PONTIANAK (Independensi.com) – Dunia multipolar diusung Rusia dan China sejalan Persamaan mendasar dunia multipolar dan Program Moderasi Beragama. Persamaan dunia multipolar dan Program Moderasi Beragama adalah menghargai keberagaman, kemitraan sejajar, wujud penerimaan terhadap tradisi masyarakat pada sebuah negara.
Sekretaris Jenderal Dayak International Organization, Dr Yulius Yohanes, M.Si, Kais, 16 Maret 2023, mengatakan, dunia multipolar diusung Rusia dan China, wujud Program Moderasi Beragama dalam arti luas luas sebagai bentuk penghargan terhadap kebudayaan sebuah kawan.
Konsep kemitraan sejajar sesuai misi BRICS adalah sebuah organisasi untuk menampung dan mewadahi negara-negara ambang industry yang dibentuk pada 16 Juni 2009.
Pertama kali BRICS dipakai oleh pakar ekonomi Amerika Serikat, Jim ONeal, seorang ekonom perusahaan keuangan global Goldman Sachs, pada tahun 2001.
BRIC adalah akronim dari Brasil, Rusia, India, China, dan South Africa. Pemimpin BRICS menjadi sebuah kekuatan perubahan, menjadi juru bicara negara-negara berkembang.
Negara-negara BRICS secara bersama-sama mewakili hampir seperlima dari perekonomian global.
Ciptakan Perdamaian
Duta Besar Rusia di Indonesia, Lyudmila Vorobieva di Universitas Tanjungpura, Rabu, 15 Maret 2023, mengatakan, dunia Multipolar dibutuhkan untuk menciptakan perdamaian.
Konsep perdamaian di dalam dunia Multipolar antar negara bermitra sejajar, tidak boleh satu negara seenaknya mengatur dan menteror negara lain, untuk mencapai tujuan.
Perbedaan dalam sistem sosial, ideologi, dan sistem nilai yang dianut suatu bangsa jangan menjadi penghalang dalam pergaulan internasional.
Semua negeri, besar atau kecil, kuat atau lemah, kaya atau miskin, memiliki hak yang sama dalam komunitas internasional. Tidak boleh ada pihak yang menciptakan hegemoni dan memonopoli hubungan internasional.
Keberadaan Gerakan Non-Blok sebagai “kekuatan penting yang mendukung multipolarisasi dan mendirikan tatanan internasional yang baru”.
Diungkapkan Lyudmia, perlu didukung konsep keamanan baru yang dapat diterapkan sembari meninggalkan mentalitas perang dingin.
Menteri Agama
Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas meluncurkan Program Moderasi Beragama Kementerian Agama Republik Indonesia.
Yaqut Cholil Qoumas, saat dilantik jadi Menteri Agama, 20 Desember 2020, menjelaskan, tujuan Program Moderasi Beragama, berupa cara hidup untuk rukun, saling menghormati.
Program Moderasi Beragama bertujuan pula untuk menjaga dan bertoleransi tanpa harus menimbulkan konflik karena perbedaan yang ada.
Penguatan Program Moderasi Beragama supaya umat beragama dapat memposisikan diri secara tepat dalam masyarakat multireligius.
“Sehingga terjadi harmonisasi sosial dan keseimbangan kehidupan sosial,” kata Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama Republik Indonesia, sebagaimana dilansir kemenag.go.id.
Keberhasilan Program Moderasi Beragama pada kehidupan masyarakat terlihat dari tingginya empat indikator utama, serta beberapa indikator lain selaras dan saling bertautan:
Pertama, komitmen kebangsaan umat beragama. Penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan regulasi di bawahnya
Kedua, toleransi umat beragama. Menghormati beragama terhadap perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat, menghargai kesetaraan dan sedia bekerjasama
Ketiga, anti kekerasan umat beragama. Menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal.
Dalam mengusung perubahan yang diinginkan
Keempat, penerimaan umat beragama terhadap tradisi. Ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama
Urgensi Program Moderasi Beragama dalam kehidupan beragama dan berbangsa antara lain: memperkuat esensi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat.
