JAKARTA (Independensi.com) – Polisi Republik Indonesia (Polri) menetapkan paling tidak sebanyak 257 orang tersangka pembuat rusuh di Jakarta, Rabu dinihari, 22 Mei 2019. Para tersangka merupakan orang bayaran sebesar Rp 300 ribu per orang.
Polisi kemudian mengamankan satu unit mobil ambulans milik Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), nomor polisi 9686 PCF, bermuatan batu yang digunakan melempar aparat keamanan dan tidak ditemukan peralatan medis di dalamnya.
Para 257 tersangka tersebut ditangkap atas kerusuhan di tiga titik di Jakarta, yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Petamburan, dan Gambir. Dari kerusuhan di Bawaslu, Polri menetapkan 72 orang tersangka, dari Petamburan 156 tersangka, dan Gambir 29 tersangka.
Ke-257 tersangka akan dijerat melanggar pasal 170, Pasal 212, Pasal 214, Pasal 218 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang melakukan kekerasan terhadap aparat yang sedang bertugas.
Khusus di Petamburan, para tersangka dijerat melanggar pasal tambahan 187 KUHP tentang pembakaran. Karena yang dibakar adalah mobil yang tengah parkir, termasuk di antaranya mobil milik Polri dan sebagian asrama personl Brigade Mobil (Brimob) Polri.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Republik Indonesia, Jenderal (Purn) Wiranto, menegaskan, dari laporan Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia (BAIS TN), Pemerintah sudah bisa memetakan pihak di balik aksi rusuh massa, untuk diusut sesuai ketentuan hukum secara konsisten.
Aksi demonstrasi, sebagai bentuk ketidakpuasan kubu Calon Presiden nomor urut 2 atas nama Prabowo Subianto – Sandiaga Salahudin Uno, terhadap kemenangan Calon Presiden nomor urut 1 atas nama petahana Presden Joko Widodo (Jokowi) – K.H. Ma’aruf Amin yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI) di Jakarta, Selasa dinihari, 21 Mei 2019.
Mayjen Soenarko
Paling menarik dan mengundang perhatian, di balik ketidakpuasan komplotan Prabowo Subianto terhadap Pemilihan Umum Presiden Indonesia, Rabu, 17 April 2019, muncul nama Mayor Jenderal TNI (Purn) Soenarko, kelahiran di Medan, Sumatra Utara, 1 Desember 1953.
Soenarko, mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (Danjen Kopassus TNI AD), periode 12 september 2007 – 1 Juli 2008, mantan Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Iskandar Muda, Aceh, 2008 – 2009, turut pula dijadikan tersangka.
Soenarko, dijerat melanggar Pasal 110 juncto 108 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 KUHP tentang Makar dan Pasal 163 bis juncto146 KUHP tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum.
Soenarko ditangkap sehubungan dengan kasus hasutan kepada masyarakat untuk merongrong pemerintahan yang sah. Di dalam video arahan kepada masyarakat durasi 2,5 menit, Soenarko, mengenakan kemeja merah marun bergaris vertikal hitam tampak duduk di sebuah kursi dan berdialog dengan sejumlah orang.
“Kalau tanggal 22 diumumkan Jokowi menang, kita lakukan tutup dahulu KPU, mungkin ada yang tutup Istana dengan Senayan, tapi dalam jumlah besar. Kalau jumlah besar, polisi juga bingung. Kalau tentara, yakin dia tidak akan bertindak keras,” ujar Soenarko.
Ini penangkapan pertama terhadap mantan perwira tinggi TN AD di era demokratisasi sejak 21 Mei 1998. Soenarko ditangkap atas laporan Humisar Sahala, dengan nomor polisi nomor LP/B/0489/V/2019/Bareskrim, Senin, 20 Mei 2019.
M4 Amerika Serikat
Publik terkejut terhadap penangkapan Soenarko, lantaran melakukan penyelundupan terhadap senjata serbu paling mematikan produksi Amerika Serikat (AS), yakni M4 Carbine.
