JAKARTA (IndependensI.com) – Komitmen Presiden Jokowi terhadap pemberantasan korupsi tidak pernah surut satu jengkal pun. Dalam berbagai kesempatan, Presiden juga meminta supaya pemberantasan korupsi mengedepankan aspek pencegahan demi mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih. Berbagai kasus korupsi yang melibatkan para pejabat di tingkat pusat maupun daerah, menjadi indikator kasat mata betapa pentingnya upaya pencegahan yang lebih efektif.
Untuk menindaklanjuti komitmen dan tekad Presiden Jokowi tersebut, Kantor Staf Presiden (KSP) bertemu dan berkoordinasi dengan beberapa kementerian dan lembaga, guna mendorong terciptanya sistem kolaborasi pencegahan korupsi yang lebih efektif itu.
Ketika koordinasi masih menjadi permasalahan pokok, maka struktur kerja yang melibatkan lintas lembaga perlu diperhatikan. Hal ini disampaikan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko ketika berdiskusi dengan Jimly Ashiddiqie (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), Bivitri Susanti (Dosen Universitas Indonesia), Sri Wahyuningsih (Kementerian Dalam Negeri), Prahesti Pandanwangi (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), dan pejabat dari Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Bina Graha, Jakarta.
Dalam keterangan tertulis, Senin (05/03/2018) Moeldoko memandang, jika ada kemauan dari setiap pihak yang menangani masalah ini, pasti ada jalan untuk mengurai benang merah. Pencegahan korupsi harus dilihat sebagai upaya yang positif bagi lembaga yang diminta untuk melakukan pencegahan korupsi. “Seorang inspektur kadang tidak disukai karena memberi pendapat bagaimana cara kita bekerja, namun inspektur seharusnya dilihat sedang berupaya mencegah kita melakukan kesalahan yang tidak kita sadari,” kata Moeldoko.
Ia menyatakan oleh karen aitu, KSP akan mengurai benang merah ini dengan berkoordinasi dengan Kementerian terkait. “Setiap titik rawan korupsi harus kita cegah bersama,” tambah Moeldoko.
Jimly menyatakan terkait korupsi, pencegahan itu penting sekali. “Negara harus mengedepankan pencegahan, tidak hanya penindakan,” ujarnya. Penindakan adalah alat negara yang baru digunakan jika pencegahan sudah tidak bisa dilakukan.
Jimly menambahkan menurut UU tentang KPK, KPK memiliki peran penindakan dan pencegahan. Namun pencegahan tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri. Harus ada kolaborasi dari semua pihak. Pemimpin harus siap ikut bertanggung jawab apabila bawahannya ada yang korupsi. “Bila perlu, pemerintah perlu mempertimbangkan merancang Undang-Undang khusus tentang Sumpah Jabatan dan Tata Cara Pertanggungjawaban Publik,” kata Jimly.
Sementara itu Bivitri Susanti menyatakan kolaborasi antara KPK dengan pemerintah perlu mempertimbangkan posisi KPK yang independen. Namun independensi ini bukan berarti KPK tidak bisa berkolaborasi dengan pemerintah dalam hal pencegahan korupsi. “Oleh karena itu perlu payung hukum yang tepat supaya bisa mengakomodasi kolaborasi pencegahan korupsi antara KPK dengan Pemerintah. Payung hukum ini berfungsi untuk memastikan kolaborasi yang lebih efektif tanpa mengurangi independensi KPK. Bivitri memandang, payung hukum yang ideal adalah Peraturan Pemerintah,” ujarnya.
Sementara itu, Abraham Wirotomo, Tenaga Ahli Madya Kantor Staf Presiden menambahkan, “Saat ini semangat pencegahan korupsi sudah tumbuh di berbagai Kementerian namun masih rawan tumpang tindih yang menimbulkan beban administrasi yang tinggi,” ujarnya.
Ia menambahkan perlu strategi khusus untuk mengelola kolaborasi pencegahan korupsi bila ingin mewujudkan pencegahan korupsi yang efektif. Saat ini, Pemerintah Daerah harus melaporkan perkembangan program pencegahan korupsi kepada KPK, Kemendagri, dan Bappenas sehingga, para pelaksana program sibuk memikirkan pelaporan ketimbang pelaksanaan programnya.
Di dalam diskusi tersebut, Sri Wahyuningsih, Inspektur Jenderal, Kemendagri, menilai upaya pencegahan belum efektif lebih pada masalah implementasi dan bukan programnya. Ia mencontohkan peran inspektorat di daerah yang belum bisa berperan optimal, karena inspektorat tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk melakukan koordinasi dengan dinas-dinas yang lain. Di sisi lain, KemenPAN-RB menemukan banyaknya penggunaan aplikasi pengawasan yang sering tumpang tindih antarkementerian.
Timotius Partohap, pejabat di bagian Penelitian dan Pengembangan KPK menambahkan, KPK melaksanakan kegiatan koordinasi dan supervisi pencegahan (korsupgah) pada beberapa pemerintahan daerah kabupaten/kota di seluruh provinsi. Salah satu sektor yang menjadi fokus adalah pencegahan korupsi di sektor sumber daya alam. Selama ini, publik lebih banyak melihat penindakan KPK sebagai cara yang paling efektif memberantas korupsi.
Ia menambahkan pencegahan masih dianggap sebelah mata dan belum banyak mengetahuinya. Padahal, sejak dibentuk 2004 silam, selain menindak para koruptor, KPK juga memiliki program pencegahan sebagai bagian upaya memberantas korupsi.
Pada diskusi yang sama, Prahesti Pandanwangi, Direktur Hukum dan Regulasi, Bappenas mengatakan Bappenas sedang merevisi Perpres 55/2012 tentang Strategi Nasional Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi. Revisi dari Perpres 55/2012 dapat mengakomodasi kolaborasi yang lebih efektif.
Ia mengatakan upaya peningkatan kolaborasi sudah masuk dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2017 sebagai salah satu kegiatan prioritas Pemerintah di tahun 2017. Upaya pencegahan korupsi bisa lebih bersinergi apabila kolaborasi dan sinergi dimulai sejak penyusunan rencana pencegahan korupsi di masing-masing K/L. (swo)