Oleh Bachtiar Sitanggang
Sejak beberapa hari lalu masalah lesbian, gay, bisexual dan transgender (LGBT) menghiasi media online dan grup-grup WhatsApp dimulai dari tulisan Hotben Lingga dan Djalan Sihombing.
Tulisan Hotben Lingga sebenarnya sudah lama di Suara Kristen (1 Maret 2015) dengan judul “Agama Kristen Protestan Melawan: Agenda, Gerakan & Propaganda Pro Homo/Lesbian/LGBT” – Para Anti-kris sedang menginfiltrasi dan membajak Gereja-gereja, Sekolah-sekolah teologia, dan Istitut Agama Kristen Protestan di Indonesia!!!
Djalan Sihombing sendiri menulis di Independensi.com (26 Oktober 2021) dengan judul LGBT, HAM dan PGI. Uniknya, di akhir tulisan itu disebutkan “Penulis adalah seorang advokat, anggota jemat HKBP, tinggal di Jakarta”, maka judul tulisan ini saya buat “PGI, LGBT dan HKBP” (HKBP – Huria Kristen Batak Protestan-berpusat di Pearaja Tarutung Sumatera Utara).
Hotben Lingga secara analitis dan mendalam menunjukkan bagaimana perkembangan dan gerakan LGBT di dunia, dimana lembaga gerejawi telah terinfiltrasi oleh karenanya Hotben khawatir kejadian yang menakutkan itu menginfiltrasi juga ke gereja-gereja Protestan di Indonesia, dia takut kalau gereja tidak membentengijematnya, apalagi ikut-ikutan melegalkannya akan merusak anak-cucu kita.
Ternyata, apa yang ditakutkan Hotben tersebut mulai nampak sebab karena PGI sebagai Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia menyatakan bahwa “LGBT bukan merupakan dosa”.
Hal tersebut tertulis dalam “Pernyataan Pastoral PGI Tentang LGBT” tanggal 20 Juni 2016 yang ditujukan kepada Pimpinan Gereja Anggota PGI di seluruh Indonesia ditandatangani a.n Majelis Pekerja Harian PGI Pdt. Dr. Henriette T. H – Lebang (Ketua Umum) Pdt. Gomar Gultom (Sekretaris Umum).
Pernyataan itu tertera dalam Rekomendasi butir 8 menyebutkan ” PGI mengingatkan agar kita semua mempertimbangkan hasil-hasil penelitian mutakhir dalam bidang kedokteran dan psikiatri yang tidak lagi memasukkan orientasi seksual LGBT sebagai penyakit, sebagai penyimpangan mental (mental disorder) atau sebagai sebuah bentuk kejahatan.
Pernyataan dari badan kesehatan dunia, WHO, Human Rights International yang berdasarkan kemajuan penelitian ilmu kedokteran mampu memahami keberadaan LGBT dan ikut berjuang dalam menegakkan hak-hak mereka sebagai sesama manusia.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengacu pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II tahun 1983 (PPDGJ II) dan PPDGJ III (1993) bahwa LGBT bukanlah penyakit kejiwaan.
LGBT juga bukan sebuah penyakit spiritual. Dalam banyak kasus, kecenderungan LGBT dialami sebagai sesuatu yang natural yang sudah diterima sejak seseorang dilahirkan; juga ada kasus-kasus kecenderungan LGBT terjadi sebagai akibat pengaruh sosial.
Sulit membedakan mana yang natural dan mana yang nurture oleh karena pengaruh sosial. Meskipun demikian, bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT bukanlah merupakan pilihan, tetapi sesuatu yang terterima (given).
Oleh karena itu, menjadi LGBT, apalagi yang sudah diterima sejak lahir, bukanlah suatu dosa, karena itu kita tidak boleh memaksa mereka bertobat. Kita juga tidak boleh memaksa mereka untuk berubah, melainkan sebaliknya, kita harus menolong agar mereka bisa menerima dirinya sendiri sebagai pemberian Allah”.
“…..menjadi LGBT, apalagi yang sudah diterima sejak lahir, bukanlah merupakan dosa”, mungkin menggelitik bagi para pembaca dan mempertanyakan pemahaman PGI tentang dosa, kalau LGBT bukan merupakan dosa, dengan demikian dosa itu yang bagaimana?
Memang yang ditakutkan Hotben Lingga dan Djalan Sihombing adalah perkawinan sejenis, selama itu tidak terjadi atau selama penyimpangan hubungan seksual tidak dilakukan, tidak ada masalah.
Karena tidak jelas klasifikasinya, adalah wajar banyak kritik terhadap Pernyataan Pastoral PGI tersebut.
