Oleh: Nata Irawan*
JAKARTA (Independensi.com) – RPJMN 2025-2029 tinggal menghitung tahun, banyak target pembangunan yang perlu dicapai. Pembangunan yang sebelumnya hanya fokus di perkotaan sudah mulai bergeser ke dimensi perdesaan sejak terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Salah satu tujuan terbitnya UU No.6/2014 ialah meningkatkan kualitas pelayanan publik di desa.Jelasnya masyarakat Desa yang maju dan sejahtera.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa meletakkan posisi desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sesuai hak asal usul desa, sehingga otonomi desa diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berikutnya ada program Nawacita, yang semakin menjadikan posisi desa menjadi sangat strategis. Program tersebut menegaskan perhatian khusus membangun Indonesia dari pinggiran dan desa. Namun, dana desa sebanyak 400,1 triliun belum banya berdampak signifikan mengatasi kemiskinan.
Sampai tahun 2018, perbedaan tingkat kemiskinan di desa dan kota masih relatif besar, yaitu sebesar 13,2% di desa dan tujuh persen di kota berdasarkan data pada 2018. Kondisi tersebut disebabkan disparitas yang terlalu tinggi antara kota dan desa terutama kemiskinan yang menempatkan stigma terhadap desa belum sepenuhnya berubah: jauh dan terbelakang.
Semenjak UU Desa terbit, hingga saat ini belum juga ada evaluasi mendalam dan menyeluruh terhadap kualitas pelayanan publik dan kapasitas aparatur desa yang menjadi motor layanan publik tersebut.
Melalui Bank Dunia, pada tahun 2019 pemerintah Indonesia berhasil mendapatkan pinjaman sebesar USD300 juta atau sekitar Rp4,2 triliun untuk mempercepat penurunan tingkat kemiskinan desa serta meningkatkan layanan di lebih dari 66.000 desa di 380 kabupaten. Tidak mungkin memperkuat layanan, tanpa memperbaiki sisi hulu dari keberhasilan pembangunan desa, yakni memperbaiki kualitas dan kapasitas pemerintahan desa.
Penelitian Irawan (2017) menunjukkan bahwa kapasitas pemerintahan desa menjadi kunci utama keberhasilan implementasi kebijakan Dana Desa. Diketahui bahwa tingkat efektifitas organisasi pemerintah desa menjadi variabel penting dalam menjalankan UU Desa agar mencapai kepuasan masyarakat.
Efektifitas ini pun dipengaruhi oleh tingkat kepasitas aparatur pemerintah desa, mencakup tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan peraturan perundangan desa, dan tingkat kesesuaian pengalaman dengan peraturan perundangan desa.
Dalam lingkup layanan publik, terdapat 31 jenis pelayanan publik yang disediakan oleh aparat pemerintah desa, mulai dari layanan keagamaan, pendidikan, kesehatan, kepemudaan, tenaga kerja, UKM, sampai pada layanan bisnis dan ekonomi. Fokus layanan pun beragam di tiap desa, namun rata-rata pelayanan publik yang disediakan di desa mencapai rata-rata 12 pelayanan.
Di Kabupaten Serang, penelitian Irawan (2017) mencatat bahwa terdapat desa yang hanya menyediakan 4 pelayanan dan yang terbanyak menyediakan seluruh 31 jenis pelayanan. Pelayanan paling banyak dipraktikan secara berurut (paling banyak) dimulai pelayanan kesehatan, pelayanan agama, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, dan pendidikan (81-90 %). Yang paling rendah, kelautan dan perikanan, transmigrasi, dan penanaman modal (dibawah 10 %).
Membidik Pengentasan Kemiskinan
Berdasarkan RPJPN 2005-2025, masalah kemiskinan dilihat dalam kerangka multidimensi, bahwa kemiskinan bukan hanya persoalan ekonomi berupa rendahnya pendapatan, namun juga berkelindan dengan persoalan lain diantaranya: (i) kerentanan dan kerawanan orang atau masyarakat untuk menjadi miskin; (ii) menyangkut ada/tidak adanya pemenuhan hak dasar warga dan ada/tidak adanya perbedaan perlakuan seseorang atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Selama tahun 2015-2021, secara akumulatif dana dari APBN telah disalurkan sebagai dana desa sebesar Rp 400,1 triliun dan telah digunakan untuk membangun prasarana penunjang aktivitas ekonomi masyarakat, berupa jalan desa sepanjang 308.490 kilometer, jembatan sepanjang 1.583.215 meter, pasar desa 12.244 unit, BUM Desa 42.317 unit kegiatan, tambatan perahu 7.384 unit, embung 5.371 unit, irigasi 80.120 unit, penahan tanah sebanyak 247.686 unit.
Untuk menunjang aktivitas ekonomi masyarakat, dana desa telah digunakan dalam pembangunan sarana olah raga sebanyak 29.210 unit, prasarana air bersih 1.207.423 unit, prasarana MCK 443.884 unit, Polindes 14.401 unit, drainase 45.517.578 meter, PAUD 66.430 kegiatan, Posyandu 42.007 unit, serta digunakan untuk membangun 74.289 unit sumur.
Berkaitan dengan sumber daya manusia secara global, laporan UNDP (2020) menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke 107 dari 189 negara bahwa Indeks pembangunan manusia di Indonesia masih kalah dari negara tetangga di ASEAN seperti Singapura yang menduduki peringkat ke-11, Brunei Darussalam menduduki peringkat ke-47, Malaysia menduduki peringkat ke-62, dan Thailand menduduki peringkat ke-79. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia masih tertinggal jauh dari negara–negara tersebut.
