JAKARTA (Independensi.com) – Dalam sebulan, uang yang terkumpul mencapai 130.000 drakhma. Cukup lumayan, tetapi belum seberapa jika dibandingkan dengan total dana yang dibutuhkan komite. Untungnya ada seorang pengusaha sukses keturunan Yunani yang tinggal di Alexandria, Mesir, yang bersedia menalangi seluruh biaya renovasi Stadion Panatheaniakon. Totalnya lebih dari 1 juta drakhma.
Coubertin dan jajaran Komite Pengorganisasian Athena gembira bukan kepalang. Saat kabar ini disiarkan, orang-orang makin tergerak menyumbang. Totalnya pun bertambah menjadi 332.000 drakhma. Dana ini akan ditambah 400.000 drakhma dari penjualan perangko Olimpiade pertama, 200.000 dari penjualan tiket lomba.
Di akhir periode, dana yang terkumpul mencapai 1,5 juta drakhma. Ini sepuluh kali lipat lebih banyak dari perkiraan Coubertin. Dana yang cukup untuk menyewa 500 orang, bekerja siang-malam, hingga pada April 1896 Stadion Panatheaniakon siap dipakai untuk menggelar upacara pembukaan Olimpiade, ajang bergengsi yang telah absen selama 1.500 tahun.
Tepat hari ini Senin, 6 April 1896, kompetisi olahraga skala internasional pertama resmi dibuka di Athena, Yunani. Sekitar 100.000 orang memadati kompleks Stadion Panatheanic untuk menyaksikan deklarasi pembukaan oleh raja Yunani, George I. Di tempat itu pula sebagian besar cabang olahraga akan dilangsungkan hingga penutupannya pada 15 April 1896.
Turnamen berlangsung meriah sekaligus bersejarah dan membuat Yunani seakan-akan kembali ke ribuan tahun lampau di masa kejayaannya. Tak banyak diketahui orang adalah menjelang Olimpiade pertama itu digelar Yunani sebenarnya sedang mengalami kebangkrutan. Kisah ini ditulis David Randall dalam bukunya, 1896: The First Modern Olympics (2012), dan sempat dinarasikan ulang melalui kanal Independent.
Pada 10 Desember 1893, tiga tahun sebelum Olimpiade, Perdana Menteri Trikoupus berdiri di depan para anggota parlemen untuk menyampaikan sebuah duka: “Dengan menyesal, Yunani bangkrut.”
Yunani menggantungkan pertumbuhan ekonomi dan modernisasinya melalui utang luar negeri. Jumlahnya yang terus melonjak tak terkendali membuat pemasukan negara kembang-kempis. Pendapatan dari perdagangan luar negeri terus merosot. Pokok persoalannya ada pada jatuhnya harga kismis yang mewakili tiga perempat total komoditas ekspor Yunani.
Ide Orang Perancis
Pada pertengahan 1893, lebih dari separuh anggaran Yunani digunakan untuk melayani pinjaman yang tersisa. Jumlah ini tak akan bertahan selamanya, dan waktu memang membuktikan demikian. Oleh sebab itu pemerintah Yunani terpaksa menyerahkan kendali keuangannya kepada sejumlah komisi pejabat dari Jerman, Perancis, Inggris, dan beberapa negara lain.
Lalu datanglah seorang baron berkebangsaan Perancis, Pierre de Coubertin. Dalam catatan Encyclopedia Britannica, Coubertin adalah ahli pendidikan dan sejarah, namun juga punya hasrat tinggi di bidang pengembangan olahraga. Ia dan rekannya punya cita-cta menyelenggarakan kompetisi multicabang olahraga tingkat dunia.
Sejak awal, referensinya adalah pesta olahraga masyarakat Yunani kuno. Menurut laman Olympic.org, Olimpiade bisa dilacak hingga tahun 776 SM yang didedikasikan untuk para dewa Olimpian serta dilangsungkan di kawasan kuno bernama Olimpia. Tempat itu terletak di sebelah barat pulau Peloponnesse, yang dinamai berdasarkan sosok penemu olimpiade menurut legenda Yunani, Pelops.
Gedungnya dulu turut dipakai untuk berlatih para atlet. Di area tersebut juga dibangun kuil khusus untuk memuja dewa Zeus dan istrinya, Hera. Jadi Olimpiade bukan sekadar kompetisi, tapi juga ritual keagamaan, terutama untuk Zeus, dewa petir dan pemimpin dewa-dewa Yunani.
Tradisi perlombaan tersebut dilaksanakan secara rutin selama sekitar 12 abad, hingga akhirnya dilarang Raja Theodosius I dari Romawi pada tahun 393 karena dinilai sebagai “kultus kaum pagan”. Theodosius, yang saat itu sedang mengkampanyekan negara Kristen Romawi, menghentikan pagelaran olimpiade yang digelar empat tahunan.