Sebagai jemat HKBP yang memiliki Peraturan Penggembalaan dan Pelarangan sesuai dengan Hukum Taurat, dan contoh-contoh dalam Alkitab mendorong ean wajar Djalan Sihombing menulis “LGBT, HAM dan PGI”, kesan isi tulisan mengkritisi Pernyataan Pastoral PGI dalam menyikapi LGBT “seolah”mendahulukan HAM daripada mendasarkan Firman Tuhan.
Berbeda dengan HKBP dan mungkin juga banyak gereja-gereja yang memiliki aturan penggembalaan seperti HKBP.
Sebagaimana buku Ruhut Parmahanion Dohot Paminsangon (RPP) HKBP, bagian III. Rumang Ni Pangalaosion Na Maralo tu Patik Ni Debata (Jenis Pelanggaran Yang Bertentangan dengan Hukum Allah) tertulis: Sebelum menguraikan jenis-jenis dosa yang harus dihindari sesuai dengan Hukum Taurat dalam pengantarnya menyebutkan:
Marhite panandaon di Patik ni Debata di bagasan Buku Nabadia i dohot Konfessi ni Hurianta lam nalnal do idaonta angka rumangrumang ni dosa sipasidingon (paheba 2 Musa 20: 5 Musa 5: Matius 5-7) Artinya kurang lebih: Melalui pemahaman akan Hukum Taurat Allah dalam Kita Suci dan Konfessi Gereja kita makin jelas terlihat ragam dosa yang harus dihindari (bandingkan Keluaran 20, Ulangan 5; Matius 5-7)
Butir 6. “Mangonai tu Patik Papituhon (Pangalangkupon)“ :
c. Na mangabing, na paabingkonsa, germo dohot boru-boru si babijalang (WTS), na marlangka pilit, namarsidua-dua, na palahohon jolmana, na marhilolong, ro di di angka namangurupi di ulaon na jat i. Songon i muse na homo sex (parmainanon ni baoa tu baoa) dohot lesbian (parmainanon ni boruboru tu boruboru), hahisapon dohot nasa ulaon hailaon.
Terjemahan bebasnya: Butir. 6. “Mengenai Hukum Taurat ke VIII (Perzinahan):
c. Yang mengambil paksa anak gadis jadi isterinya, dan yang menyetujuinya, germo dan wanita tuna susila, yang selingkuh, beristeri dua, yang menceraikan isterinya, meninggalkan suaminya, dan semua yang membantu tindakan kejahatan.
Demikian juga homo sex (persetubuhan sesama laki-laki) dan lesbian (persetubuhan sesama perempuan), ketergantungan dan perbuatan tercemar. (Roma 1: 24-27. “(24) Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka akan kecemaran, sehingga mereka saling mencemarkan tubuh mereka.
(25) Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya, amin.
(26) Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar.
(27) Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka”.
Dari uraian di atas, mungkin ada perbedaan pemahaman tentang LGBT antara Hotbin Lingga dengan PGI dan Djalan Sihombing sebagai jemat HKBP dan fanatik adat Batak. Kurang lebih Hotbin mengajak gereja dan umat Protestan di Indonesia agar jangan sampai terjadi perkawinan sesama jenis antara laki-laki dengan laki-laki, dan perempuan dengan perempuan, salah satu cara menyelamatkan generasi mendatang.
Sementara PGI dengan alasan medis, psikologi dan HAM LGBT harus diterima apa adanya sebagai sesama ciptaan dalam persekutuan “Tubuh Kristus”, adalah benar, tetapi perlu kiranya ditegaskan tentang mereka yang melakukan perkawinan sesama jenis itu apakah “merupakan dosa” atau siapakah yang berkompeten menentukan suatu perbuatan dosa atau tidak, sebab seperti halnya HKBP jelas menyebut aneka ragam dosa yang harus dihindari sesuai dengan Hukum Taurat Firman Tuhan, sebagaimana yang diikuti Djalan Sihombing.
Perbincangan yang tidak sebenarnya namun membuat bulu kuduk merinding, kalau sikap PGI seperti Pernyataan Pastoral tersebut. Bagaimana PGI dan gereja pendukung Pernyataan Pastoral tersebut, menyikapi pelayan jemaat yang terduga melakukan penyimpangan seksual?
Kalau PGI dan gereja pendukungnya mentolerir, apakah jemaat menerima baptisan dan pemberkatan nikah dari mereka yang disebut sebagai pelaku “bukan merupakan dosa” itu?
Oleh karena itu Majelis Pekerja Harian PGI seyogyanya tetap sebagai gembala Umat Kristus dan menjelaskan kepada jemat Kristiani, mana yang dosa dan mana tidak dosa, sebab gembala beda dengan pejuang HAM. Tuhan memberkati. *
Penulis adalah pengamat sosial kemasyarakatan berdomisili di Jakarta