagiaan. Oleh karena itu, politik harus diarahkan untuk menciptakan kondisi di mana setiap individu dalam masyarakat dapat berkembang secara maksimal dan mencapai kebahagiaan,” katanya.
Hukum, dalam pandangan Thomas, adalah sarana untuk mencapai kebaikan bersama dengan memberikan aturan dan batasan yang jelas bagi tindakan manusia. Hukum bukan hanya sekadar perintah akal budi, tetapi juga aturan yang mengatur tindakan manusia secara keseluruhan.
“Hukum harus mencerminkan akal budi dan bertujuan untuk mencapai kebaikan bersama. Akal budi adalah aturan yang menjadi ukuran tindakan manusia seutuhnya, dan akhir dari hukum berkaitan dengan kebaikan bersama. Oleh karena itu, hukum harus mencerminkan keadilan dan kemanusiaan, serta berfungsi untuk menegakkan nilai-nilai kebaikan dan keadilan,” tambahnya.
Saat ini, penegakan hukum di Indonesia cenderung bersifat pragmatis dan tergantung pada pesanan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan. Hukum sering kali digunakan sebagai alat politik untuk mencapai tujuan praktis dan menghancurkan kekuatan demokrasi serta partai-partai politik yang seharusnya menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kekuasaan.
“Kekuasaan yang tidak dibatasi cenderung manipulatif, dan hukum dijadikan alat pembenaran terhadap praktek-praktek yang tersembunyi dan relasi kuasa yang timpang.
Perilaku koruptif telah menjadi budaya di Indonesia karena supremasi hukum yang lemah,” sambungnya
“Demokrasi di Indonesia kian tergerus oleh perilaku pihak-pihak tertentu yang membelenggu reformasi dan memperparah korupsi yang sudah menjadi budaya. Hal ini diperparah dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah diintervensi oleh penguasa dalam penanganan kasus-kasus korupsi,” imbuhnya.
Hal ini, dilanjutkannya, menunjukkan bahwa independensi lembaga penegak hukum seperti KPK semakin tergerus oleh kepentingan politik, mengakibatkan penegakan hukum kehilangan keadabannya. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri, dalam pidato kebangsaan di Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Partai Perindo, menyoroti bahwa supremasi hukum di Indonesia saat ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Menurut Megawati, perilaku koruptif telah menjadi budaya di Indonesia karena supremasi hukum yang lemah. Demokrasi di Indonesia kian tergerus oleh perilaku pihak-pihak tertentu yang membelenggu reformasi, dan independensi lembaga penegak hukum seperti KPK semakin tergerus oleh kepentingan politik.
“Megawati juga menilai bahwa KPK telah diintervensi oleh penguasa dalam penanganan kasus-kasus korupsi. Supremasi hukum sangat penting untuk menjaga keadilan dan kebaikan bersama. Hukum harus berfungsi sebagai alat untuk menegakkan nilai-nilai kebaikan dan keadilan, bukan sebagai alat politik untuk mencapai tujuan praktis,” katanya.
“Penegakan hukum yang sejati membutuhkan manusia-manusia penegak hukum yang memiliki karakter, komitmen, dan jiwa negarawan. Hukum yang berkeadilan adalah hukum yang memiliki hati nurani dan mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum yang berfungsi dengan baik akan mampu menjadi penyeimbang bagi kekuasaan dan mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang,” jelasnya.
Masih dikatakannya, penegakan supremasi hukum memastikan bahwa setiap individu atau kelompok, tidak peduli seberapa kuat atau berkuasa mereka, tunduk pada hukum yang sama. Ini adalah fondasi penting dalam membangun masyarakat yang adil dan berkeadaban.
“Kekuasaan yang tidak dibatasi cenderung menjadi manipulatif, dan hukum dijadikan alat pembenaran terhadap praktek-praktek yang tersembunyi. Relasi kuasa yang timpang antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif mengakibatkan kecenderungan manipulatif dalam penegakan hukum,” katanya.
“Kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan cenderung menggunakan hukum untuk membungkam lawan-lawan politik dan orang-orang yang tidak seide.
Pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah prinsip dasar dalam sistem demokrasi untuk mencegah terjadinya tirani dan penyalahgunaan kekuasaan,” urainya.
Namun, dilanjutkannya, ketika salah satu cabang kekuasaan terlalu dominan atau ada intervensi yang tidak semestinya, keseimbangan ini rusak dan penegakan hukum menjadi tidak efektif. Fungsi silang antara ketiga cabang kekuasaan harus dijaga agar tercipta sistem pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan adil.
“Penegakan hukum yang berkeadilan adalah penegakan hukum yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan adalah cermin dari penegakan hukum yang sejati,” menurutnya.
Penegakan hukum yang sejati membutuhkan manusia-manusia penegak hukum yang memiliki karakter, komitmen, dan jiwa negarawan. Hukum yang berkeadilan adalah hukum yang memiliki hati nurani dan mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan.
Lebih jauh, selain itu, hukum yang berkeadilan harus mampu menjamin hak-hak asasi manusia dan memberikan perlindungan yang sama bagi semua warga negara. Ini berarti hukum harus diterapkan tanpa pandang bulu dan setiap pelanggaran hukum harus ditindak sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Independensi peradilan dan penegak hukum lainnya sangat penting untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan tanpa campur tangan dari pihak manapun,” katanya.
Masih diterangkannya, Thomas Aquinas memberikan pandangan yang sangat penting mengenai esensi politik dan hukum yang bertujuan untuk mencapai kebaikan bersama. Penegakan hukum di Indonesia saat ini cenderung bersifat pragmatis dan tergantung pada pesanan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.
“Hukum sering kali digunakan sebagai alat politik untuk mencapai tujuan praktis dan menghancurkan kekuatan demokrasi serta partai-partai politik yang seharusnya menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kekuasaan. Supremasi hukum di Indonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya karena perilaku koruptif yang sudah menjadi budaya,” katanya.
Kemudian, demokrasi di Indonesia kian tergerus oleh perilaku pihak-pihak tertentu yang membelenggu reformasi, dan independensi lembaga penegak hukum seperti KPK semakin tergerus oleh kepentingan politik.
Supremasi hukum sangat penting untuk menjaga keadilan dan kebaikan bersama. Hukum harus berfungsi sebagai alat untuk menegakkan nilai-nilai kebaikan dan keadilan, bukan sebagai alat politik untuk mencapai tujuan praktis.
“Penegakan hukum yang sejati membutuhkan manusia-manusia penegak hukum yang memiliki karakter, komitmen, dan jiwa negarawan. Hukum yang berkeadilan adalah hukum yang memiliki hati nurani dan mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan,” katanya.
“Oleh karena itu, saatnya kita menatap masa depan hukum agar hukum dikembalikan martabatnya dan bukan dijadikan alat politik atau alat pembenaran kekuasaan.
Untuk mencapai penegakan hukum yang sejati, penting untuk memastikan bahwa para penegak hukum memiliki karakter yang kuat, komitmen terhadap keadilan, dan jiwa negarawan,’ sambungnya.
Pendidikan dan pembinaan karakter, katanya lagi, harus menjadi bagian integral dari pelatihan penegak hukum. Selain pengetahuan hukum, penegak hukum harus diajarkan tentang etika, integritas, dan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
“Reformasi institusional juga sangat diperlukan untuk memastikan bahwa lembaga penegak hukum seperti KPK dan pengadilan memiliki independensi yang cukup untuk menjalankan tugasnya tanpa campur tangan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Pengawasan yang efektif dan transparansi dalam proses penegakan hukum juga harus ditingkatkan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan praktek-praktek koruptif,” tutupnya.(bud)