JAKARTA (IndependensI.com) – Pandemi Covid 19 melumpuhkan hampir semua roda perekonomian. Semua sektor bisnis dibuat mati suri sejak corna mewabah di Indonesia awal Maret lalu. Tak terkecuali juga pada sektor transportasi darat, bisnis ini dibuat tak berdaya oleh virus Corona.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi mengatakan, operator transportasi darat mengaku mengalami kerugian akibat pandemi virus corona. Bahkan total kerugiannya mencapai Rp15,9 triliun setiap bulannya.
“Kami mencoba diskusi dengan Organda dan ini masih angka kasar. Kerugian yang didapatkan karena penurunan penumpang dan kendaraan yang melayani dalam 1 bulan itu untuk AKAP (antar kota antar provinsi) saja mencapai Rp1 triliun,” ujarnya kepada Media, Minggu (20/9/2020).
Budi menjelaskan, untuk penurunan penumpang pada bus antar kota antar provinsi (AKAP) saja, dalam satu bulan membuat operator mengalami kerugian. Angka tersebut belum termasuk kerugian dari angkutan barang.
Sehingga menurutnya, secara keseluruhan baik itu untuk angkutan penumpang maupun barang, kerugian yang diderita pelaku usaha transportasi darat mencapai Rp 15,9 triliun per bulan. Lagi-lagi penyebabnya adalah karena penurunan jumlah penumpang dan penurunan kendaraan yang melayani. “Data ini kami dapatkan setelah diskusi dengan Organda. Ini sifatnya masih perhitungan kasar,” kata Budi.
Untuk mencegah hal tersebut, pihaknya tengah mengkaji untuk memberikan relaksasi kepada sektor transportasi darat. Tujuannya adalah agar para operator angkutan darat itu bisa tetap bertahan hingga masa pandemi berlalu.
“Mereka memberi pelayanan baik kepada masyarakat sebelum pandemi. Sekarang merugi. Sekarang yang menjadi perhatian kami bagaimana kita tetap mempertahankan operator itu bisa tetap eksis sampai pandemi selesai. Jadi pemerintah hadir diskusi dengan operator,” jelasnya.
Sementara itu Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Umiyatun Hayati Triastuti menjelaskan bahwa pihaknya melakukan kajian untuk mencari solusi bagi ekosistem bisnis transportasi di tengah tekanan pandemi.
Terdapat sejumlah klaster kajian, di antaranya klaster pertama, yakni evaluasi kebijakan terkait kebiasaan bertransportasi di pandemi Covid-19. “Klaster kedua apakah benar transportasi menyebabkan penyebaran Covid-19 atau tidak,” kata Umiyatun.
Lalu klaster ketiga adalah terkait ketahanan dan adaptasi selama masa pandemi covid-19. Termasuk di dalamnya adalah untuk mengetahui sejauh mana resiliensi untuk menjawab keberlanjutan transportasi umum. “Kami menerima masukan untuk mempertajam kajian dan penelitian di masa mendatang,” kata Umiyatun.