JAKARTA (Independensi.com) – Vonis bebasnya sistim peradilan Malaysia pada Ambika MA Shan, pelaku kekerasan terhadap Adelina Sau, seorang Pekerja Migran Indonesia yang disiksa dan meninggal di Malaysia sungguh-sungguh melecehkan harkat dan martabat korban dan keluarga korban serta bangsa dan negara Republik Indonesia.
Hal itu ditegaskan oleh Gabriel Goa, Ketua Koalisi Masyarakat Pembela Adelina Sau Korban Human Trafficking (KOMPAS KORHATI) kepada pers di Jakarta, Sabtu (25/6).
“Untuk itu sudah selayaknya masyarakat Indonesia mengusir Duta Besar Malaysia di Indonesia dan melakukan moratorium pengiriman Pekerja Migran Indonesia ke Malaysia, sampai nanti ada keadilan bagi Adelina Sau,” tegasnya.
Walau demikian, Gabriel Goa menjelaskan peluang untuk menjerat Ambika MA Shan dan jaringan Human Trafficking di Indonesia dan Malaysia masih sangat terbuka melalui Tindak Pidana Human Trafficking.
“Untuk itu kami memanggil masyarakat untuk mendukung perjuangan keadilan buat Adelina Sau yang telah menjadi korban pembunuhan saat bekerja di Malaysia,” tegasnya.
Lebih dari pada itu menurutnya perjuangan ini juga soal harga diri bangsa dan negara Indonesia termasuk ribuan Pekerja Migran Indonesia di Malaysia dan di negara lain.
“Sudah saatnya kita berdiri tegak membela anak bangsa kita yang sedang bekerja dan mendapat kesulitan di negeri orang. Ini menjadi pelajaran bagi bangsa ini, Jangan lagi ada orang Indonesia diperlakukan tidak adil dinegeri orang,” ujarnya.
Gabriel Goal mendesak Polisi Diraja Malaysia segera bekerjasama dengan Polisi Republik Indonesia memproses hukum pelaku dan aktor intelektual Human Trafficking terhadap Adelina Sau.
“Pelaku tindak pidana perdagangan orang dari Indonesia terhadap Adelina Sau sudah dihukum dan menjalani hukuman. Ada yang 6 tahun penjara, 4 tahun penjara dan 3 tahun penjara. Tapi jaringan mereka.di Malaysia belum masih dibiarkan bebas dari jerat hukum Human Trafficking,” jelasnya.
Gabrial Goa juga mendukung Presiden RI Jokowi untuk berkoordinasi dengan Perdana Menteri Malaysia untuk desak Polisi.Diraja Malaysia agar segera memproses hukum Human Trafficking di Malaysia dengan menjadikan Ambika MA Shan sebagai Justice Collaborator Human Trafficking terhadap Korban Human Trafficking Adelina Sau.
“Kami juga mengajak Solidaritas Penggiat anti Human Trafficking bersama KOMPAS KORHATI melakukan Aksi Solidaritas ke Kedubes Malaysia di Jakarta dalam waktu dekat,” tegasnya.
Putusan Peradilan Malaysia
Sebelumnya diberitakan Mahkamah Persekutuan Malaysia -setara dengan Mahkamah Agung di Indonesia,–pada Kamis (23/6/2022) mengesahkan pembebasan majikan Adelina Lisao, asisten rumah tangga (ART) asal Nusa Tenggara Timur yang meninggal dunia dengan banyak luka di tubuhnya pada Februari 2018.
Majelis hakim yang beranggotakan Vernon Ong Lam Kiat, Harmindar Singh Dhaliwal, dan Rhodzariah Bujang menolak permohonan jaksa penuntut umum untuk menggugurkan putusan Mahkamah Tinggi.
Dalam putusannya, Hakim Vernon, yang mengetuai majelis hakim, mengatakan Pengadilan Tinggi telah mengeluarkan putusan dengan benar dalam membebaskan majikan Adelina, Ambika MA Shan.
Hakim Vernon mengatakan jaksa penuntut umum harus memberikan alasan mengapa mengajukan permohonan Discharge Not Amounting To Acquittal (DNAA). Menurutnya, DNAA hanya boleh diberikan jika ada alasan valid yang diberikan pihak jaksa.
“Malah berdasarkan catatan banding, tiada alasan diberikan pihak pendakwaan (di Pengadilan Tinggi),” kata Hakim Vernon sebagaimana dilaporkan kantor berita Bernama.
DNAA berarti terdakwa dibebaskan dari dakwaan, namun dapat dituntut lagi di kemudian hari. Sebaliknya, putusan Mahkamah Persekutuan ini membuat Ambika bebas murni dan tidak bisa didakwa pidana atas kematian Adelina.
Penanganan Kasus Kematian Adelina Tidak Serius
Dilansir dari bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Hermono, selaku duta besar Indonesia untuk Malaysia, hadir dalam sidang putusan Mahkamah Persekutuan, pada Kamis (23/6/2022).
Dia mengaku kecewa dengan putusan tersebut karena “tidak mencerminkan rasa keadilan”.
