Bali (Independensi.com) — Sebuah forum kritis bernama Koalisi Peduli Kintamani (KPK) terlahir pada Kamis, 1 Juni 2023 di Kintamani. Forum yang berisikan orang-orang dari berbagai desa di seluruh Kintamani ini hadir sebagai bentuk kepedulian terhadap pembangunan Kintamani di masa depan.
Menyikapi dinamika yang terjadi di Kintamani belakangan, KPK menggulirkan diskusi publik edisi pertama yang dilaksanakan di K-Hometainment, Banjar Paketan, Desa Sukawana, Kintamani. Diskusi yang mengusung tema “Meneropong Arah Pembangunan Kintamani Masa Depan” itu dipantik lima tokoh lintas bidang, yakni Jero Mangku Sabaraka (pendidik/pengamat budaya Kintamani), Putu Widya Snicaya (praktisi pariwisata), I Nyoman Diana (pemuda; Ketua DPK Peradah Indonesia Bangli), I Made Somya Putra (praktisi hukum), dan Wayan Darmayuda (praktisi pertanian) serta dimoderatori oleh I K. Eriadi Ariana/Jero Penyarikan Duuran Batur (jurnalis).
Dalam kegiatan yang didukung LBH Panarajon, DPK Peradah Indonesia Bangli, Lingkar Studi Batur, K-Hometainment, MSP Creative Team, dan Info Batur itu Jero Mangku Sabaraka mengatakan bahwa Kintamani merupakan kawasan yang penting dalam percaturan sejarah Bali. Prasasti Bali Kuno dari masa Dinasti Singamandawa hingga Astasura Ratna Bumi Banten banyak ditemukan di Kintamani. “Hampir 80 persen tinggalan prasasti Bali ditemukan di Bangli dan 65 persen di antaranya terdapat di Kintamani. Sementara, Sukawana adalah titik dari kebudayaan Bali tua, yang ditandai dengan keberadaan konsep Ulu Apadnya,” katanya.
Namun, agungnya kebudayaan Kintamani itu terkesan mengalami degradasi dan peminggiran, yang ditunjukkan melalui sejumlah narasi menyimpang yang ditemukan. “Misalnya Raja Jayapangus dalam banyak pemahaman masyarakat Bali kini lebih dikenal sebagai seorang yang menikahi putri China, Kang Cing We, berselingkuh dengan Dewi Danu, dan memiliki anak raksasa Maya Danawa. Ini narasi yang tidak ada dalam data prasasti dan seakan meminggirkan eksistensi dan penghormatan masyarakat atas jasa-jasa Raja Jayapangus di masa silam,” kata guru di salah satu sekolah di Kintamani ini.
Dalam hal pendidikan dan kepemudaan, Diana mengamati pemuda Kintamani sesungguhnya memiliki kualitas yang baik. Hanya saja pengembangannya ke depan perlu dikawal. Ia yang juga akademisi di ITP Markandeya Bali ini mengatakan banyak sekolah di Kintamani saat ini kekurangan fasilitas dan tenaga pengajar. Bahkan, ada beberapa sekolah yang harus tutup karena kekurangan guru.
“Banyak sekolah yang fasilitasnya sangat kurang. Ada fasilitas komputer misalnya, tetapi tidak ada jaringan, sehingga tidak maksimal digunakan. Ada sekolah yang kekurangan guru, sehingga ditutup padahal sangat penting bagi kawasan tersebut,” jelasnya.
Diteropong dari dimensi pertanian, Darmayuda mengatakan bahwa Kintamani memiliki potensi yang sangat besar dikembangkan. Tiap desa memiliki peluang mengembangkan komoditas yang berbeda-beda sesuai dengan kontur geografisnya.
“Hampir 80 persen masyarakat Kintamani bertani. Tantangan hari ini di dunia pertanian adalah membentuk petani agar bisa mandiri. Perlu penguatan kelompok tani. Selain itu, perlu penerapan teknologi, akses pendampingan, permodalan, dan pasar bagi Kintamani,” kata dia.
Pada forum tersebut juga mengamati persoalan kepariwisataan Kintamani yang tengah menggeliat. Menurut Widya Senicaya, pariwisata di Kintamani adalah sebuah keniscayaan yang harus diterima dan direspons secara bijak oleh masyarakat. Masyarakat didorong untuk siap berhadapan dengan itu melalui peningkatan sumber daya manusia, sehingga tidak hanya menjadi penonton atau sekadar menjadi pekerja pariwisata di sektor manajemen bawah.
“Bagaimana kita meningkatkan sumber daya manusia, sehingga siap menjadi top management. Dengan demikian, kita tidak hanya sekadar menjadi penonton. Sudah harus ada SMK pariwisata di Kintamani untuk mendukung SDM kepariwisataan,” kata pemilik Pramana Zahill Kintamani ini.
Sementara itu, dalam konteks hukum, pendiri LBH Panarajon, Made Somya mengingatkan perlunya kehati-hatian menyikapi dinamika Kintamani yang tengah berjalan pesat. Jangan sampai dimensi kapitilistik yang tengah menyerbu Kintamani mendegradasi dan meminggirkan orang Kintamani itu sendiri.
“Penjualan tanah di Kintamani saat ini sangat masif. Ketika kita gampang menjual tanah, maka akan sangat sulit membelinya kemudian. Ini tantangan kita ke depan. Belum lagi persoalan air. Saat ini kita tengah melawan sisi kapitalistik, yang dibawa pariwisata,” katanya dalam kegiatan yang direspons antusias oleh para peserta yang datang dari berbagai desa di Kintamani seperti Sukawana, Batur, Songan, Kintamani, Subaya, Belantih, Selulung, Pinggan, Belandingan, dan lain-lain.
Somya merekomendasikan agar ke depan tata kelola Kintamani dikembangkan berbasis pada ekonomi kerakyatan. “Tidak perlu membangun banyak ekomodasi mewah dan besar, tetapi menggandeng masyarakat, bagaimana rumahnya misalnya dapat dikemas menjadi homestay, sehingga ekonomi memang berputar di internal masyarakat,” kata dia. (hw)