National Interest.org, senjata M4 Carbine merupakan salah satu senjata paling berbahaya di dunia. Senjata ini awalnya dikembangkan oleh Colt Defense guna memenuhi kontrak untuk Uni Emirat Arab (UEA), M4 kemudian digunakan oleh Angkatan Darat dan Korps Marinir Amerika Serikat (AS).
M4 sangat mirip dengan senapan serbu M16A2, tetapi memiliki laras yang lebih pendek. M4 memiliki laras 14,5 inci, sementara M16 mempunyai laran 20 inci. Seperti M16A2, M4 menembakkan peluru kaliber 5.56 milimeter dari magazine yang berisi tiga puluh peluru. Senapan serbu ini memiliki mode semi otomatis dan dapat memuntahkan tiga butir peluru.
Baru-baru ini, sebagai hasil dari pengalaman medan perang dengan M4, Angkatan Darat AS memutuskan untuk meningkatkan senjata ini ke standar M4A1. M4A1 memiliki barel tebal untuk retensi akurasi selama tembakan berkelanjutan, pemicu yang ditingkatkan, kontrol keamanan ambidextrous, dan kemampuan untuk menembak secara otomatis penuh.
Laman artileri.org menjelaskan, senjata ini memiliki akurasi dan kinerja superior untuk pasukan koalisi dalam misi tempur yang paling menantang. Kinerja M4 telah terbukti di seluruh dunia dalam berbagai operasi militer, termasuk aksi tempur di Irak dan Afghanistan.
Tentara AS setidaknya telah memperoleh total 500.000 Karabin M4 sejak seri M4 diperkenalkan pertama kali pada tahun 1993. M4 juga diekspor AS ke sekutu dan negara-negara North Atlantic Treaty Organization (NATO) sebagai bagian dari paket penjualan militer asing atau foreign military sales (FMS).
M4 Carbine menggunakan sistem operasi gas langsung. Forearm, buttstock dan grip terbuat dari bahan berkualitas tinggi. M4 menawarkan kekuatan tembak dan mobilitas yang ringan.
Laras yang diperpendek memungkinkan pasukan untuk beroperasi dalam pertempuran jarak dekat (close quarters battle).
Konfigurasi optimal dari larasnya memungkinkan dipasangnya peluncur granat standar AS dan semua peluncur granat NATO. Senapan ini menggunakan rel Picatinny MIL-STD 1913 dan juga dapat dilengkapi sistem optik night-vision, laser sight, peredam suara dan bipod. Bisa dikatakan M4 memiliki kesamaan lebih dari 85% dengan senapan M16A2.
Mirip Tahun 1965
Keberadaan mantan petinggi TNI AD, di balik upaya merongrong kewibawaan Pemerintah pasca hasil Pemilu Presden, Rabu, 17 April 2019, mirip kejadian Gerakan 30 September (G20S) 1965, sehingga operasi Central Inteligence Agency Amerika Serikat (CIA AS) berhasil menggulingkan Presiden Soekarno terhitung 22 Juni 1966.
Presiden Soekarno diganti Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen TNI Soeharto sejak 1 Juli 1967 hingga 21 Mei 1998. Pasca kejatuhan Presden Soeharto terhitung 21 Mei 1998 dinamai era demokratisasi.
Bedanya kejadian tahun 1965 dengan tahun 2019, jika tahun 1965 CIA AS memanfaatkan konflik internal di lingkungan TNI AD, di tahun 2019, CIA AS memanfaatkan ketidaksukaan kelompok garis keras di Indonesia terhadap Presiden Joko Widodo sebagai massa pendukung fanatik Prabowo Subianto selama kampanye Pemilu Presiden 2019.
