PONTIANAK (Independensi.com) – Ketua Bidang Hukum Adat dan Peradilan Adat Dayak Dewan Pimpinan Pusat Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN), Tobias Ranggie SH, desak Polisi Republik Indonesia (Polri) menangkap Mohamad Rizieq Shihab (MRS) yang memfitnah Suku Dayak di Kalimantan dalam ceramahnya.
Dalam ceramah dimuat di link youtube: https://m.youtube.com/watch?v=npyWEBlBPEw, dengan latar mimbar tertulis 13 Januari 2017, pentolan Front Pembela Islam (FPI), MRS, mengklaim pernah ada 3 orang Dayak tewas dalam perang terbuka pada siang hari dengan orang Islam di Pontianak.
Tobias Ranggie mengatakan, karena Dayak tidak identik dengan Islam, maka MRS berusaha membangun narasi permusuhan Dayak dengan Islam di Indonesia.
Kalau narasi itu dibiarkan, karena Dayak sebagai kelompok minoritas di Indonesia dari segi populasi penduduk, maka narasi yang dibangun MRS bertujuan supaya Dayak jadi sasaran diskriminasi politik dan kekerasan politik sebagaimana terjadi dengan umat Hindu dan Kristen jadi sasaran kekerasan dan kejahatan politik di Pakistan dan Afganistan.
“MRS harus diminta klarifikasi dari Polri, karena tidak pernah ada perang terbuka orang Dayak dengan Islam di Pontianak, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat,” kata Tobias Ranggie, Selasa, 24 Nopember 2020.
Menurut Tobias, MRS harus segera diproses hukum untuk mengantisipasi potensi instabilitas keamanan di Provinsi Kalimantan Barat pada khususnya dan di Kalimantan pada umumnya.
Diungkapkan Tobias, MRS telah berkata bohong yang bertujuan memecah-belah persatuan dan kesatuan di kalangan masyarakat. Karena secara umum hubungan antar masyarakat di Kalimantan berjalan baik.
Konflik yang pernah terjadi di Kalimantan, ujar Tobias, bukan konflik agama, tapi benturan peradaban karena selalu bermuara dari terjadinya tindak pelecehan dan penistaan terhadap jenis, sistem, simbol dan tempat religi Dayak yang lahir dari Kebudayaan Dayak oleh pihak luar.
Di antaranya kerusuhan Tionghoa dan Dayak dalam rangkaian operasi penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) di Kalimantan Barat, September – Desember 1967.
Demikian pula kerusuhan Dayak dan Madura di Kalimantan Barat pada tahun 1974, 1992, 1994, 1996, 1997, 1999, 2000 dan di Sampit, Ibu Kota Kabupaten Kotowaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, 18 – 21 Februari 2001.
“MRS berupaya menyulut konflik agama di Kalimantan. Itu sangat berbahaya sekali. Polri harus segera bersikap tegas terhadap agitasi dan ujaran kebencian yang dilakukan MRS,” kata Tobias.
Tobias mengatakan, dalam video rekaman disebutkan MRS mengklaim konflik terjadi selama Gubernur Kalimantan Barat dijabat kafir. Itu dimaksudkan Cornelis, Gubernur Kalimantan Barat, 14 Januari 2008 – 14 Januari 2018.
MRS mengklaim Gubernur Kalimantan Barat yang pernah dijabat orang kafir, itu, mengumpulkan dua ribu massa di rumah betang (rumah memanjang tiang panggung) di Pontianak.
Pengumpulan massa Dayak dalam jumlah banyak diklaim MRS atas ketidaksukaan orang Dayak terhadap dirinya berdakwah di Pontianak dan sekitarnya.
Setelah pulang ke Jakarta, MRS mengaku massa Dayak tiba-tiba mencari dirinya. Karena itu massa Islam di Pontianak marah, setelah diinstruksikannya harus melawan melalui percakapan dari telepon genggam miliknya yang didengarkan kepada semua orang lewat pengeras suara di salah satu masjid, sehingga 3 orang Dayak tewas.
MRS dalam ceramahnya dengan latar mimbar bertuliskan tanggal 13 Januari 2017, mengklaim orang Islam harus melawan karena Suku Madura beragama Islam banyak yang tewas dalam kerusuhan di Sambas tahun 1987 dan di Sampit tahun 2001.
“Ini jelas-jelas sebuah kebohongan. MRS. Harus segera ditangkap agar tidak menimbulkan kemarahan meluas di kalangan masyarakat Dayak, karena difitnah MRS,” ungkap Tobias.
Kepada umat Islam dan masyarakat Dayak di Kalimantan diharapkan tetap tenang, terus jalin silaturahmi, agar tidak terpancing melakukan gerakan yang bisa merugikan banyak pihak.
“Sejarah juga mencatat kalau gerakan spontanitas Dayak sudah bergerak, karena aparat penegak hukum tidak tanggap, maka akan sulit dihentikan,” ujar Tobias.
Tobias menaruh apresiasi sikap tegas Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya, Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurachman dan Kepala Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya Inspektur Jenderal Polisi Fadil Imran yang berani mencabut baliho MRS, sejak 15 Nopember 2920, yang berisi ancaman dan makian kepada Pemerintah, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (polri).
Dikatakan Tobias Ranggie, langkah Dudung dan Fadil akan menindak tegas MRS dan komplotannya jika masih tidak mengindahkan Protokol Kesehatan di tengah Pandemi Corona Virus Disease-19 (Covid-19) harus dudukung semua pihak.
RMS jadi sombong dan besar kepala setelah disambut jutaan manusia dari pelariannya di Arab Saudi ke Jakarta, 10 Nopember 2020, tanpa peduli Protokol Kesehatan. (Aju)
Jgn smp terulang Sampit. Jangan.
Jangan biarkan Dayak difitnah