Edy Rahmayadi, Masa Depan PSSI dan Cagub

Loading

Independensi.com – Siapa yang menentukan masa depan PSSI? Jawabannya tidaklah sulit, karena berada di tangan anggotanya dan diatur dalam Statuta dengan jelas. Lalu apa kaitannya dengan ketua umumya, Edy Rahmayadi yang menjadi calon gubernur (cagub) Sumatra Utara?

Mestinya hal itu tidak ada kaitannya. Tapi PSSI melalui Sekjen Ratu Tisha Destria menanggapinya : “Kebebasan politik pribadi jangan sampai disangkutpautkan dengan masa depan federasi, itu yang bisa saya sampaikan.”

Tentu tak hanya Edy Rahmayadi saja yang dapat mencalonkan diri jadi cagub, anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI lainnya juga bisa jadi cagub, calon walikota atau bupati, calon anggota legislatif, bahkan maju jadi calon presiden atau wakil presiden.

Semuanya itu hak masing-masing dan tak terkait dengan masa depan federasi (PSSI).
Apalagi mereka yang pernah menjadi pengurus PSSI, seperti La Nyalla Mattalitti yang mantan Ketua Umum PSSI (yang digantikan oleh Edy Rahmayadi). La Nyalla mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Timur, daerah dimana ia menjadi Ketua Kadin Jawa Timur.

Maka, terasa menggelikan pernyataan PSSI soal pencalonan ketua umumnya sebagai gubernur itu dikaitkan dengan masa depannya. Apakah jika Edy Rahmayadi gagal lalu masa depan PSSI suram, atau sebaliknya akan lebih gemilang jika ia berhasil menjadi gubernur Sumut?.

Statuta PSSI tidak mengatur soal jabatan rangkap Ketua Umumnya, maka bisa saja nanti Edy merangkap jadi Gubernur Sumut jika memenangkan Pilkada 2018 mendatang. Saat ini pun ia juga rangkap jabatan sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).

Meskipun rangkap jabatan itu, seperti dikatakan oleh Edy Rahmayadi “Lho kan enggak apa-apa. Enggak masalah dong (rangkap jabatan). Doakan saja,” (cnn.com),namun tetap memunculkan banyak pertanyaan tentang fokusnya ia memimpin PSSI yang dalam 8 bulan kepemimpinannya sudah punya banyak masalah.

Sebut saja soal regulasi Liga 1, ada tim yang mundur di Liga 2, kualitas wasit, tewasnya bobotoh Persib, kegagalan timnas U-23 dan berbagai sindiran terhadap Persib Bandung yang jadi ‘anak emas’ PSSI.

Menarik mencermati pencalonan dua sosok yang kental berbau PSSI itu untuk menjadi orang nomer satu di Sumut dan Jatim. Bedanya, Edy Rahmayadi masih jadi ketua umum PSSI hingga 2020, sedangkan La Nyalla sudah tidak lagi menjabat karena mengundurkan diri setelah tersandung kasus hukum.

Di tengah pencalonan dirinya sebagai cagub Jatim, Mahkamah Agung telah memutuskan La Nyalla tak bersalah dalam dugaan korupsi dana hibah Kadin Jatim. Meski sudah bebas dari MA, rekening bank La Nyalla juga masih diblokir Kajati Jawa Timur dan tagihannya sebesar Rp 25 miliar ke PSSI juga belum mendapat kejelasan kapan dibayar. Ia juga aktif melakukan kunjungan ke berbagai daerah dan kelompok.

Batu Lompatan

Sepakbola memang memiliki daya tarik tersendiri bagi mereka yang ingin dan sudah berkiprah di kancah politik. Meski sering dibilang keduanya berada di jalur yang berbeda, tapi harus diakui sepakbola dan politik juga memiliki banyak kesamaan dan hubungan yang unik. Keduanya mempunyai jutaan penonton, juga menghasilkan tribalisme yang kadang ekstrem.

Sepakbola dan politik juga sama-sama memunculkan harapan untuk berbagi, bersenang-senang dalam kemenangan, kekalahan dan persaingan, perselisihan dan pertikaian.

Hubungan keduanya pun memberi keuntungan tersendiri bagi mereka yang berkiprah di dunia politik. Prestasi dan nama besar sebuah klub misalnya, memberi pengaruh pada banyak hal, menjadi modal berharga bagi pemiliknya untuk lebih mulus melangkahkan kakinya ke dunia politik.

Sebagai contoh seorang Silvio Berlusconi yang karir politiknya berkibar dengan mengusung partai Forza Italia, dengan keberhasilannya membawa klubnya AC Milan menjadi salah satu yang terbesar di Serie A Italia.

Namun tidak semuanya itu bisa diterapkan di Indonesia. Banyak yang gagal dalam karir politiknya meski sudah memimpin sebuah klub atau duduk di kepengurusan PSSI. Di era Nurdin Halid misalnya, yang sampai membawa pemain Timnas bertandang makan siang ke rumah ketua umumnya, Aburizal Bakrie menjelang babak final Piala AFF 2010. Meski keluarga Bakrie minta kunjungan itu tidak dipolitisasi tetap tak bisa dipungkiri nuansa kental politik di situ. Nuansa memanfaatkan momentum untuk mendongkrak citranya di masyarakat.

