Yo Sugianto

Profesional dan Sapihan

Loading

Oleh : Yo Sugianto

IndependensI.com – Profesional. Kata yang selalu disandang ketika berbicara tentang sepakbola masa kini. Kata yang mudah diucapkan, tapi sulit diwujudkan dalam waktu singkat. Inggris telah membuktikannya, dengan mengunyah waktu lebih dari dua dekade untuk membuat sebuah kompetisi profesional yang diakui dunia.

Di English Premiership League (EPL), profesional tersaji tak sekedar dalam bangunan fisik stadion atau tempat latihan, hadirnya pejabat dengan seabrek wartawan mengiringi atau seremonial pembukaan yang gemebyar. Profesional di sana menyangkut banyak aspek, termasuk gaya hidup, perilaku dan manajemen. Berbicara manajemen tentu tak semata administrasi, tapi juga legal dan organisasi.

Sedangkan di Indonesia, kompetisi Indonesia Super League (ISL) yang kini berganti nama menejadi Liga 1 telah mencoba meletakkan dasar-dasar profesionalitas itu, meski terbilang terseok-seok karena ketidaktegasan PSSI . Persyaratan profesional yang didengungkan PSSI sejak 2007 tak pernah dilaksanakan dengan tegas. Infrastruktur profesionalisme cenderung diabaikan.

Kita lihat saja aspek legalitas yang masih belum dipenuhi oleh semua klub, mungkin sekarang sudah semuanya setelah gebrakan Menpora melalui BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia). Tak usah bicara soal kesiapan memiliki stadion atau tempat latihan, karena tim besar pun sampai berkelana ke stadion lain untuk bertindak sebagai tuan rumah.

Amburadulnya kompetisi di tanah air bukan semata kesalahan klub atau operator kompetisi, karena di atas mereka terdapat PSSI sebagai lembaga yang memiliki kewenangan (sesuai Statuta FIFA) sebagai penyelenggara kompetisi resmi di sebuah negara. Pembiaran kesemrawutan pada hakekatnya adalah wajah PSSI itu sendiri.

Sayangnya taring BOPI sudah tumpul. Suaranya tak terdengar lagi, tidak seperti pada 2015 dan 2016 yang membuat kepengurusan PSSI di bawah pimpinan La Nyalla Mattalitti harus terbenam sebelum sempat bekerja, dan Indonesia untuk  pertama kalinya mendapatkan sanksi pembekuan dari FIFA. Tidak jelas kenapa BOPI dan Menpora jadi sakit gigi, apakah karena segan dengan Edy Rahmayadi yang terpilih sebagai Ketua Umum PSSI periode 2016-2020 ataukah sudah berpuas diri karena menganggap reformasi total yang didengungkannya sudah terjadi di PSSI.

Kekisruhan antara PSSI dan pemerintah tentunya sudah dipahami oleh Edy Rahmayadi sebelum maju menjadi Ketua Umum organisasi itu. Jargon “Bermartabat dan Profesional” yang diusungnya tentu tak sekedar pemanis dan penarik perhatian para pemilik suara dan masyarakat. “Visi ke depan bila saya jadi ketum PSSI adalah PSSI yang profesional dan bermartabat. Dimana di situ diatur yang namanya profesional yaitu tidak terganggu urusan politik, tidak terganggu dengan kegiatan yang berbau kepentingan,” kata Edy Rahmayadi, 13 Oktober 2016 saat menyampaikan visinya.


Sapihan

Tampak jelas di situ adanya keinginan PSSI menjadi lembaga yang profesional, tak terganggung urusan politik dan kegiatan yang berbau kepentingan. Sejauh ini, sejak terpilih pada 10 November 2016, tidak terlihat adanya urusan politik berbicara dalam berbagai program PSSI. Untuk “kegiatan yang berbau kepentingan” ini sifatnya luas dan bisa dilihat dari keputusan-keputusan yang sudah diambil.

Salah satu keputusan yang saat ini menuai kontroversi adalah perubahan regulasi kompetisi Liga 1 yang sedang berjalan. PSSI memutuskan menghapus sementara peraturan pemain U-23 dalam skuad klub di Liga 1 mulai berlaku pada 3 Juli 2017-30 Agustus 2017. Peraturan U-23 akan kembali berjalan akan berjalan mulai 1 September 2017 hingga 2017 sampai berakhirnya kompetisi Liga 1 2017.

