Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan keanekaragaman suku, budaya dan agama. Dalam hal inilah masyarakat Indonesia tergolong masyarakat yang multikultural.
John Sydenham Furnivall, seorang penulis kelahiran Inggris mengungkapkan, masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik.
Sedangkan seorang Antropolog Amerika bernama Clifford Geertz, memandang masyarakat multikultural sebagai masyarakat yang terbagi menjadi beberapa subsistem, di mana masing-masing subsistem tersebut terikat oleh ikatan primordial.
Artinya, dalam masyarakat multikultural, keberagaman seluruh unsur dalam masyarakat seperti etnis, budaya, bahasa, golongan maupun agama adalah keniscayaan.
Masyarakat multikultural membutuhkan multikulturalisme sebagai landasan ideologis, agar realitas multikultural tak tergantikan oleh monokultural atau keseragaman, baik disengaja maupun tidak.
Anne Sofie Roald, akademisi dari Norwegia menyatakan bahwa multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan tentang ragam kehidupan di dunia.
Multikulturalisme, menurut Roald, juga bisa dimaknai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan tentang adanya keragaman, kebhinekaan, pluralitas, sebagai realitas utama dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem sosial- budaya, dan politik yang mereka anut.
Sehingga, bisa dimaknai bahwa multikulturalisme harus menjadi pedoman seluruh pihak, baik penyelenggara negara maupun masyarakat, guna nenjaga eksistensi masyarakat multikultural.
Tak terkecuali bagi para pendakwah, yang bertugas menyampaikan ajaran agama Islam kepada masyarakat.
Para pendakwah sebaiknya dalam melakukan syiar agamanya di ruang publik, selaras dengan prinsip-prinsip multikulturalisme.
Bila prinsip-prinsip multikulturalisme diabaikan oleh para pendakwah, maka potensi bermunculannya syiar agama yang berbasiskan ekstremisme sangat besar. Dan itu berbahaya bagi masyarakat multikultur, karena ekstremisme lazimnya berbasis monokulturalisme, yang mendorong masyarakat berpedoman hanya pada satu pandangan budaya atau agama tertentu.
Dakwah yang berbasis monokulturalisme, juga tercermin dalam fokus sebagian pendakwah yang menargetkan orang-orang non-muslim untuk melakukan konversi iman. Meskipun tak menyalahi norma agama maupun hukum, namun dakwah semacam ini cenderung mengabaikan prinsip-prinsip multikulturalisme.
Seharusnya, konversi iman dipandang sebagai implikasi dari dakwah, bukan tujuan utama. Dengan melakukan dakwah yang Rahmatan Lil Alamin, serta selaras dengan prinsip-prinsip multikulturalisme, sangat mungkin akan banyak warga non-Muslim tertarik pada Islam.
Selain itu, ketika dakwah-dakwah ekstrem bermunculan, lahirnya gerakan-gerakan ekstremis pun tak lagi bisa dibendung.
Bangsa Indonesia pernah bermasalah dengan gerakan-gerakan ekstremis seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jamaah Islamiyah.
Pada umumnya gerakan-gerakan ekstrem itu berlandaskan cita-cita menegakkan ‘Daulah Khilafah’, suatu sistem yang mencita-citakan seluruh umat Islam di dunia berada dalam naungan satu pemerintahan Khilafah yang berdasarkan Islam, serta dipimpin seorang khalifah.
Tentunya, sistem pemerintahan berbasis agama seperti khilafah mengabaikan multikulturalisme. Sejarah telah membuktikannya.
Dan ketika multikulturalisme diabaikan, masyarakat multikultural yang akan jadi korbannya.
Demikianlah, ketika para pendakwah mengabaikan multikulturalisme. Bukan mustahil, gerakan-gerakan ekstrem seperti HTI bisa kembali tumbuh subur.
Sehingga, sekali lagi, multikulturalisme harus jadi pedoman seluruh anak bangsa. Termasuk para pendakwah. Agar masyarakat multikultural, tak menjadi kenangan sejarah.
Oleh Hiski Darmayana
(Pengamat Sosial & Jurnalis)