Eddy Yoenanto yang Multitalenta

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Pada era 1970-an, Eddy Yoen, sapaan akrabnya, yang masih mengenakan seragam sebuah SMA Negeri ternama di Jakarta Pusat, bergabung dengan Sanggar Garajas – Bulungan.

Setiap Rabu, Sabtu dan Minggu (sepulang kebaktian dari Gereja) dia hadir di Bulungan untuk belajar melukis bersama di bawah bimbingan Dimas Praz — ilustrator dari sebuah majalah wanita ternama — sekaligus sebagai pendiri Sanggar Garajas.

Selain belajar melukis bersama, secara berkala Eddy Yoen dan kawan-kawannya juga membuat sket bersama di Pelabuhan Sunda Kelapa, Kebon Binatang Ragunan, Kebun Raya Bogor dan lain-lain.

Sket yang dibuat dipilih satu per satu. Kemudian, untuk memotivasi “anak didik”-nya Dimas Praz (alm) mengirimkan sket-sket tersebut ke Harian Sore SINAR HARAPAN — tanpa diketahui oleh “anak didik”-nya.

Ternyata sket-sket karya anak-anak Sanggar Garajas — termasuk giresan Eddy Yoen — dimuat di halaman atau rubrik khusus untuk remaja yakni Sinar Remaja (yang diasuh oleh Poppy Donggo Hutagalung, Pramono dan Haryono), yang hadir setiap Rabu di Harian Sore SINAR HARAPAN.

Dampaknya ternyata sangat positif. Sebab, selain sket karya mereka dimuat, mereka juga mendapatkan honor.

Sejak itu — tanpa melalui “tangan” Dimas Praz — hampir setiap Rabu sket karya anak-anak Sanggar Garajas muncul di halaman Sinar Remaja termasuk sket karya Eddy Yoenanto.

Honor yang diterima memotivasi Eddy Yoen untuk senantiasa berkirim sket ke Harian Sore SINAR HARAPAN. Hal yang sama — ternyata dilakukan oleh teman-teman Eddy Yoen, sehingga setiap Sabtu dan atau selambat-lambatnya Senin, secara bergantian mereka datang mengambil honorium ke redaksi SH yang pada saat itu beralamat di Jalan Ekor Kuning, Pasar Ikan – Jakarta Kota.

Honor tersebut membuat Eddy Yoen tidak membebani keluarganya — paling tidak honor tersebut bisa dipergunakan untuk transport ke sekolah dan ke Bulungan.

Dalam perjalanannya di kemudian manakala aktivis Gelanggang Bulungan yang menggeluti sastra dan teater di mana mereka pun sering bikin puisi, resensi pertunjukan teater, kronik budaya, Eddy Yoen pun tak hanya sebatas membuat sket akan tetapi membuat pula puisi, cerpen dan kronik budaya. Sudah pasti honorarium yang diterimanya lumayan.

Lulus SMA Eddy Yoen meneruskan kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik dan tetap setia menjadi aktivis seni Bulungan. Dan, dengan rekannya sesama civitas academica STP serta beberapa anggota Sanggar Garajas, Eddy Yoen membentuk sebuah group teater yang diberi nama Teater Bersama.

Seperti group teater lainnya yang ber home base di Bulungan, teater bersama pun beberapa kali ikut Festival Teater Remaja.

Selain menjadi pemain Eddy Yoen juga merangkap sebagai sutradara. Uniknya, semuanya dipelajari secara otodidak.

Usai menempuh pendidikannya, Eddy Yoen “hilang dari peredaran” — dalam arti dia relatif jarang nongkrong di Bulungan.

Seperti aktivis Bulungan (yang secara otodidak menekuni dunia tulis menulis dan di kemudian hari menekuni dunia jurnalistik dan menyebar di media massa yang terbit di Ibukota) – Eddy Yoen pun bekerja sesuai dengan latar pendidikannya. Bukan di media akan tetapi bekerja di Sekretariat Negara sejak era Prediden Soeharto hingga dia pensiun di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Meskipun namanya telah tercatat sebagai PNS (kini ANS) cerpen hasil karyanya sesekali muncul di majalah umum dan majalah khusus kumpulan cerpen. Demikian juga puisi hasil karyanya sesekali muncul di lembaran budaya surat-surat kabar baik yang terbit di Ibukota maupun daerah.

Kini, setelah pensiun, Eddy Yoen lebih banyak melukis. Sering ikut pameran bersama dengan pelukis lainnya yang diselenggarakan di berbagai kota.

Di rumah kediamannya di bilangan Sunter – Jakarta Utara – salah satu ruangannya dijadikan studio sekaligus ruang pamer hasil karyanya.

Sepanjang kiprahnya sebagai seniman serba bisa (multi talenta) Eddy Yoen baru dua kali menggelar pameran tunggal.

Pameran tunggal pertama digelar di Galeri Cemara. Sedangkan pameran kedua Eddy Yoen akan digelar di Museum Keramik & Seni Rupa pada 26 Oktober  2019 — 2 November 2019 Taman Fatahillah (Kota Tua) Jakarta Kota.

Dua kali pameran tunggal dan dua-duanya diselenggarakan pada bulan Oktober.

Kenapa Oktober? “Karena bulan Oktober adalah hari ulang tahun pernikahan saya. Juga anak-anak kami lahir di bulan Oktober … Jadi, kalau Anda akan married di bulan Oktober atau baru berencana akan married, Anda saya tunggu di pameran tunggal saya yang kedua pada 26 Oktober yang akan datang…” (Like Wuwus)