Pembangunan tanpa sumber daya manusia yang mumpuni, tentu saja menjadi tantangan utama. Apalagi bila kita cermati IPM desa cenderung lebih rendah dibandingkan perkotaan. Secara kualitas, provinsi dengan mayoritas penduduk tinggal di pedesaan cenderung memiliki persentase kemiskinan yang tinggi, dengan capaian IPM dibawah rata-rata nasional. Dari 514 kabupaten/ kota di Indonesia, masih terdapat 32 kabupaten dengan capaian IPM berkategori rendah (Kompas, 18 April 2018).
Sebagaimana dibahas sebelumnya terkait adanya disparitas bahwa pedesaan mengalami tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Pada Maret 2020 tercatat tingkat kemiskinan di perkotaan sebesar 7,38% (11,16 juta orang), adapun di pedesaan tercatat hampir dua kali lipat yaitu sebesar 12,82% (15,26 juta orang).
Angka kemiskinan tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan data di tahun 2019, di mana untuk wilayah perkotaan sebesar 6,56% dan pedesaan sebesar 12,60% (BPS, 2020). Namun jika dibandingkan dengan tahun 2015, Dana desa berdampa positif pada penurunan angka kemiskinan, Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di desa pada Maret 2015 sebanyak 17,89 juta jiwa dan terjadi penurunan menjadi 15,26 juta jiwa pada Maret 2020.
Pemerintah Indonesia pada tahun 2020 mengeluarkan program Sustainable Development Goals Desa (berdasar Perpres Nomor 59 Tahun 2019) untuk meminimalisir tingkat kemiskinan yang terjadi di wilayah pedesaan. Tujuannya adalah sebagai program prioritas penggunaan dana desa tahun 2021, sehingga dana desa tahun 2021 dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk menggali potensi-potensi dan mengurangi angka kemiskinan di desa.
Adapun latar belakang kehadiran SDGs desa adalah: (1) dana desa harus dirasakan seluruh warga desa, terutama golongan terbawah; dan (2) dampak pembangunan desa harus lebih dirasakan melalui pembangunan desa yang lebih terfokus.
Hasil penelitian Iskandar (2021) menunjukkan bahwa SDGs Desa berkontribusi sebesar 74% terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Jika menilik SDGs Desa nomor 1 (desa tanpa kemiskinan), pemerintah memiliki target menurunkan angka kemiskinan hingga mencapai 0% pada tahun 2030, artinya tidak boleh ada penduduk miskin di desa. Tim IRE Yogyakarta (2019) pada saat mereview Backgroud Study Report dan Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024, menemukan bahwa desa tidak dibahas secara tersendiri (khusus) di dalam sistematika penulisan dokumen RPJMN.
Ada lima program prioritas Presiden, yaitu; Pembangunan SDM, Pembangunan infrastruktur, Penyederhanaan regulasi, dan Transformasi ekonomi. Dalam kaitan dengan urusan pembangunan desa, semestinya kelima program prioritas tersebut juga penting diintegrasikan ke dalam kerangka kerja pembangunan desa.
Hulu persoalan dari kajian tersebut dalam pandangan penulis karena belum kuatnya kapasitas aparat desa sehingga berdampak pada lemahnya kredibilitas dalam melaksanakan layanan publik dan mengelola dana desa.
Kapasitas Aparat Desa
Secara pragmatis, penelitian Mangindaan (2019) menunjukkan bahwa dari hasil analisis empat indikator kualitas SDM, yakni knowledge, skills, experience dan abilities, secara umum kualitas SDM Pemerintah Desa dalam mengelola dana desa belumlah memadai. Tingkat pendidikan Pemerintah Desa, didominasi oleh lulusan SMA dan SMP, bahkan masih banyak aparat desa, khususnya bendahara yang hanya lulusan SD.
Ini sesuai dengan data Kemendagri (2019) yang menyatakan bahwa sebanyak 21% aparatur desa hanya lulusan SD dan SMP. Sementara, lebih daripada 60 persen aparatur desa itu hanya lulusan SMA, dan 19,9% aparatur desa itu sarjana.
Temuan lainnya, pendamping yang seharusnya memberikan saran dan masukan bagi Pemerintah Desa dalam pengelolaan dana desa tidak memiliki pengalaman yang sesuai. Tentu saja perlu dipikirkan bagaimana meningkatkan kualitas pemerintah desa untuk mengelola dana desa dan alokasi dana desa yang dimulai dari kajian-kajian mendalam terhadap masalah-masalah sumber daya pemerintah desa.
Dengan target penurunan angka kemiskinan maka RPJMN 2025-2029 perlu menitikberatkan secara khusus pembangunan desa secara integratif dengan berbagai prioritas pembangunan dan bagaimana mengakhiri tahun 2024 lebih dekat kepada target RPJMN 2025-2029, sebelum masuk RPJPN 2025-2045. Apakah melewati target atau melainkan jalan di tempat?
Penulis memberikan saran pada pentingnya penguatan pemerintahan desa karena berbagai hal seperti pelibatan masyarakat, rencana dan anggaran pembangunan desa, peningkatan partisipasi dalam perencanaan dan penguatan akuntabilitas berada dalam domain pemerintahan desa. Pengelolaan dana desa akan tertib dan sesuai harapan dari UU No. 6/2014 akan sangat bergantung pada kualitas tata kelola pemerintahan desa, kapasitas aparat desa akan melahirkan kredibilitas yang berdampak pada semakin efektifnya pelayanan publik di desa. (*)
*Penulis adalah Analis Kebijakan Ahli Utama Bidang Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri.