Istri mendiang Sukamdi, Arfiani (tengah), bersama empat orang anaknya (dari kiri) Ardiansyah Wibowo, Umaya Tri Syalsyabila, Chyntia Nurfikasari, dan M Winardi Putra. (Dokumentasi Keluarga)

Sukamdi Dalam Kenangan

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Tanggal 30 Juni 2016, tepat setahun yang lalu, Sukamdi meninggal dunia. Banyak rekan sejawat baik yang ada di Medan maupun Jakarta terkejut. Karena mereka tidak pernah mendengar kalau legenda golf Indonesia sakit.

Ternyata, memang, sebagaimana yang kemudian diungkapkan oleh Ardiansyah Wibowo (Bowo) putra sulungnya, Sukamdi tidak pernah mengeluh kalau dia sakit kanker.

Baru setelah sakitnya sudah tak tertahankan, keluarga besar Sukamdi yang berada di Medan, mengetahui bahwa kanker yang diderita oleh pegolf “puja kesuma” (Putra Jawa Kelahiran Sumatera) 53 tahun itu pada awal 2013.

Dokter yang memeriksa kondisi Sukamdi menyatakan bahwa legenda golf Indonesia menderita kanker stadium 4. Untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya, Sukamdi menjalani operasi pada April 2014. “Setelah menjalani kemoterapi sebanyak duapuluhempat kali, Bapak tutup usia pada tanggal 30 Juni 2016,” tutur Bowo.

Menyebut nama Sukamdi – tanpa bermaksud mengkultuskan almarhumah – sama halnya dengan memaknai sebuah keteladanan dari seorang pegolf yang mengawali kariernya sebagai caddy di lapangan golf Tuntungan, Medan, Sumatera Utara, pada 1977.

Sukamdi saat terbaring sakit masih sempat mengacungkan jempol saat dikunjungi oleh rekan-rekannya dari komunitas golf di Medan. (Dokumentasi Keluarga)

Saat masih SD, sebelum berangkat ke sekolah – karena kadang dia masuk pagi dan kadang masuk siang – dia menjadi caddy para pejabat baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun yang tinggal di kota Medan.

Pekerjaan tersebut dilakoninya sampai lulus SMA. Di sela-sela waktu luangnya, dia manfaatkan untuk berlatih dan bermain golf. Dia tidak mengalami kesulitan saat berlatih. Karena, kakak-kakaknya, yakni Suparno, Sukardi, dan Suparnan – yang pada zaman Bung Karno pernah dikirim ke Yugoslavia untuk mewakili Indonesia mengikuti turnamen golf amatir negara-negara non-blok – juga bekerja di lapangan golf Tuntungan sebagai pelatih (sekarang lazim disebut denngan istilah Teaching Pro).

Baik Sukamdi maupun kakak-kakaknya adalah para otodidak sejati di olahraga golf. Tapi di kemudian hari olahraga yang mereka tekuni itu ternyata berhasil menghantarkan keberadaan mereka baik secara sosial maupun ekonomi di tengah-tengah masyarakat.

Paling tidak, berkat kepiawaiannya mengayunkan stick golf, Suparno bisa bekerja di Pertamina sebagai pengisi avtur untuk mesin pesawat terbang di Bandara Polonia Medan.Setelah pensiun, dia kembali menekuni golf sebagai pro.

“Aku ikut turnamen ini bukan semata-mata mengejar hadiah.Tapi ada yang lebih penting dari itu. Yakni kembali merajut tali silaturahmi dengan teman-teman…,” kata “Pak De”, sapaan akrab Suparno, dalam setiap kesempatan berjumpa dengan penulis di sebuah turnamen pro yang diikutinya yang berlangsung di lapangan golf yang ada di Jabodetabek dan sekitarnya.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Sukamdi. Berkat keahliannya bermain golf, Kamdi, demikian sapaan akrabnya, bisa bekerja di BI Sumatera Utara yang berkedudukan di Medan berkat rekomendasi dari Miranda Goeltom…

Suasana di TPU usai Sukamdi dimakamkan. (Dokumentasi Keluarga)

Tentang Sukamdi, bukan lantaran dia memiliki keahlian bermain golf dan seabreg prestasi yang telah ditorehkannya, kemudian Miranda Goeltom merekomendasikan Kamdi bekerja di BI Medan. Namun, ada nilai “plus” yang dimiliki Kamdi yang tidak dimiliki pegolf amatir lainnya yakni kesetiaannya terhadap pekerjaan.

