JAKARTA (IndependensI.com) – SEORANG sutradara teater dari komunitas seni Bulungan, Jakarta Selatan, yang grup teater yang disutradarainya menjadi penampil terbaik dalam Festival Teater Remaja se Jakarta beberapa tahun lalu, dalam sebuah diskusi seni pertunjukan yang dihadiri pelajar SLTP dan SLTA, menyatakan bahwa pribadi lepas pribadi yang menggeluti seni khususnya dan utamanya teater di lingkungan komunitas seni Bulungan, cuma ada dua pilihan setelah mereka lepas dan meninggalkan komunitasnya yaitu gagal atau berhasil.
Pernyataan sang sutradara tersebut memacu semangat seorang Agus Purwo yang menggeluti teater yang bermarkas di Bulungan sejak masih duduk di bangku SMP hingga lulus SMA.
“Terus terang saja saya banyak belajar dari dasar-dasar ilmu teater. Betul bahwa grup teater yang menempa saya saat itu para pendirinya bukanlah akademisi khusus seni utamanya teater. Tapi, pengalaman mereka dalam mengarungi kehidupan sehari-hari benar-benar dihayati secara total – seperti halnya ketika mereka menggumuli seni pertunjukan. Apalagi banyak di antara mereka yang mencerap ilmu dari tokoh-tokoh teater di Indonesia ini, seperti Teguh Karya, Arifin C Noer, Putu Wijaya dan lain-lain,” ujar Agus Puirwo – salah seorang teatrawan dari Teater Aquila – saat independensi.com berkunjung ke bengkel kerjanya di kawasan Ciputat Timur beberapa waktu lalu.
Bagi Agus Purwo yang saat ini telah berusia 48 tahun – bergelut dengan dunia teater adalah belajar tentang kehidupan dalam arti yang sebenarnya. Dan, salah satu pelajaran yang sangat berguna dan hingga sekarang dipraktekkan dalam kehidupan sehari dari suami Siti Nurmala ini adalah masalah yang berhubungan dengan orang per-orang yang lazim dikenal dengan komunikasi.
“Jujur saja, Mas, saya tidak pernah merasa minder atau rendah ketika saya berhubungan dengan orang-orang yang pendidikannya jauh lebih tinggi dengan saya,” katanya.
Apa yang diungkapkan Agus Purwo bukan omong kosong atau isapan jempol belaka, karena dia telah membuktikan dan merasakannya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. “Lulus SMA saya tidak melanjutkan kuliah. Saya langsung bekerja sebagai sales marketing dari perusahaan yang bergerak di bidang bahan-bahan bangunan,” ungkap putera semata wayang dari sebuah keluarga yang ibunya dikenal sebagai juru masak di lingkungan komunitas expatriat yang bertugas di Indonesia.
“Gara-gara Ibu saya pernah bekerja di keluarga expatriat yang tinggalnya di Menteng, saya pun pernah merasakan beberapa tahun menjadi anak menteng, Mas,” tambah Agus Purwo sambil tertawa ngakak. Maklum, kalau membicarakan warga yang beralamat di Menteng, Jakarta Pusat, memang image yang terlintas adalah orang-orang berstatus the have.
Salesman
Sebagai salesman bahan-bahan bangunan membuat Agus Purwo banyak bergaul dengan orang-orang dari berbagai kalangan serta strata sosial yang berbeda-beda: dari tukang aduk semen-pasir, pemborongan, kontraktor hingga orang-orang yang bergumul di sektor usaha property.
“Terus terang saya tidak munafik. Betul bahwa income yang saya terima setiap akhir bulan itu memang sebuah konsekuensi logis yang harus dinikmati oleh seorang pekerja seperti saya. Tapi, di balik semua itu, ada yang lebih penting yakni bagaimana saya harus menjalin dan sekaligus membina komunikasi yang baik dengan costumer saya pada saat itu,” ujarnya.
Agus Purwo tidak menolak ketika ditanya tentang penghasilannya – sebagai seorang bujangan pada saat itu. Namuan, dia tidak bersedia mengungkapkan secara terus terang penghsilan yang diperolehnya setiap bulan. Yang jelas, dengan bermodalkan kemampuan berkomunikasi yang dia pelajari dari berbagai peran yang berbeda saat dia masih aktif berteater – serta mencerap pemahaman akan karakter peran yang akan dikmainkannya dari sang sutradara, Agus Purwo mampu meyakinkan para pelanggannya sampai pada suatu ketika dia pun berani memutuskan untuk membuka usaha sendiri dengan modal dari uang tabungan yang disisihkannya setiap bulan selama dia bekerja sebagai salesman.
