JAKARTA (IndependensI.com) – Keinginan sejumlah warga Suku Batak di perantauan maupun di Sumatera Utara menjadikan Suku Batak Toba menjadi Gubernur Sumatera Utara tidak mudah. Ada banyak tantangan yang dihadapi, terutama karena orang Batak Toba sulit bersatu. Calon Gubernur dari Suku Batak selalu lebih dari satu, sehingga jumlah suara selalu terpecah. Kondisi itu pula yang terjadi dalam dua Pilkada terakhir, di mana calon dari Suku Batak selalu kalah.
Demikian pendapat dua nara sumber yang dihubungi Independensi.com ketika dihubungi terpisah, Selasa (15/8/2017). Kedua nara sumber yakni Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Kerukunan Masyarakat Hukum Adat Nusantara (Sekjen DPD Kerma Hudatara), Santi Amer Silalahi dan Pengajar Universitas 17 Agustus 1945 (UTA’45) Jakarta, Berlin Pangaribuan.
Keduanya dihubungi menanggapi maraknya perbincangan soal calon Gubernur Sumut di kalangan Toba di Jakarta dan daerah lainnya, terutama di Sumatera Utara. Pembahasan tentang peluang Suku Batak Toba menjadi Gubernur Sumut sangat ramai, mulai dari arisan keluarga, acara Bona Taon, di Lapo hingga di Grup WhatsApp (WA).
Menurut Santi Amer, orang Batak jangan berharap menjadi Gubernur di Sumut. Sangat susah bagi Suku Batak Toba karena tidak pernah kompak. Selain itu, orang Batak selalu merasa hebat, padahal keropos. Kenapa keropos ya…karena tidak mau bersatu, tidak ada kekompakan tadi,” tuturnya.
Pendapat senada juga di sampaikan Berlin Pangaribuan. Menurut Berlin, jangan berharap orang Batak Toba menjadi Gubernur atau menjadi orang nomor 1 di Medan , jika tidak bersatu. Lihat Pilkada sebelumnya ada dua calon orang batak toba yakni RE Nainggolan dan Effendy Simbolon, kedua-duanya lenyap kan,” kata Berlin .
Orang batak harus belajar dari pengalaman itu. “Kalau tidak hanya mimpi jadi gubernur,” kata Berlin.
Dia menambahkan, Suku Batak Toba memang sangat merindukan kembali adanya putra terbaik Batak Toba memimpin Sumut seperti pada masa Gubernur Sumut dijabat EWP Tambunan. Namun sekarang, calon yang ada tidak pernah mau bersatu, masing-masing ingin tampil , merasa yakin dan maju tanpa ada kekompakan. Padahal, dalam pilkada langsung itu butuh strategi dan membaca peta persaingan, sehingga bisa memenangkan pertarungan.
Dalam Pilkada Sumut yang berlangsung 2018 mendatang juga orang Batak juga masih seperti Pilkada yang lalu. “Jadi, akan sulit menang,” kata Berlin.
Santi Amer mengatakan, kalau Suku Batak ingin sukses dalam Pilkada Sumut maka tidak ada pilihan selain bersatu dan kompak. Ada satu hal yang dilupakan oleh Suku Batak sekarang yakni kebersamaan dan kekompakan. Dicontohkan, pada masa Perang Padri di mana Suku Batak diserang. Namun Suku Batak bisa bersatu, ada perasaan senasib sepenanggungan, sependeritaan. Seharusnya kebersamaan itu, kekompakan itu bisa dimunculkan kembali,” katanya.
Selama itu tidak ada, kata Santi Amer, jangan berharaplah menjadi Gubernur. Peserta Pilgub dari Suku Toba hanya menjadi pelengkap penderita. “Mengatakan hal ini menyakitkan memang, tapi begitulah faktanya,” kata Santi Amer yang dulu sngat dekat dengan mantan Kepala Bakin Yoga Sugama tersebut.
Sementara itu, Berlin Pangaribuan juga menyoroti seputar dua kasus Gubernur Sumut dalam dalam dua periode terakhir di mana dua-duanya masuk penjara karena kasus korupsi. Seandainya mereka pemimpin yang kuat dan hebat, maka tentu punya ketegasan, tidak mudah goyah oleh godaan permainan proyek yang diatur para preman atau mafia proyek di Sumut.
Karena itu, mungkin ke depan Sumut perlu dipimpin lagi oleh seorang pemimpin yang kuat seperti dari TNI. “Memimpin Sumut itu harus dengan tangan besi (Iron Man), kalau bukan orang kuat dan berkharisma pasti gagal, karena karakter orang Sumut memang keras,” kata Berlin yang juga mantan pejabat Angkasa Pura di Bandara Polonia Medan tersebut. (kbn)