Paling tidak, ketika rekan-rekannya segera beralih ke pro begitu mereka selesai menjalani pemusatan latihan dan tampil di luar negeri mewakili bangsa dan negara dalam sebuah turnamen berskala regional dan/atau internasional, Sukamdi justru tetap bertahan berada dalam pelatnas jangka panjang yang dibentuk oleh PB PGI di bawah pimpinan Soedomo.

Seperti diketahui, Kamdi, adalah satu-satunya pegolf amatir yang menjadi “langganan” tetap pemusatan latihan golf di era PB PGI berada di bawah pimpinan pak Domo.

Pegolf lainnya, boleh datang dan pergi, usai mereka bergabung di pelatnas golf yang ber-home base di Jakarta Golf Club Rawamangun. Tapi, tidak dengan “Puja Kesuma” yang bernama Sukamdi.

Pertanyaannya, kenapa hal tersebut terjadi? Karena, selain bisa diandalkan permainan golfnya untuk merebut medali di nomor perorang dan beregu dalam event regional maupun internasional, Sukamdi juga dikenal mempunyai jiwa leadership dan dapat memberikan motivasi kepada rekan-rekannya sesama penghuni pelatnas baik pegolf putra maupun putri.

Karena itulah maka dia selalu dipercaya sebagai captain team golf Indonesia dalam berbagai event regional dan/atau internasional baik yang berlangsung di dalam maupun luar negeri.

Sudah pasti bahwa seorang olahragawan dari berbagai cabor apa pun tak terkecuali golf, jika mereka berada di pelatnas mereka bisa meninggalkan keluarganya sampai berbulan-bulan lamanya.

Yang menarik dari seorang Sukamdi – setidaknya yang masih melekat erat di dalam memori kolektif penulis – dia tidak pernah mengeluh apalagi protes atas situasi dan kondisi yang “mendera” dirinya selama berada di pelatnas tersebut.

Dia sangat bersyukur karena “hanya” dengan memiliki keahlian sebagai pegolf yang dipelajarinya secara otodidak, dia bisa dikirim ke ke luar negeri mewakili negara dan bangsa dalam berbagai turnamen golf yang sangat prestisius.

“Mas,” kata Sukamdi pada suatu hari ketika penulis menemuinya di Jakarta Golf Club (JGC) Rawamangun – home base pegolf penghuni pelatnas – awal 1990-an saat penulis menjadi reporter Majalah Golfer (satu-satunya media khusus golf yang terbit di Indonesia) yang owner-nya adalah keluarga SM Baharson yang sehari-harinya menjadi staf ahli pak Domo yang saat itu menjabat sebagai Menko Polkam

“Aku sungguh sangat bersyukur karena Allah SWT memberiku karunia bakat sebagai pegolf. Sehingga, aku, wong ndeso dari Tuntungan Medan, bisa pergi ke tempat-tempat di luar negeri, yang tidak pernah aku bayangkan… Mungkin kalau aku tidak bisa main golf aku tidak akan pernah pergi ke luar negeri,” katanya dengan bahasa Jawa berlogat Arek Suroboyo – meski sebenarnya nenek-moyang Sukamdi berasal dari Purworejo Bagelen, Jawa Tengah.

Kesetiaan dan pengorbaban Sukamdi tidak sia-sia. Dan “upah” yang dia terima dari Allah SWT sungguh sangat luar biasa. Paling tidak, sebagai pegolf penghuni pelatnas – dengan “gaji” atau lebih tepatnya uang saku yang diterimanya setiap bulan — dia tidak pernah terlambat berkirim uang untuk istri dan anak-anaknya yang saat itu masih kecil-kecil.

Sementara untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-harinya selama menjadi penghuni tetap, Sukamdi mengaku bahwa Allah SWT tahu apa yang dia butuhkan. “Alhamdullilah… tanpa mengurangi sedikit pun jatah untuk keluarga di Tuntungan … berkah selalu saya peroleh dari yang di Atas,” katanya.