Tentu saja apa yang diharapkannya ketika dia mulai membuka usaha sendiri tidak semudah kalau kita membalikkan telapak tangan. “Terus terang, Mas, apa yang saya harapkan ketika saya membuka usaha sendiri tidak seindah seperti yang dibayangkan. Saya pernah bangkrut. Aset yang ada habis terjual untuk menutup kegagalannya. Tapi, saya tidak patah semangat. Bagaimanapun saya harus tahan terhadap ujian…” tuturnya.
Seperti halnya ketika masih malang-melintang di panggung teater, lupa terhadap dialog adalah ujian sekaligus tantangan. Maka untuk menggiring memori kolektif agar dialog yang terlupa itu kembali ke alur semula, Agus Purwo, pun dalam konteks sebagai seorang teatrawan, haruslah memiliki kemampuan berimprovisasi (yang baik, tentu saja) agar kerjasama antar pemain yang bermain dalam cerita yang sedang dipentaskan bisa kembali ke plot semula.
Dan, kemampuan Agus Purwo ber-”improvisasi” dalam realita kehidupan yang sebenarnya – membuahkan hasil yang sangat positip. Kemudian, perlahan tapi pasti, usaha yang dirintisnya pun kembali berjalan normal seperti yang diharapkan. “Ada satu lagi, Mas, yang harus dicatat dan sekaligus harus digaris-bawahi. Yaitu, dalam realita kehidupan sehari-hari yang sesungguhnya, saya punya lawan main yang tangguh dan disiplin yang membuat saya – ibarat sedang pentas di panggujng teater – selalu ingat dengan dialog yang ada dalam naskah… Mas mau tahu siapa lawan main saya dalam kehidupan sehari-hari yang sebenarnya? Dia adalah Siti Nurmala, istri saya yang senantiasa mendukung dan mengingatkan saya sehingga saya terhindar untuk tidak berimprovisasi dalam realitas kehidupan ha, ha, ha…”
Teater Aquila
Pasangan suami-istri Agus Purwo-Siti Nurmala (yang dikenalnya sejak masih duduk di SMP Negeri 56, Kebayoran Baru Jakarta Selatan, dan pernah berhiimpun di grup teater yang sama yakni Teater Aquila), telah dikaruniai tiga orang anak masing-masing bernama Diaz Fahrizi, Anisa Puspita dan Rafly Alfadzri.
Bengkel kerja yang dirintisnya pada 2001 di bawah payung usaha bernama Jaya Makmur, yang khusus membuat pagar rumah berbahan stainless stell, masih tetap dipertahankan hingga sekarang – meski Agus Purwo telah memiliki dua buah toko bahan bangunan. “Istri saya ikut membantu mengelola, Mas,” kata Agus Purwo.
“Saya sendiri waktunya tersita untuk memasarkan sekaligus bernegosiasi dengan para pelanggan. Sementara, adik sepupu saya, sejakl empat tahun lalu saya beri kepercayaan untuk menjalankan bengkel kerja yang saya rintis pada 2001 lalu. Kadangkala saya mendampingi adik sepupu saya ketika dia mendapat pesanan dari pelanggan lama,” tambah Agus Purwo.
Di bengkel kerjanya saat ini ada empat orang karyawan tetap, dan di antara mereka ada yang bekerja sejak Agus Purwo mulai mengawali usahanya. “Kalau ada job order besar, barulah melibatkan karyawan borongan.
Keberadaan bengkel kerja milik Agus Purwo pun sangat menolong ketika seniornya dari Teater Aqualia yang dikenal sebagai penata artistik film layar lebar dan teater mendapat job untuk membuat set panggung. “Kalau saya mendapat job membuat set panggung, selain saya mengerahkan semua karyawan saya, teman-teman dari grup teater juga ikut membantu. Sehingga, suasana atau atmosfir yang ada membuat saya terkenang kembali ketika saya masih aktif menjadi orang teater. Biarpun sekarang kita sudah tua-tua tapi candaan kita di tahun sembilan puluhan masih sering terlontar .. dan membuat suasana nostalgia sangat terasa,” kata Agus Purwo sambil tersenyum penuh arti.
“Masih rindu ingin manggung?”
Setelah merenung sejenak, Agus Purwo berkata: “Rindu juga sih. Tapi, kalau kita memainkan lakon komedi, apa masih lucu ya? Soalnya, dalam realita kehidupan sehari-hari kita di Indonesia saat ini banyak orang yang lucu-lucu. Sedangkan di lingkungan komunitas kita di Bulungan kalau tidak lucu disetrum … “
Perbincangan dengan Agus Purwo pun berakhir sampai di sini, dan mudah-mudahan lucu.