IndependensI.com – Setya Novanto biasa dipanggil Setnov, terdakwa kasus korupsi pengadaan e-KTP (kartu tanda penduduk electronic) yang diperiksa Majelis Hakim Kamis (22/3) di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat menerangkan bahwa menurut Made Oka Mas Agung ada aliran dana ke Puan Maharani dan Pramono Anung masing-masing US $ 500.000,-
Made Oka Mas Agung, kata Setnov memberitahkan itu di rumahnya pada Oktober 2012. Saat itu Puan Maharani Ketua Fraksi PDI-P di DPR dan Pramono Anung sebagai salah seorang Wakil Ketua DPR.
Nama politisi PDI-P itu dikaitkan dengan korupsi e-KTP sungguh mengejutkan, sebab tidak pernah muncul termasuk dalam “nyanyian Muhammad Nazaruddin”, bendahara Partai Demokrat yang sedang menjalani hukuman terkait korupsi. Puan, putri Presiden ke 5 Megawati Sukarnoputri dan cucu Presiden Sukano itu saat ini Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, sementara Pramono Anung menjabat Sekretaris Kabinet pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kala.
Tuduhan Setnov itu langsung menambah kegaduhan di tahun politik ini, dan “menohok” jantung partai pendukung pemerintah. Nyanyian Setnov ini juga menjadi pukulan telak kepada pemerintahan sekarang, walaupun umum tidak yakin sepenuhnya keterangan Setnov itu. Karena memang kejujurannya agak diragukan mengingat manuver dan sepak terjangnya menghadapi proses hukum, dengan rekayasa hingga skenario kendaraan yang ditumpangi menabrak tiang listrik.
Ketika Made Oka Mas Agung selesai diperiksa kemarin di KPK sebagai saksi untuk temannya sesama tersangka dalam kasus yang sama Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, melalui pengacaranya Bambang Hartono membantah keterangan Setnov dan menegaskan tidak ada aliran dana ke Puan Maharani dan Pramono Anung.
Menjadi pertanyaan, bagaimana nasib keterangan Setnov itu? Apa tujuannya, mau bermain cantik untuk memperoleh justice collaborator (JC) atau ada tujuan politik? Keterangan Bambang Hartono, pengacara Made Oka Mas Agung tentu tidak akan berlaku kalau ada bukti aliran dana ke Puan dan Pramono Anung. Namun opini publik kepada kedua politisi PDI-P itu pasti berubah. Akibatnya justru terhadap kredibilitas Setnov semakin menciut dan mungkin juga mempengaruhi pertimbangan KPK dalam member status JC.
Sebagaimana diungkapkan Ketua KPK Agus Rahardjo ada tiga syarat JC yaitu mengungkap yang lebih besar, apakah karena Pramono Anung waktu itu Wakil Ketua DPR dan Setnov sendiri masih Ketua Fraksi Partai Golkar, tetapi dana yang diterima menurut dakwaan jauh di bawah Setnov. Demikian juga dengan Puan Maharani. Ini artinya tidak memenuhi syarat pertama bagi Setnov untuk menjadi JC.
Harus konsisten, sepanjang proses hukum yang dilalui sering menimbulkan ketidak konsistenan, malah sering menimbulkan kerepotan serta memakan korban. Dan yang terakhir mengakui perbuatan, sepanjang proses hukum Setnov belum pernah mengakui apalagi merasa bersalah.
Kalaupun mengembalikan uang Rp. 5 miliar ke KPK bukanlah pengembalian uang yang diterima, melainkan merupakan kewajiban keponakannya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, dengan alasan prihatin.
Bola panas berada di tangan KPK, dan mau diapakan “nyanyian” Setnov itu yang tidak bisa digunakan serta merta tanpa ada bukti sesuai perundang-undangan sebagaimana KPK menyikapi “nyanyian” M. Nazaruddin yang seolah tak berseri. Kita juga berharap KPK tidak akan menjadi alat balas dendam dan alat politik siapapun, namun juga tidak pilih kasih, pilih bulu, tebang pilih dan pilih tebang.
Kita tidak meragukan kredibilitas para advokat yang mendampingi para kliennya terutama dalam kasus e-KTP, bahwa mereka selalu setia dengan sumpahnya dengan berpegang pada Kode Etik Advokat Indonesia sebagai penegak hukum, sehingga setiap keterangan yang diberikan tidak semata-mata untuk kepentingan sang klien tetapi untuk kepentingan tegaknya hukum semata.
Oleh karena itu kita berharap semua pihak yang berkaitan dengan proses hukum kasus korupsi e-KTP taat asas, sehingga tidak adalagi korban seperti Miryam S Haryani dihukum karena keterangan palsu, Frederick Yunadi dan dokter Bimanesh Sutarjo jadi tersangka dengan tuduhan merintangi proses hukum.
Demikian juga pertanyaan yang mungkin tidak terjawab apa kaitan kasus e-KTP dengan penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan dan wafatnya Johannes Marliem salah seorang kontraktor penyediaan e-KTP. Di tahun politik kasus e-KTP akan selalu dikaitkan menjelang Pemilu dan mungkin menjadi seleksi alamiah bagi politisi kita. (Bch)