Direktur Rumah Bebas Konflik (RUBIK), Abdul Ghofur

Panwas Jangan Jadi Pemicu Konflik Pemilu

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Seleksi calon Anggota Panitia Pengawas (Panwas) Kabupaten/kota untuk Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019 mulai diselenggarakan Senin (10/72017) oleh Bawaslu. Ujian saringan dilaksanakan di 139 titik yang dibagi menjadi empat zona dan empat waktu penyelenggaraan yang berbeda, mulai tanggal 10 hingga 20 Juli 2017 seperti dikutip pada laman berita Bawaslu.

Perekrutan calon anggota Panwas Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019 tersebut dikritisi sejumlah pihak yang peduli pemilu. Tujuannya agar seleksi calon anggota Panwas Pilkada itu benar-benar memberi hasil yang positif. Peran Panwas Pilkada dirasakan sangat penting demi tercapainya suatu hasil pemilu yang benar-benar berkualitas.

“Rekrutmen Panwas Kabupaten/Kota kali ini oleh Bawaslu hendaknya menjadi momentum untuk menghadirkan Panwas yang memiliki integritas dan profesionalisme, bukan justru memunculkan “pemain-pemain” yang menjadi beban tercapainya pemilu yang berintegritas dan adil,”kata Direktur Rumah Bebas Konflik (RUBIK) Abdul Ghofur kepada IndependensI.com di Jakarta, Senin (10/7/2017).

Pada pelaksanaan pemilu sebelumnya tidak sedikit Panwas yang dipecat atau diberi sanksi oleh DKPP karena pelanggaran etika yang dilakukan.
“Pada banyak kasus pelanggaran etika yang dilakukan Panwas biasanya diikuti oleh konflik pemilu yang kerap berujung pada terjadinya konflik kekerasan baik antara penyelenggara dengan calon atau antara calon dengan calan, dan tentunya bisa mengganggu tahapan pilkada,” Abdul Gofur yang juga Dosen Tetap Ilmu Politik Universitas Negeri UPN Veteran Jakarta ini.

Lebih lanjut dikatakan, berdasarkan pengamatannya pemanfaatan jaringan-jaringan ormas dan organisasi kepemudaan sebagai basis sumber rekrutmen Panwas juga harus hati-hati, sebab tidak jarang Panwas nantinya dimanfaatkan oleh oknum jaringan-jaringannya yang terafiliasi dengan calon maupun partai politik.
“Boleh saja jaringan ormas dan organisasi kepemudaan jadi basis sumber rekrutmen, tapi juga harus berhati-hati, transaksi-transaksi yang terjadi antara Panwas dengan calon juga di awali oleh kedekatan organisasi, dan tentu ada imbalannya, bisa tunai atau komitmen setelah jadi, bisa proyek atau jabatan,” tandasnya.

Soal lain yang tidak kalah pentingnya adalah profesionalisme, menurut Anggota ICMI Bidang Politik ini, karena dalam seleksi sering tidak obyektif, melainkan sangat subyektif. Dicontohkan, karena semata-mata calon Panwas ini adalah kawan seorganisasi maka timsel bisa mengalahkan calon yang secara subtansi dan latar belakang pendidikan yang lebih mumpuni.

Oleh karena itu, selama ini  banyak ditemukan anggota Panwas yang cuma “aksesoris” saja, tidak tahu tahapan pemilu, tidak paham UU dan peraturan KPU dan Bawaslu, bahkan jarang masuk kantor. “Bagaimana mau mengawasi dan menindaklanjuti laporan. Kalau disuruh buat laporan, yng dibuat  hanya mengkopi hasil pekerjaan KPU,” ungkapnya.

Terkait dengan hal itu, kata Abdul Ghofur, ada dua fase yang menjadi filter soal ini, yaitu tim seleksi di fase pertama dan Bawaslu Provinsi di fase akhir.
“Kita berharap timsel dan Bawaslu Provinsi justru tidak menjadi bagian yang menaburkan benih-benih pemicu lahirnya permasalahan soal integritas dan profesionalisme. Bukan sebaliknya. Seharusnya dicegah diawal daripada berakhir di DKPP, apalagi karena soal ini muncul konflik yang berujung kekerasan,” tuturnya. (Independensi.com/kris kaban)