Terbongkarnya penyelundupan senjata serbut M4 produksi Amerika Serikat, tidak bisa dianggap remeh, sehingga mesti melihat kasus tahun 1965. AS selalu merangkul kelompok kontra pemerintah untuk mengganggu pemerintahan yang tidak sah.
Ada dua argumentasi sederhana, kenapa di balik aksi rusuh massa di Jakarta, Rabu dinihari, 22 Mei 2019, ada kepentingan Amerika Serikat.
Pertama, AS dikenal sebagai negara yang tidak sembarangan menjual senjata kepada berbagai pihak di luar negeri. Dalam kondisi seperti itu, Soenarko, bisa dengan bebas memasok senjata serbu organik yang sudah diidentifikasi Pemerintah, digunakan untuk aksi rusuh massa di Jakarta, Rabu, 22 Mei 2019, dan kepentingan kelompok bersenjata di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD).
Kedua, AS sangat berkepentingan mengdongkel Presiden Indonesia, Joko Widodo, karena berhasil merebut saham mayoritas, yakni 51 persen saham PT Freeport Indonesia yang dikuasai Amerika Serikat sejak tahun 1967.
Sebagaimana diketahui, ketidaksukaan CIA AS terhadap Presiden Soekarno, dengan meledakkan G30S 1965 di bawah kendali Pangkostrad Letjen TNI Soeharto, karena proklamator, itu, tidak mau memberi izin kuasa pertambangan emas dan tembaga di Papua, setelah wilayah itu direbut Indonesia dari Belanda pada tahun 1962.
BIN dan BAIS
Beda dengan tahun 1965, langkah CIA AS untuk mengganti Presiden Presiden Joko Widodo, nampaknya tidak semudah yang dibayangkan.
Ada beberapa asumsi. Pertama, institusi intelijen seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Inteljen Strategs Tentara Nasional (BAIS TNI), TNI dan Polri, sepenuhnya di bawah kendali Presiden Joko Widodo.
BIN dan BAIS TNI, terus secara rutin, memasok situasi di masyarakat, sehiingga Presiden langsung melakukan langkah antisipasi, seperti menangkap Soenarko saat berada di luar rumah, bersama satu anggota TNI AD aktif dan supir. Soenarko sekarang ditahan di Rutan TNI AD, Guntur, Jakarta.
Kedua, hasil Pemilihan Umum, Rabu, 17 April 2019, partai koalisi pendukung pemerintah menguasai lebih dari 50 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).
Ketiga, tokoh nasional mantan Presiden Indonesia, seperti Jusuf Baharudin Habibie (1999 – 2001), Megawati Soekarnoputri (2001 – 2004) dan Susilo Bambang Yudhoyono (2004 – 2014), dan Wakil Presiden Indonesia, Try Soetrisno, telah secara terbuka menyatakan sepenuhnya menerima hasil perolehan suara Pemilu Presiden, Rabu, 17 April 2019 yang telah menetapkan Presiden Joko Widodo sebagai pemenang.
Keempat, organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama, sejak awal telah menyatakan dukungan penuh terhadap kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Kendati demikian, kelompok garis keras, ini, sebagai pendukung fanatik Prabowo, diprediksi akan terus melakukan perongrongan terhadap Pemerintahan Presiden Joko Widodo – Wakil Presiden K.H. Ma’aruf Amin, dalam lima tahun mendatang, 2019 – 2024.
Bentuk perongrongan terhadap Pemerintahan Presiden Joko Widodo – Wakil Presiden K.H. Ma’aruf Amin, karena sakit hati setelah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebuah organisasi massa radikal, ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan paham kekhilafahan, dibubarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017.
Sehubungan dengan ini, aksi rusuh massa di Jakarta, Rabu dinihari, 22 Mei 2019, mesti dijadikan momentum bagi Pemerintah, untuk melakukan tindakan hukum tanpa pandang bulu bagi siapa saja yang terbukti melakukan aksi makar, ujaran kebencian dan pelanggaran hukum lainnya. (Aju)