JAKARTA (Independensi.com) – “Di setiap gelombang sejarah, sastra adalah saksi. Kadang ia bersuara lembut seperti bisik angin, kadang ia menjerit seperti badai. Tapi selalu, ia mencatat jejak jiwa manusia.” Kutipan Denny JA ini menjadi pengantar dalam memperbincangkan fenomena baru di dunia sastra Indonesia: Angkatan Puisi Esai.
Angkatan Puisi Esai, yang dirayakan dalam Festival Puisi Esai Jakarta ke-2 di PDS HB Jassin, TIM, merupakan momen bersejarah. Genre ini tidak hanya menjadi bentuk ekspresi baru, tetapi juga mendobrak batas-batas konvensi sastra Indonesia. Empat buku tebal dengan total 2000 halaman telah didedikasikan untuk mendokumentasikan perjalanan genre ini.
Angkatan Sastra Pertama Berdasarkan Genre
Menurut Berthold Damshäuser, akademisi sastra asal Jerman, Angkatan Puisi Esai adalah sui generis—unik dan tidak ada duanya dalam sejarah sastra Indonesia. Ini adalah angkatan sastra pertama yang dinamai berdasarkan genre, melintasi batas Indonesia hingga ke Malaysia, Brunei, Thailand, dan Singapura.
Sejak diperkenalkan pada 2012 lewat buku Atas Nama Cinta karya Denny JA, Puisi Esai telah menjadi ruang baru bagi dialog sosial, estetika, dan narasi. Agus R. Sarjono menilai genre ini sebagai inovasi terbesar sejak Angkatan 2000, dengan estetika yang khas: narasi panjang, tema sosial yang kuat, dan catatan kaki sebagai elemen integral.
Kritik dan Relevansi Genre Baru
Kritik terhadap Puisi Esai muncul, salah satunya terkait kesan “by design” dan dominasi elemen prosa dalam format puitis. Namun, inovasi dalam sastra kerap menghadapi resistensi. Catatan kaki dalam Puisi Esai, misalnya, dianggap menawarkan perspektif baru dengan menghubungkan fakta dan imajinasi, menjadikan genre ini lebih inklusif.
Agus R. Sarjono dan Jamal D. Rahman menegaskan bahwa Puisi Esai berhasil menciptakan perdebatan intelektual luas, menunjukkan relevansinya di dunia modern. Kehadirannya kini telah melahirkan hampir 200 buku, komunitas lintas negara, hingga festival tahunan yang mendukung keberlanjutan genre.
Mengapa Lahirnya Angkatan Sastra Penting?
1. Mengabadikan Identitas Zaman
Angkatan Puisi Esai merefleksikan era pasca-Reformasi dengan tema diskriminasi, keadilan sosial, dan suara kaum terpinggirkan.
2. Menciptakan Ruang Dialog Kolektif
Genre ini memicu perdebatan kritis tentang fungsi sastra, inovasi estetika, dan peran sastra di masyarakat modern.
3. Menghadirkan Inovasi Estetika
Dengan menggabungkan puisi, narasi, dan fakta historis, Puisi Esai menawarkan alternatif segar bagi penulis dan pembaca.
Masa Depan Puisi Esai
Jamal D. Rahman menyoroti potensi besar genre ini di tangan generasi muda, terutama Gen Z yang akrab dengan teknologi AI dan media sosial. Puisi Esai membuka pintu bagi berbagai latar belakang, menjadikan sastra lebih inklusif dan relevan di tengah era digital.
Kini, genre ini telah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sejak 2020 dan berkembang hingga ke Mesir. Dengan dukungan dana abadi dan komunitas yang terus tumbuh, Angkatan Puisi Esai menjelma menjadi gerakan literasi yang tidak hanya relevan, tetapi juga transformatif.
Seperti disampaikan Denny JA, “Di setiap karya, sastra bukan hanya menuliskan kata, tetapi melahirkan dunia baru.” Puisi Esai adalah gelombang baru yang mengundang kita untuk menjelajahi batas-batas baru dalam dunia sastra.