Mengutip teori D Laswell, ilmuwan politik asal Amerika, Harold D Lasswell, yang mengatakan bahwa politik selalu bicara apa, dapat apa, siapa, bagaimana dan di mana.

Pencalonan Edy Rahmayadi itu seperti kembali menegaskan pameo bahwa menjadi ketua umum PSSI itu menjadi batu loncatan untuk berkiprah di dunia politik. Jabatan ketua umum itu memang sarat gengsi, karena sepakbola merupakan olahraga paling populer.

Nama ketua umum juga sering muncul di media ketimbang menteri-menteri yang sering berganti karena ada reshufle kabinet. Apalagi ia mampu memberikan prestasi bagi masyarakat lewat kehebatan tim nasional di berbagai kejuaraan, maka gengsinya akan makin moncer.

Menurut Ketua Save Our Soccer, Akmal Marhali, sejatinya jabatan di PSSI itu lebih dari Gubernur bahkan setara presiden. PSSI itu replika negara dari sabang sampai merauke. Ada Asprov (gubernur), Ascab (bupati/walikota), ada klub (pengusaha) ada suporter (rakyat).

Rangkap jabatan sebagai gubernur juga mengingatkan kita akan janjinya sendiri untuk menjauhkan sepakbola dari politik. “Saya akan membuat PSSI lebih profesional dan bermartabat, artinya PSSI yang hanya memainkan sepakbola beserta pembinaan untuk kemajuan sepakbola Indonesia, dan menjauhkan dari ranah politik, sehingga bisa lebih berprestasi untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia,” katanya, Oktober 2016, saat berbicara kepada pers sebelum kongres PSSI.

Rangkap jabatan itu nantinya jelas sulit menghindarkan benturan kepentingan politik di dalamnya. Tak hanya terkait dengan daerah yang dipimpinnya (konstituen yang telah memilih dan akan memilihnya lagi) tapi juga partai politik yang mengusungnya.
Belum lagi soal waktu untuk menangani berbagai persoalan yang harus diselesaikan lewat rapat, seperti dengan anggota Exco lainnya.

Apakah Ketua Umum ini harus terbang ke Jakarta memimpin rapat, di saat yang sama berbagai masalah di daerah juga urgen menanti ditangani?. Saat ini pun sudah beberapa kali rapat PSSI atau jumpa pers diadakan di Markas Komando Strategis Angkatan Darat (Makostrad) dan Markas Divisi I Kostrad. Apakah nantinya rapat akan diadakan di kantor gubernur di Medan atau kota lainnya di Sumatra Utara?

Lebih baik Edy Rahmayadi menentukan sikap dari sekarang dengan kepala dingin dan bijak, tanpa bermaksud menghalangi niat dan haknya menjadi Gubernur Sumut. Bila berpegang pada amanah, seperti yang sering diucapkannya, mengantar PSSI menjadi sebuah organisasi yang lebih baik, menghadirkan kompetisi yang memang profesional, mengembalikan martabat bangsa lewat prestasi di level internasional dan tentunya menggulirkan kompetisi usia dini serta muda secara konsisten, adalah prestasi yang akan dikenang oleh sejarah.

Sebaliknya, menjadi pemimpin di daerah juga amanah yang besar. Memajukan ekonomi, memperbaiki rekatan sosial, peningkatan prestasi dan pembinaan sepakbola di Sumatra Utara, memperbaiki sekolah, jalanan, kehidupan kesenian dan segala aspek lainnya juga torehan prestasi yang juga akan ditulis dengan tinta emas.

Menjadi apapun, itu pilihan. Bukan tergantung pada pendapat orang, apalagi dikaitkan dengan masa depan PSSI. Wong Soeratin pun tak pernah memikirkan akan jadi apa nantinya organisasi yang didirikan pada tahun 1930 itu, karena yang terpenting adlaah menjadikan PSSI bisa menjadi alat pergerakan kebangsaan, perekat nasionalisme. Di masa kini, tantangannya adalah bagaimana mengembalikan martabat PSSI, martabat bangsa lewat prestasi di sepakbola.

Hal itu beda dengan La Nyalla yang sudah tidak lagi menjadi Ketua Umum PSSI, tidak membawa embel-embel jabatan di federasi itu dalam upayanya meraih kursi nomer satu di Jawa Timur.

Maka, biarlah sepakbola yang menuntunnya, seperti pernah dikatakan oleh Prof.H.W.van der Dunk, ahli sejarah dari Rijkuniversitet Utrecht : Bola sulit terselami, persis seperti sejarah. Tetap bola dapat pula berperan sebagai sumber tiada habisnya untuk membantu menerangkan kejadiah sejarah.”

Yo Sugianto, penyuka puisi, sepakbola, tinggal di Jogjakarta