Djuanda di Senja Demokrasi Coba-Coba

Loading

Oleh : Joko Sumpeno

Kurun 1950-1959, Indonesia mencoba menjalankan kemerdekaannya yang setidaknya telah memperoleh pengakuan hukum internasional. Inilah hasil perjuangan bersenjata bersama upaya diplomasi dipungkaskan oleh Mosi Integralistik Natsir, tegaklah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950.

Dibalik ketokohan Natsir ( Ketua Partai Politik Islam Indonesia), Masyumi yang kemudian menjadi Perdana Menteri pertama NKRI (1950-1951 ), disana hadir Djuanda Kartawidjaja yang menuntaskan 2/3 konsep Mosi Integral. Sesungguhnya,  pria bernama lengkap Raden Djoeanda Kartawidjaja adalah seorang insinyur pengairan lulusan THS (kini ITB) 1933, bukanlah orang baru dalam pemerintahan yang mulai bergeser dari sistem presidensial ke arah parlementer dengan  Syahrir sebagai Perdana Menteri pertama sejak November 1945.

Dimulai aktif di Paguyuban Pasundan dan Muhammadiyah dan menjadi Direktur sekaligus guru  AMS Muhammadiyah Jakarta pada 1934 – 1937 , pria kelahiran Tasikmalaya, 14 Januari 1911 yang selanjutnya ditulis Djuanda ini menjadi Menteri Perhubungan pada Kabinet Syahrir setelah memimpin Jawatan Kereta Api di Bandung (September 1945 sampai awal tahun 1946). Dia pun sebelumnya pernah  bekerja di Dinas Pengairan Jawa Barat semasa pra kemerdekaan 1945.

Jabatan menteri yang diembannya tak pernah putus sejak November 1945 hingga Perdana Menteri ke-11 (1957-1959) sekaligus terakhir pada era demokrasi parlementer. Selama itu pula, Djuanda dikenal sebagai politikus tak berpartai politik. Pada puncak karir politiknya (1957-1959),  sejarah menempatkannya sebagai tokoh yang dipilih Bung Karno ketika Bung Hatta telah berada diluar pemerintahan sejak 1956. Pilihan yang tak terduga dipersilangan konflik yang menajam antara kekuatan politik pasca pemilu 1955 yang menghasilkan empat besar pemenang pemilu : PNI, Masyumi, NU dan PKI.

Selain konfigurasi politik yang dimulai sejak 1950 -1959 antara partai politik tersebut, juga konflik pun melanda Angkatan Perang / TNI khususnya Angkatan Darat baik internal maupun eksternal menghadapi kekuasaan parpol di parlemen. Catatan aksi militer di depan Istana Merdeka pada 17 Oktober 1952 tak bisa dihapus begitu saja dalam lukisan konflik kekuasaan antara politisi sipil dan kekuatan tentara yang kian kentara  memasuki gelanggang politik.

Keberhasilan militer dalam pemadaman konflik separatis RMS dan ketidakpuasan daerah serta penumpasan PRRI/PPermesta sampai gerakan militer DI/ TII Kartosuwiryo, Kahar Muzakar, menaikkan  kekuatan politik militer ditengah kemelut demokrasi parlementer pasca Pemilu 1955 : DPR dan Badan Pembentuk UUD ( Konstituante ).

Sementara itu, Djuanda menawarkan bahwa pelaksanaan hukum Islam telah diberikan pada rumusan Piagam Jakarta, dimana piagam tersebut merupakan rangkaian konstitusional dan menjiwai  UUD 1945. Tawaran Djuanda diabaikan, kemudian tetap menempuh jalan voting yakni “Kembali ke UUD 1945”. Dua kali voting, ternyata antara yang ingin kembali ke UUD 1945 dan menolaknya tetap tak mencapai syarat 2/3 jumlah suara yang disyaratkan. Menjawab kemandekan di Konstituante inilah, segeralah Bung Karno yang didukung militer yang pamor politiknya menanjak saat itu, memutuskan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959:Kembali ke UUD 1945 dan Membubarkan Konstituante.

Dibentuklah kemudian Kementerian dengan kekuasaan penuh pada Presiden Soekarno yang selain sebagai Kepala Negara juga Kepala Pemerintahan (pemerintahan presidensial). Dari demokrasi parlementer menjadi demokrasi terpimpin. Mulai 1960 politik Indonesia kian ke kiri. Manipol/Usdek (Manifesto Politik/UUD, Sosialisme, Demokrasi Ekonomi) digaungkan dan pada 1960 itulah pula DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan, menyusul kemudian Masyumi dan PSI disuruh bubar.

Sejak Juli 1959, Djuanda Kartawijaya politisi tak  berpartai, menjadi Menteri Pertama Indonesia. Masuk pula Mulyadi Djojomartono dan Marzuki Yatim sebagai anggota Kabinet setelah keluar dari Masyumi. Kedua nama tersebut adalah politisi dari Organisasi Sosial Politik Muhammadiyah yang membedakan dengan organisasi politik yang diwakili ONI, Partai NU, PKI, Partai Kristen dan Partai Katholik serta lainnya.

Tak lama kemudian, pada 7 November 1963, ketika DN Aidit dan Nyoto masuk Kabinet sebagai menteri Ex officio (Menko/ Wakil Ketua MPRS DB Aidit  dan Menteri Negara/wakil Ketua DPRGR Nyoto), Djuanda yang mengaku sekali “Muhammadiyah tetap Muhammadiyah”, meninggal dunia karena serangan jantung dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963, Ir. H. Djoeanda Kartawidjaja diangkat sebagai tokoh nasional/pahlawan kemerdekaan nasional.