Denny JA memperkenalkan teori baru yang menghubungkan sosiologi agama klasik dengan revolusi AI di Jakarta, Minggu (16/2/2025).

Revolusi AI dan Masa Depan Agama: Teori Denny JA Mulai Diajarkan di Kampus-Kampus Indonesia

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Revolusi Artificial Intelligence (AI) telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, termasuk cara kita memahami dan beragama. AI tidak hanya mempercepat akses terhadap informasi keagamaan, tetapi juga menggeser otoritas tradisional dalam tafsir agama.

Dalam 10-20 tahun ke depan, apakah pemuka agama akan semakin digantikan oleh AI? Apakah agama akan lebih bersifat individual atau tetap mempertahankan komunitasnya?

Dalam konteks inilah Denny JA memperkenalkan teori baru yang menghubungkan sosiologi agama klasik dengan revolusi AI, suatu perspektif yang oleh Budhy Munawar-Rahman disebut sebagai “Teori Denny JA tentang Agama dan Spiritualitas di Era AI.” memberikan sambutan di Jakarta, Minggu (16/2/2025)

Kini, teori ini mulai diajarkan di berbagai kampus negeri dan swasta di Indonesia, baik sebagai mata kuliah mandiri maupun bagian dari kurikulum sosiologi agama dan filsafat.

AI, Sosiologi Agama, dan Pergeseran Otoritas Keagamaan

Denny JA memperluas kajian para pemikir besar seperti Edward Burnett Tylor, Karl Marx, Émile Durkheim, dan Max Weber dengan menambahkan dimensi baru: bagaimana AI mempengaruhi akses, interpretasi, dan peran sosial agama di era digital.

Menurut Anick HT, Sekjen Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Jakarta, teori ini tidak menggantikan sosiologi agama klasik, tetapi melengkapi dan memperkaya pemahaman tentang interaksi agama dengan perkembangan zaman.

“Agama selalu menjadi fenomena sosial yang dinamis. Dengan hadirnya AI, kita menyaksikan perubahan besar dalam akses terhadap informasi, interpretasi teks suci, dan peran sosial agama dalam masyarakat,” ujar Anick.

Bukti perubahan itu terlihat dalam data. Sebuah survei oleh dosen UIN Bandung pada tahun 2020 menemukan bahwa 58 persen generasi milenial lebih memilih belajar agama melalui media sosial seperti Instagram dan YouTube dibandingkan menghadiri pengajian langsung dari pemuka agama.

Salah satu aspek utama dalam Teori Denny JA adalah pergeseran otoritas keagamaan akibat AI dan dunia digital.

Dulu, pemahaman agama dikendalikan oleh pemuka agama dan institusi keagamaan. Tafsir agama diwariskan secara hierarkis melalui ulama, pendeta, atau guru spiritual.

Kini, AI memungkinkan siapa pun untuk mengakses ribuan tafsir dari berbagai tradisi hanya dalam hitungan detik, menerjemahkan teks ke dalam berbagai bahasa, serta membandingkan konteks sejarah dan sosial dalam agama.

“Pemuka agama tetap memiliki tempat dalam membimbing komunitas, tetapi kini bukan lagi satu-satunya sumber rujukan,” tambah Anick.

Namun, dengan terbukanya akses ini, muncul tantangan besar bagi komunitas keagamaan:

1. Bagaimana AI dapat digunakan secara bertanggung jawab dalam konteks keagamaan?

2. Bagaimana memastikan keterbukaan informasi tidak mengarah pada disinformasi atau penyederhanaan pemahaman agama?

Agama sebagai Tradisi Kultural dan Ruang Refleksi

Denny JA juga menyoroti agama sebagai tradisi kultural yang terus berkembang.

“Natal, misalnya, kini dirayakan tidak hanya oleh umat Kristiani, tetapi juga sebagai festival budaya di berbagai belahan dunia. Yoga, yang berasal dari tradisi Hindu, kini menjadi bagian dari gaya hidup global,” jelas Anick.

Dalam konteks ini, AI membuka peluang eksplorasi lintas budaya dan refleksi terhadap nilai-nilai agama.

Namun, ada pertanyaan kritis:

Apakah keterbukaan ini memperkaya pemahaman agama, atau justru membuatnya lebih individualistik?

Apakah AI dapat menjaga substansi spiritualitas manusia, atau hanya mengubahnya menjadi sekadar konsumsi informasi digital?

Dampak AI terhadap Agama: Perubahan yang Sudah Terjadi

Fenomena ini bukan sekadar teori, tetapi telah terjadi di berbagai belahan dunia. Beberapa contoh konkret:

– Chatbot AI untuk tafsir agama: Di Arab Saudi, AI mulai digunakan untuk menjawab pertanyaan seputar Islam berdasarkan kitab-kitab klasik.

– AI dalam penerjemahan kitab suci: Teknologi ini memungkinkan akses lebih luas ke teks keagamaan dalam berbagai bahasa, mempercepat penyebaran pemahaman agama secara global.

– Asisten AI untuk ritual keagamaan: Di Jepang, beberapa kuil Buddha menggunakan robot untuk membacakan doa bagi para jamaah. 

-AI dalam prediksi tren keagamaan: Algoritma AI mulai digunakan untuk menganalisis pola perubahan keyakinan dan praktik spiritual dalam masyarakat global.

Teori Denny JA melengkapi sosiologi agama klasik dengan memberikan perspektif baru mengenai agama di era AI.

Teknologi tidak akan menggantikan esensi pengalaman spiritual, tetapi akan mengubah cara manusia berinteraksi dengan agama dan mencari makna hidup.

“AI mengubah posisi otoritas agama, tetapi tidak menggantikan pengalaman spiritual. Agama akan bertahan, beradaptasi, dan menemukan cara baru untuk memberikan makna bagi kehidupan manusia,” tutup Anick.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *