JAKARTA (Independensi.com) – Di tengah musim dingin yang buruk, Kota Gaza kembali direndam banjir. Bencana yang terjadi sejak 15 Januari 2022 tersebut akibat hujan lebat yang mengguyur kawasan kota Gaza. Kondisi itu, menambah kesulitan warga yang belum pulih akibat blokade dan serangan Israel pada Mei 2021 lalu.
Banjir telah mengakibatkan banyaknya infrastruktur yang rusak. Ditambah buruknya sistem pembuangan air, dan dipersulitnya akses terhadap peralatan konstruksi vital, menambah kerentanan Gaza dalam menghadapi curah hujan yang sangat tinggi, dikutip dari laman adararelief.com.
Pejabat Palestina dari The Gaza Water Utility mengatakan bahwa Israel telah menahan suku cadang pengganti penting untuk sistem air dan pembuangan di Jalur Gaza. Dahulu, pengiriman barang hanya membutuhkan waktu kurang dari sebulan untuk tiba di Gaza, kini memakan waktu hingga lima bulan. Hal ini membuat air limbah dibuang langsung ke laut, kebocoran air dari pipa meningkat, dan limpahan air hujan menyebabkan peningkatan insiden banjir.
Kota Nuseirat, di Jalur Gaza tengah, juga telah memperingatkan terjadinya banjir setelah Otoritas Israel memutuskan untuk membuka bendungan penampung air hujan, di perbatasan timur Jalur Gaza.
Banjir telah membuat warga kesulitan untuk beraktivitas. Di wilayah Jabalia, banjir memaksa warga setempat menggunakan papan dayung agar bisa berpindah tempat. Sementara itu, tim pertahanan sipil membantu menyelamatkan warga yang terdampar dan terjebak banjir, baik yang di dalam rumah maupun di kendaraan. Terdapat 152 orang yang telah diselamatkan oleh tim pertahanan sipil dalam dua hari.
Selain merendam kawasan perkotaan, banjir juga merusak lahan pertanian stroberi di Gaza dan mengakibatkan banyak kerugian. Stroberi merupakan tanaman musim dingin dan salah satu hasil pertanian terbaik yang dimiliki Gaza.
Pada Kamis (20/1), Menteri Pertanian Palestina melaporkan bahwa Israel telah melubangi bendungan karena akan digunakan untuk “mengairi pertanian”. Hal tersebut mengakibatkan peternakan dan pertanian di Gaza terancam rusak karena kapan saja bisa terendam banjir. Salem Quta, salah satu petani yang terkena dampak banjir mengatakan, “Sekitar 400 dunam tanah saya terendam banjir, sementara 150 dunam lainnya rusak karena aliran dari air hujan.”
Banjir seperti sudah menjadi acara tahunan bagi warga Gaza. Warga sudah sering mengeluh akan hal ini tetapi perbaikan juga sulit dilakukan dengan adanya faktor yang belum bisa teratasi. Pasalnya, banjir di Gaza bukan saja diakibatkan dari hujan air yang meluap melainkan juga akibat “hujan” serangan dan pengepungan yang merusak kota.
Jalur Gaza merupakan daerah datar dengan garis pantai yang relatif luas dan memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Curah hujan tahunan rata-rata di Jalur Gaza adalah 365 mm/tahun dan sejak 2008, fluktuasi dan variasi curah hujan telah menyebabkan kejadian banjir yang ekstrem. Sementara itu, terdapat lebih dari 280.000 warga Gaza yang tinggal di 360 daerah banjir dan terkena dampak banjir tahunan yang intensitasnya bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain.
Pada 2021, lebih dari 8.500 keluarga di Gaza terkena dampak banjir yang terus terjadi selama 3 tahun terakhir. Sebanyak 1.300 keluarga bahkan harus menghadapi kerusakan yang terjadi pada rumah dan bangunan-bangunan publik, membuat mereka kesulitan untuk beraktivitas dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Namun demikian, upaya pencegahan banjir sulit dilakukan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: pertama tentu saja blokade yang menyebabkan pembatasan persediaan material dan peralatan konstruksi vital seperti pipa, pompa air, dan alat berat lainnya. Kedua, keterbatasan kemampuan finansial kota dan teknis penyedia layanan yang tentu saja merupakan imbas dari blokade. Ketiga, serangan yang terus-menerus dilancarkan oleh Israel terhadap Gaza telah merusak infrastruktur kota dan memperbaikinya membutuhkan banyak proses yang berbelit-belit