Lewat sejarah yang dinilai berharga ini, Coubertin ingin menjadikan olimpiade kuno sebagai cetak biru dalam proyek kompetisi olahraga skala internasional di era modern. Para delegasi di Komite Olimpiade Internasional (IOC), organisasi yang didirikan Coubertin, memahami ini. Saat rapat mereka bahkan tak ngotot berupaya menjadi tuan rumah dan secara sukarela menyerahkannya pada Yunani.
Mendengar tawaran ini, Trikoupis menolak secara pribadi, tapi tak ia ungkapkan kepada publik. Alasannya realistis saja: Yunani “tidak memiliki cukup dana untuk menerima misi yang ingin Anda percayakan kepada kami,” demikian yang didengar Coubertin saat berkunjung.
Jawaban ini tak membuat Coubertin patah arang. Ia tahu keluarga kerajaan Yunani mendukung rencananya sebab memendam gelora patriotik terkait kejayaan masa lampau, saat mereka menjadi pusat peradaban dunia, termasuk di bidang olahraga. Lewat kemampuan lobinya, Coubertin sukses mengundang mereka untuk rapat.
Coubertin bepidato dengan penuh keyakinan, tentang bagaimana tradisi olimpiade yang agung harus dihidupkan lagi. Ia menyitir kata-kata mutiara orang Yunani yang berbunyi “bukan soal kemenangan tapi tentang ambil bagian” menjadi:
“Kekecewaan di sini bukan ketika tim kita dikalahkan, tetapi ketika kita sendiri tidak mau berpartisipasi dan bersaing.”
Raja George I kala itu sedang di luar negeri. Mendengar semangat dari keluarga kerajaan plus dukungan masyarakat Yunani, ia menunjuk anaknya untuk menjadi ketua Komite Pengorganisasian Athena. Sebelum George pulang kampung, Trikoupis sudah mengundurkan diri terlebih dahulu dari posisi perdana menteri.
Pertemuan pertama Komite Pengorganisasian Athena dilakukan pada 13 Januari 1895. Isinya secara detail membahas jadwal kegiatan, akomodasi, tempat lomba, kompetisi utama, hingga acara tambahan terkait kebudayaan.
Patungan Rakyat
Pekerjaan utama yang paling menghabiskan uang adalah merenovasi Stadion Panatheaniakon yang terlantar menjadi layak pakai. Mereka punya waktu 14 bulan. Namun polemik utama sejak rencana bergulir kembali mencuat: mereka tak punya uang. Dalam kondisi bangkrut, mereka juga sempat-sempatnya mencoret opsi meminta bantuan luar negeri. Seluruhnya mesti terkumpul dari dalam.
Kondisi ini memunculkan sebuah gerakan yang amat David Randall kagumi: patungan rakyat Yunani dari beragam latar belakang ekonomi, baik yang di dalam maupun di luar negeri. Pemerintah kotamadya bertugas mengoleksi duit dari dalam negeri, sementara sumbangan ekspatriat dikelola kedutaan besar dan kantor konsulat.
Tugas keduanya cukup berhasil, termasuk mampu menarik dukungan finansial dari komunitas-komunitas Yunani yang tinggal di Semenanjung Balkan, London, Kopenhagen, Irlandia, Boston, Kairo, Wina, Odessa, dan Marseille. Para pedagang menyumbang cukup besar, yakni mencapai 10.000 drakhma. Para biarawan yang menghuni gunung suci Athos bahkan turut mengirim uang tunai—meski tak seberapa jumlahnya.
Ada beberapa versi mengenai jumlah partisipan karena konsep tim nasional belum terbentuk hingga 10 tahun usai kompetisi. IOC memperkirakan ada 14 tim. 10 di antaranya mendapat medali, dengan AS meraih juara pertama terbanyak (11 medali) dan Yunani mendapat total medali terbanyak (46). Kala itu, juara I masih diberi medali perak dan runner-up medali perunggu. Aturannya kemudian diubah menjadi emas untuk juara I, perak untuk juara II, dan perunggu untuk juara III.
Selain Stadion Panatheaniakon, ada dua tempat kompetisi tambahan yakni Stadion Neo Phaliron Velodrome untuk cabang olahraga sepeda dan gedung Zappeion untuk anggar. Olimpiade ini sukses, ditandai dengan penonton yang kerap meluber hingga keluar stadion atau tempat pertandingan.
Raja George I sempat mengusulkan agar olimpiade selanjutannya digelar di Athena lagi. Wacana ini disetujui banyak pihak, namun ditentang keras oleh Cobertin. Merujuk David C. Young dalam The Modern Olympics: A Struggle for Revival (1996), selain karena sudah ditetapkan bahwa Olimpiade tahun 1900 diadakan di Paris, Perancis, Coubertin ingin setiap 4 tahun kota/negara seluruh dunia bergantian menjadi penyelenggara.
Usul Coubertin disetujui, dan telah dijalankan hingga Olimpiade ke-31 di Rio de Janeiro, Brazil, pada 2016 lalu. Perhelatan Olimpiade ke-32 akan dilaksanakan di Tokyo, Jepang, pada musim panas 2020. (Berbagai sumber/tirto/eff)