Pertimbangan yang diberikan PT LIB adalah : “Aspek fairness kompetisi mengingat jumlah pemain yang diambil dari masing-masing klub tidak merata dan menjaga kualitas serta popularitas kompetisi akibat dari dipanggilnya pemain terbaik U-23 ke Tim Nasional.” Selain itu, sebagai konsekuensi dari  penangguhan itu, jumlah pergantian pemain yang tadinya 5 kali kini menjadi tiga kali saja. Para pemain U-23 yang dipanggil ke timnas itu untuk menghadapi SEA Games 2017 dan kualifikasi Grup H AFC Championship 2018

Tak  pelak perubahan regulasi di tengah kompetisi yang sedang berjalan langsung mengundang reaksi keras dari sebagian klub peserta Liga 1. Presiden Madura United, Achsanul Qosasi bahkan mengatakan di akun twitternya  “PT LIB kembali mengubah peraturannya sendiri. Peraturan ini untuk bantu siapa? Inkonsistensi membuat kompetisi jadi lelucon.”

Saat ditanya oleh pers, Achsanul mengatakan dengan  pedasnya : “Enak sekali ya mengubah aturan kompetisi, boleh diubah kapan saja. Atau jangan-jangan karena klub milik mereka pemainnya sedang dipakai timnas U-22?.”

Suara lainnya dari  beberapa klub juga mempertanyakan, dan merasa disisihkan karena tidak diajak berbicara tentang keputusan itu.  Ketua Umum Persipura Jayapura, Benhur Tommy Mano mengatakan “Apa yang dilakukan oleh Liga Indonesia Baru dengan menangguhkan regulasi pemain U-23 hingga 30 Agustus 2017 adalah janggal, tidak konsisten dan sewenang-wenang.”

Suara-suara miring itu, selain adanya beberapa klub yang mendukung perubahan regulasi penggunaan pemain U-23, tidak bisa dianggap sepele. Bisa saja PSSI bersikap membiarkan spekulasi yang berkembang, dengan memperhitungkan akan padam atau surut sendiri, dan tahu klub Liga 1 tetap tak bisa berbuat apapun selain protes melalui media.

Sedangkan PT LIB mestinya bersikap aktif menghadapi situasi seperti ini. Meski PSSI melindunginya, tapi itu bukan sikap bijak jika PT LIB pasif seperti sekarang. Mereka jadinya seperti anak yang masih memerlukan sapihan dari sang induk. Terlihat justeru Wakil Ketua Umum PSSI, Joko Driyono yang memberikan tanggapan atau penjelasan, bukannya Direktur Utama atau Direktur Kompetisi PT LIB.

Masyarakat akan mempertanyakan sejauh mana profesionalitas PT LIB sebagai operator, yang tak hanya menunjukkan inkonsistensi dengan keputusannya tapi juga tidak berani bersikap atas keputusan PSSI yang menciderai profesionalitas dan perasaan klub Liga 1. Bisa tak terhindarkan adanya kesan PT LIB belum siap menggantikan PT LI, dan masih perlu sapihan dari PSSI.

Tak hanya itu. PSSI harus melakukan tindakan cepat untuk menepis tudingan bahwa perubahan regulasi itu “atas pesanan atau lobi” beberapa klub besar yang pemain U-23 nya dipanggil ke timnas untuk SEA Games dan AFC Championship 2018. Pemanggilan itu dirasakan berat oleh beberapa klub itu, karena peran vital pemain U-23. Jika ini tetap dibiarkan, maka pernyataan Edy Rahmayadi tentang “profesional yang tidak terganggu dengan kegiatan yang berbau kepentingan” bisa dipertanyakan.

Semestinya PSSI tidak gegabah mengambil keputusan untuk merubah regulasi di tengah kompetisi yang sedang berlangsung. Regulasi yang telah disepakati semua pihak sedari awal.  PSSI harus ingat bahwa mereka tak hanya  berhadapan dengan kekecewaan peserta Liga 1, tapi  juga dengan opini publik yang sudah terbentuk dengan adanya sikap inkonsistensi itu.

Rasanya tak perlu memberitahu pengurus PSSI sekarang ini tentang kesalahan di masa lalu yang tak perlu diulangi. Para anggota Komite Eksekutif dan pengurus lainnya yang profesional merupakan kumpulan orang pandai. Sebagian dari mereka pandai secara intelektual, sebagian berpengalaman dalam persepakbolaan dan organisasi PSSI.

Dari situlah nanti PSSI akan dinilai apakah mampu menjadikan dirinya bermartabat dan profesional.***

*Penulis adalah pemerhati sepakbola, saat ini bermukim di Jogjakarta.