Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi
Edy Rahmayadi

Edy Rahmayadi dan Liliyana Natsir

Loading

JAKARTA (IndependensI.com)– Keputusan pengunduran diri Edy Rahamayadi dari Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dan Liliyana Natsir pebulutangkis putri kita hormati walau mengharukan.

Edy mengumumkan pengunduran diri pada Kongres Tahunan organisasi pengendali sepak bola nasional itu di Nusa Dua, Bali Minggu, 20 Januari 2019, sementara Liliyana Natsir mengumumkannya di depan penggemarnya di lapangan bulutangkis di Gelora Bung Karno Jakarta.

Masa tugasnya seharusnya sampai 2020 namun ia mengumumkan pengunduran diri saat memberi kata sambutan di kongres tahunan itu tanpa memberi alasan, terlihat di televisi, setelah pengumuman Edy langsung ambil bendera dan menyerahkannya kepada Joko Driono lalu meninggalkan kongres sambil menyalami orang.

Terkesan suasananya tidak nyaman serta mengagetkan, seolah-olah menyedihkan tetapi salah tingkah, dan menimbulkan pertanyaan, apakah sportif pengunduran diri seperti itu di kalangan olahragawan?

Memang ternyata persepak-bolaan kita sungguh dirundung masalah dan bahkan hancur digerogoti mafia, dengan pengaturan skor (match fixing), peningkatan klasemen atas dasar suap menyuap dan yang dilakukan oleh segelintir pengurus PSSI.

Apakah itu yang mempermalukan Edy Rahamayadi sehingga jiwa sportivitasnya berbicara, karena tidak bermoral menjual keringat-jerih payah atlet pesepakbola oleh pembinanya sendiri. Bisa saja kesadaran seperti itu terngiang di benak Edy Rahamayadi sehingga merasa ditelikung oleh pengurus lainnya sehingga merasa dia tidak nyaman.

Nampaknya mantan Panglima Komando Strategi AD itu menggunakan ilmu strategi-nya, alasan mundur dari Ketum PSSI tidak diungkapkan di Bali atau Jakarta Medan, melainkan di Sidikalang Kabupaten Dairi. Mengapa demikian?  Edy  sendiri yang tahu.

Seperti diberitakan Tribunnews, Edy mengakui di Sidikalang, “memimpin PSSI menjadi tantangan paling sulit yang pernah dia hadapi dalam hidupnya. Dalam beberapa hal dia  mengaku gagal membawa PSSI menjadi lebih baik sejak memimpin induk organisasi tersebut sejak akhir 2016”,

Mantan Pangkostrad itu sudah menjadi Gubernur Provinsi Sumatera Utara yang terkenal dengan SUMUT yang sering diplesetkan Semua Urusan Mesti Uang Tunai. Setuju atau tidak setuju, dua gubernur Sumut terbukti bersalah dan menghuni LP Sukamiskin, 38 anggota DPRD harus menyusul sang gubernur, beberapa hakim juga terlibat korupsi. Tidak hanya itu kota Medan juga sudah menjadi “Kota Metropolitan Terjorok” menurut KLHK.

Bahwa jabatan gubernur membutuhkan waktu penuh apalagi di Sumut, bukan pekerjaan mudah. Memang Pangkostrad bukanlah jabatan sembarangan, tetapi jauh lebih rumit memimpin Sumut dibanding Kostrad. Kostrad telah menjadi organisasi modern memiliki mekanisme baku yang dianalisa terus menerus untuk menyesuaikan dengan perkembangan situasi keamanan dan politik serta kemajuan teknologi.

Sebagai gubernur Edy Rahmayadi mewarisi “piring kotor” yang ditinggalkan dua pendahulunya yang telah terseret korupsi. Tugas berat Edy paling tidak dua, satu bagaimana tidak terjebak seperti pendahulunya, dan kedua, apakah dia hanya pejabat yang biasa-biasa saja tanpa prestasi? Pembenahan mekanisme kerja serta pembersihan sumber daya manusia amat perlu, personalia yang bermental koruptif disesuaikan dengan kebutuhan, aturan dan hukum yang berlaku.

Ada baiknya menoleh ke DKI Jakarta, melelang jabatan kepada siapa yang mampu melalui testing, kalau salah sesuai pakta integritas, copot. Tidak lagi konvensional pengisian posisi, petik jagung, apalagi berdasarkan isme-isme.

Kita yakin Edy Rahmayadi mahfum kondisi Sumut dan untuk maju harus berani ambil keputusan menggerakkan roda pemerintahan secara baik dan benar untuk kesejahtaran masyarakat.

Sebagai perbandingan, di Sulawesi Tenggara, Ali Mazi, gubernur baru, belum 100 hari melantik 42 Eselon III dan IV setelah beberapa Elon I dan II, prinsip “daripada busuk semua lebih baik amputasi”, mungkin juga perlu, kebetulan dia juga mewarisi masalah yang hampir sama dengan Sumut.

Prajurit kesatria Edy Rahamayadi tentu memperhitungkan setiap langkahnya, mudah-mudahan PSSI lebih baik dan Polisi berhasil memberantas ”pengerat” yang mengatur skor dan yang memperjualbelikan status kelasemen selama ini.

Kita juga menghargai keputusan Liliyana Natsir yang telah mengundurkan diri dari olahragawati pebulutangkis professional, dengan menggantungkan raket, sebab dengan karena usia sebagai berkat Tuhan, tetapi juga memiliki keterbatasan.

Dia telah melakukan yang terbaik dari dirinya, mempersembahkan hasil keringat dan pengorbanannya bagi keharuman nama bangsa dan negara Indonesia di arena pertandingan bulutangkis dunia. Mudah-mudahan pengalamannya yang berharga itu dapat diwariskan melahirkan Liliyana-Liliyana Natsir berikutnya. Selamat meraih prestasi di lahan baru bagi Edy Rahamayadi dan Liliyana Natsir.(Bch)