JAKARTA (IndependensI.com) – Rakyat Indonesia akan menghadapi dua pesta demokrasi besar yaitu Pemilihan Kepala Daerah serentak 2018 dan Pemilihan Presiden 2019.
Pilkada tahun ini akan menjadi yang terbesar dengan total 171 daerah menggelar pemungutan suara. Eforia pun telah terjadi dengan telah munculnya bakal-bakal calon gubernur dan bupati di seluruh Indonesia.
Kini, perasaan harap-harap cemas masih menghinggapi masyarakat. Pasalnya, pelaksanaan Pilkada serentak dan Pilpres rentan dengan hal-hal negatif, terutama hoax dan narasi kekerasan berbau SARA.
Bangsa Indonesia sempat tegang dan terkotak-kotak akibat kasus penistaan agama yang melibatkan salah satu calon gubernur.
Contoh nyata terjadi pada Pilkada DKI Jakarta tahun lalu. Saat itu, bangsa Indonesia sempat tegang dan terkotak-kotak akibat kasus penistaan agama yang melibatkan salah satu calon gubernur. Alhasil, kasus itu terus ‘digoreng’ kelompok-kelompok tertentu yang tujuannya menciptakan keresahan di masyarakat dan merusak persatuan NKRI.
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Paramadina Dr Hendri Satrio sangat menyadari kondisi itu. Menurutnya, hoax dan narasi kekerasan itu sulit dihindari di tengah booming media sosial (medsos) dan teknologi informasi. Karena itu, semua pihak harus benar-benar memiliki pengetahuan sebagai benteng untuk memberantas hoax dan narasi kekerasan tersebut.
“Memberantas hoax itu sebetulnya mudah, cukup kita melakukan cek dan ricek ulang terhadap setiap informasi yang dinilai janggal atau memiliki citra negatif. Bila hal ini terbiasa kita lakukan, hoax otomatis bisa kita diatasi,” ujar Hendri di Jakarta, Selasa (9/1/2018).
Begitu juga narasi kekerasan, lanjut Hendri, untuk meredamnya masyarakat harus mampu menahan diri dari pengaruh buruk media massa dan medsos. Intinya, setiap individu pemilik akun media sosial dituntut dewasa dalam mengelola pesan ke atau dari akun miliknya.
Selain itu, budaya instan yang disukai masyarakat tidak boleh digunakan pada era keterbukaan informasi. Semua informasi harus disaring dan ditelaah sebelum disimpulkan. Selain itu kebiasaan menyebarkan atau meneruskan berita negatif atas dasar eksistensi atau biar eksis juga harus dihilangkan
“Kuncinya adalah selektif dalam menilai setiap pesan yang beredar dan dewasa dalam menyikapi pesan yang beredar,” tegas pria yang juga aktif di Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) ini.
Ia mengungkapkan bahwa ada banyak dampak positif dari keberadaan Medsos. Namun ia tidak menampik bahwa dampak negatif Medsos ini sangat besar. Ia juga tidak menampik, bahwa Medsos telah masuk ke seluruh sel kehidupan manusia, termasuk dunia politik.
“Demokrasi memang masuk ke ranah baru, era medsos. Perdebatan di medsos dipersilahkan selama menggunakan informasi yang benar dan tidak menggunakan isu SARA,” pungkas Hendri.