Mengelola keragaman tafsir keagamaan dengan mencerdaskan kehidupan keberagamaan, merawat Keindonesiaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sejarah BRICS
Pertama kali BRICS dipakai oleh pakar ekonomi Amerika Serikat, Jim ONeal, seorang ekonom perusahaan keuangan global Goldman Sachs, pada tahun 2001. BRIC adalah akronim dari Brasil, Rusia, India, China, dan South Africa.
Pemimpin BRICS menjadi sebuah kekuatan perubahan, menjadi juru bicara negara-negara berkembang.
Negara-negara BRICS secara bersama-sama mewakili hampir seperlima dari perekonomian global.
Sejarahnya, BRICS sekarang sejalan dengan Konsep Dasasila Bandung tahun 1955.
Dimana Presiden Indnesia, Soekarno, menggagas Asia Africa Summit, di Bandung, 18 – 24 April 1955, melahirkan Dasasila Bandung 1955, adalah sepuluh poin hasil pertemuan.
Dasasila Bandung 1955, berupa “pernyataan mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia”.
Dasasila Bandung memasukkan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB dan prinsip-prinsip Jawaharlal Nehru.
Pertama, menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta aas-asas yang termuat di dalam Piagam Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kedua, menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa
Ketiga, mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil
Keempat, tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam negeri negara lain.
Kelima, menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian ataupun kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB.
Keenam, tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan tidak melakukannya terhadap negara lain.
Ketujuh, tidak melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan politik suatu negara.
Kedelapan, menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi, ataupun cara damai lainnya, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.
Kesembilan, memajukan kepentingan bersama dan kerjasama
Kesepuluh, menghormati hukum dan kewajiban–kewajiban internasional.
Dunia multipolar BRICS sejalan dengan Dasasila Bandung 1955, dan dalam perkembangan kemudian lahir konsep dunia Multipolar. Proyeksi dunia menuju negara Multipolar telah lama disiapkan.
Pada 23 April 1997, Presiden Rusia Boris Yeltsin dan Presiden China Jiang Zemin menandatangani sebuah pernyataan.
Pernyataan penting berjudul: “Russian-Chinesse Declaration on a Multipolar World and The Establishment of a New International Order”.
Dalam tujuh poin pernyataannya, Boris Yeltsin dan Jiang Zemin, menyoroti perkembangan dunia pasca perang dingin yang ditandai dengan bangkitnya kesadaran bangsa-bangsa.
Untuk hidup berdampingan secara setara (equal), saling menghormati, saling mendukung, dan damai.
Perbedaan dalam sistem sosial, ideologi, dan sistem nilai yang dianut suatu bangsa jangan menjadi penghalang dalam pergaulan internasional.
Semua negeri, besar atau kecil, kuat atau lemah, kaya atau miskin, memiliki hak yang sama dalam komunitas internasional.
Tidak boleh ada pihak yang menciptakan hegemoni dan memonopoli hubungan internasional.
Kedua pemimpin juga menyebutkan keberadaan Gerakan Non-Blok sebagai “kekuatan penting yang mendukung multipolarisasi dan mendirikan tatanan internasional yang baru”.
Pernyataan ini juga mendukung didirikannya konsep keamanan baru yang dapat diterapkan sembari meninggalkan mentalitas perang dingin.
Melihat situasi internasional sekarang, dapat dikatakan dokumen ini merupakan titik berangkat yang sangat penting di dalam melihat pola kemitraa sejajar di dalam BRICS.
Di Beijing, Jumat, 4 Februari 2022, Presiden Rusia, Vladimir Putin dan Presiden China, Xi Jinping, sepakat menghentikan hegemoni Amerika Serikat dan Barat dengan konsep unipolar.
Karena menurut Vladimir Putin dan Xi Jinping, konsep dunia unipolar diusung Amerika Serikat dan NATO ditolak semua negara berkembang. (*)