Sebagai pegolf amatir nomor satu di Indonesia pada saat itu, memang bukan rahasia lagi bahwa setiap kali Sukamdi diminta untuk bermain golf bersama – dari pengusaha ternama sampai pejabat, baik sipil maupun militer zaman Orde Baru – dia memang mendapat fee.

Tapi, karena pada saat itu dia masih berstatus sebagai pegolf amatir – maka dia tahu diri dan sadar akan status yang disandangnya sehingga dia tidak pernah pasang tarif. “Dikasih berapa pun tetap saya terima karena rezeki sudah ada yang mengatur…,” katanya.

Memasuki dekade 2000-an – terutama selepas era Orde Baru dan masuk ke era Reformasi – dalam suatu kesempatan ngobrol dengan penulis Sukamdi mengaku bahwa dia merasa berada di “persimpangan jalan”. Tapi, dia memilih untuk tetap menggeluti olahraga golf yang telah membesarkan namanya. Dia lalu beralih status dari pegolf amatir ke profesional.

Sesuai dengan tuntutan zaman di mana PGPI yang pada saat itu dipimpin oleh bankir terkenal bernama Widarsadipradja, sementara PB PGI dipimpin oleh Soedomo dengan Taufik Aziz sebagai Sekjen PB PGI sekaligus Sekjen PGPI, begitu memasuki era millenium PGPI dipimpin oleh Japto Soerjosoemarno dan Haryanto Dhanutirto menjadi orang nomor satu di percaturan golf nasional sebagai Ketua Umum PB PGI. Masing-masing asosiasi baik PB PGI maupun PGPI punya Sekretaris Jendral sendiri-sendiri.

Akibat perubahan tersebut utamanya di internal PB PGI terjadi pula perubahan yang sangat mendasar. Salah satunya pelatnas jangka panjang yang pada era pak Domo menjadi semacam “Kawah Candradimuka” bagi para pegolf amatir nasional yang dipersiapkan untuk mengikuti berbagai event regional dan internasional, dihapus. Kabarnya, pada era Reformasi, PB PGI tidak memiliki figur pengurus sekelas Bob Hasan yang, pada PB PGI era pak Domo dipercaya untuk mencari dan menghimpun dana dari para pengusaha.

Selain itu – karena sesuai tuntutan zaman di mana PB PGI pimpinan Haryanto Dhanutirto dan PGPI yang dipimpin oleh Japto Soerjosoemarno masing-masing punya Sekretaris Jendral sendiri – kebijakan “satu pintu” seperti yang ada di era Soedomo (PB PGI) dan Widarsadipradja (PGPI) secara otomatis juga tidak berlaku.

Suka tidak suka kebijakan “satu pintu” tersebut pada saat itu dampaknya dirasakan sangat positif baik oleh pegolf amatir maupun pegolf profesional.

Kenapa?

Karena sanction fee yang diperoleh PB PGI dari Event Organizer yang menggelar turnamen pro di Indonesia, dananya dialokasikan untuk membiayai kegiatan pegolf amatir yang akan tampil di berbagai event di luar negeri.

Sedangkan sponsor yang diperoleh PGPI pun – sebagian dananya – dipergunakan untuk mendukung turnamen golf amatir yang digelar di dalam negeri.

Sukamdi dan pegolf penghuni pelatnas lainnya nyaris tidak pernah absen mengikuti berbagai turnamen di manca negara baik turnamen individu maupun team. Pada saat itu penulis dan rekan-rekan media lainnya tidak pernah mendengar PB PGI mengeluh kesulitan masalah dana. Karena, suka tidak suka dan diakui atau tidak, sistem kebijakan “satu pintu” yang diterapkan oleh pengurus PGI di bawah pimpinan pak Domo memang manfaatnya besar sekali terutama untuk mendukung pengembangan dan peningkatan prestasi pegolf amatir di Tanah Air.

Dan, diakui atau tidak, prestasi Sukamdi dan rekan-rekannya di berbagai ajang turnamen bergengsi di tingkat nasional, regional dan international memang memudahkan pengurus untuk “menjual prestasi” yang mereka torehkan, baik kepada pribadi lepas pribadi maupun korporasi melalui donasi yang, kalau menggunakan istilah yang lazim pada saat ini: corporate social responsibility atau CSR.

Oleh karena itu, ketika dipergolfan nasional terjadi perubahan yang sangat “radikal” seiring dengan perubahan zaman – dari era Orde Baru ke era Reformasi – Sukamdi, yang pada saat itu berada di “persimpangan jalan” mengambil keputusan untuk beralih status menjadi pegolf profesional.

Banyak yang menyatakan bahwa Sukamdi terlambat masuk pro. Padahal, Thongchai Jaidee, pesaing sekaligus pengagumnya yang berasal dari Thailand, yang lebih awal menjadi pro, namanya sudah terkenal di seluruh dunia.

Sebetulnya tidak ada kata terlambat untuk memulai. Dan, dalam kasus Sukamdi – saat dia beralih ke pro – di negeri ini memang sedang terjadi masa transisi, yang berdampak ke dalam segala aspek kehidupan termasuk olahraga dan golf khususnya.

Sponsor sangat sulit didapat karena pada saat itu semua orang “tiarap” sambil menunggu peluang apa yang dapat mereka kerjakan segera setelah masa transisi berlalu.

Situasi seperti itulah yang membuat prestasi Sukamdi di kancah kompetisi pro pada saat itu tidak semoncer prestasi yang ditorehkan oleh pegolf “Puja Kesuma” itu saat dia masih berkiprah di kompetisi amatir.

Di sisi lain Sukamdi juga harus pandai-pandai mengatur waktu karena pada saat itu namanya sudah tercatat sebagai pegawai Bank Indonesia Sumatera Utara yang berkedudukan di kota Medan.

Sebagai pegawai dia harus cuti paling tidak selama sepekan kalau dia akan mengikuti turnamen pro di Jawa. Dan, bagi Sukamdi, masalah permohonan cuti bukan sesuatu yang sulit untuk diperoleh karena beberapa penentu kebijakan di tempat dia bekerja tahu bahwa dia adalah seorang pegolf profesional.

Tapi, bukan Sukamdi namanya kalau tidak tahu diri. Justru kemudahan yang didapatkannya membuat dia tidak bisa seenak “udel”-nya. Karena dia memang bukan tipe manusia yang suka “mentang-mentang”.

Sekali dua kali dia memanfaatkan kemudahan tersebut. Selebihnya dia bersikap “Wait and See”. Artinya, kalau event yang akan diikutinya berhadiah besar, barulah dia mengajukan cuti. Dan, sebagai pro yang belum mendapatkan sponsor, di mana setiap kali dia akan mengikuti turnamen dia harus keluar biaya dari kocek sendiri, dia memang harus berhitung untung dan rugi.

Setidaknya, kalau dia mengikuti turnamen yang berhadiah besar, dia harus bisa lolos cut off. Sebab, bagaimanapun hasil akhir dalam turnamen yang diikutinya itu, kalau dia lolos cut off dan finish di posisi sepuluh atau lima besar misalnya, dapat dipastikan modal yang dia keluarkan dari kocek sendiri akan kembali.

Tapi, fakta bicara lain, karena kompetisi golf pro di dalam negeri saat masih berada dalam suasana transisi selepas tumbangnya rezim Orde Baru, sama sekali tidak berada dalam situasi dan kondisi yang menggembirakan. Sehingga membuat posisi Sukamdi “serba salah”: ikut turnamen harus cuti, tidak ikut turnamen membuat keterampilannya – ibarat pisau – menjadi tumpul karena jarang atau bahkan tidak diasah sama sekali.

Itulah mengapa prestasi yang ditorehkannya di ajang kompetisi golf pro lokal tidak secemerlang sewaktu masih berkiprah di amatir.

Tapi, apa pun yang mendera dan mengharu biru perjalanan seorang Sukamdi di per-golf-an nasional semasa hidupnya, akan tetap dikenang dan tercatat dalam sejarah bahwa dari Bumi Pertiwi yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia pernah lahir seorang pegolf legendaris yang sepak terjangnya di kancah persaingan golf amatir belum ada yang berhasil menyamainya. Sampai hari ini. (Toto Prawoto)