“Bagaimanapun juga, kita tahu Adelina meninggal di rumah majikan dengan kondisi luka di sekujur tubuhnya karena infeksi yang tidak diobati. Dia tidak pernah dibawa ke dokter. Putusan itu menunjukkan bahwa tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas kematian Adelina.
“Sulit bagi kita untuk menerima bahwa ada seseorang yang meninggal sedemikian tragis di rumah majikannya, tapi tidak ada yang bertanggung jawab,” papar Hermono kepada BBC News Indonesia dalam wawancara melalui sambungan telepon.
Soal jaksa yang meminta DNAA terhadap majikan Adelina juga menjadi faktor yang mengecewakan bagi Hermono.
“Jaksa tidak memberikan argumentasi yang jelas kenapa mengajukan DNAA, hanya mengatakan itu petunjuk atasannya. Bagaimana koq kasus sedemikian serius, tapi penanganannya tidak serius?
“Putusan ini mengirimkan pesan yang kurang baik bahwa hukum tidak memberikan perlindungan yang maksimal kepada korban-korban penyiksaan. Kita tahu banyak sekali pekerja kita yang mengalami penyiksaan,” tutur Hermono.
Ke depan, menurut Hermono, pihaknya masih mempelajari kemungkinan mengajukan kasus perdata untuk kompensasi kepada keluarga Adelina.
“Tapi ini akan kita koordinasikan dengan Jakarta,” ujarnya.
Gugurnya Keadilan
Putusan Mahkamah Persekutuan juga membuat sebagian publik Malaysia kecewa.
Mantan hakim Malaysia, Datuk Nor Faridah, menilai bebasnya majikan Adelina menunjukkan “gugurnya keadilan”.
“Asisten rumah tangga itu telah tewas! Ini bukan kasus penganiayaan yang menyebabkan cedera. Dia dibunuh. Siapa pun yang bertanggung jawab harus dihukum!” serunya dalam pesan kepada BBC News Indonesia.
Anggota parlemen Malaysia dari Bukit Mertajam, Steven Sim, yang melihat sendiri kondisi Adelina pada hari terakhirnya, mengaku sedih dengan putusan pengadilan.
“Saya sangat sedih dengan putusan ini. Ini benar-benar hari yang kelam bagi kami, ketika seorang warga asing muda yang menjadi korban penyelundupan manusia ke negara kami dan kemudian didapati telah disiksa dan meninggal, tapi tidak ada yang dihukum atas kejahatan apa pun,” jelasnya kepada BBC News Indonesia.
Adapun Alex Ong dari lembaga Migrant Care menilai putusan Mahkamah Persekutuan disebabkan rendahnya kemampuan investigasi kriminal dan penuntutan.
“Kami menyesali hasil kasus ini. Penegakan hukum Malaysia terhadap kebijakan buruk sistem online asisten rumah tangga telah menciptakan ribuan korban yang diselundupkan menjadi dikorbankan.
“Kita memerlukan langkah-langkah korektif pada reformasi legislasi untuk menangani gugurnya keadilan dengan banyak hukum pidana serta memperbaiki praktik-praktik buruk dalam penegakan hukum.”
Tidur dengan Anjing
Adelina Lisao lahir di Abi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, pada tahun 1998.
Pada umur 15 tahun, Juni 2013, ia berangkat ke Malaysia pertama kali dengan visa pelancong melalui sponsor perorangan.
Di Indonesia, umurnya dipalsukan menjadi 21 tahun dan mengaku berasal dari Medan, Sumatera Utara.
Dalam catatan Kementerian Luar Negeri, setiba di Kuala Lumpur, Malaysia, majikan Adelina mengonversi visa kunjungan singkatnya menjadi izin kerja sebagai PRT selama setahun.
Setelah izin habis, Adelina pulang ke Indonesia. Tapi, tiga bulan kemudian, Adelina kembali ke Malaysia menggunakan visa turis, dan bekerja untuk Jayavartiny Rajamanickam (anak dari Ambika) di Penang.
Di situ, Adelina bekerja sebagai PRT secara ilegal karena majikan tidak mengurus izin kerja, asuransi dan kontrak kerja.
Empat tahun berlalu, tepatnya 10 Februari 2018, Kepolisian Seberang Perai Tengah menyelamatkan Adelina dari penyiksaan dan membawanya ke rumah sakit setelah mendapatkan informasi dari para tetangga yang mendengarnya mengerang kesakitan.
Saat dievakuasi petugas, Adelina disebut mengalami kurang gizi, luka-luka parah (tangan dan kaki penuh luka bakar, wajah bengkak), dan ketakutan.
Adelina bahkan disebut hampir tidak bisa berjalan dan diduga dipaksa tidur di beranda rumah bersama anjing – majikannya dikabarkan tak mau cairan dari luka-luka di tubuhnya membuat kotor dalam rumah mereka.
Keesokan harinya, Adelina dinyatakan meninggal dunia, dengan dugaan Ambika melakukan penganiayaan.
Hasil autopsi (post mortem) rumah sakit menunjukkan, penyebab kematian adalah kegagalan multiorgan sekunder karena anemia (kemungkinan pengabaian). (*)