JAKARTA (IndependensI.com) – Indonesia berdiri atas kesepakatan para bapak bangsa yang mengakui perbedaan di antara mereka. Perbedaan tersebut kemudian diikat atas kesadaran bersama untuk mencapai kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan.
Belakangan ini muncul banyak gerakan yang secara terang-terangan ingin menghilangkan perbedaan. Ada kelompok yang mengatasnamakan suku, ada juga yang mengatasnamakan agama. Kemudian muncullah sentimen mayoritas dan minoritas.
Ironisnya, gerakan yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu didukung banyak cendekiawan. Orang-orang pintar yang seharusnya memiliki wawasan kebangsaan tinggi, justru menggunakan ilmu dan pengaruhnya untuk menggaungkan isu-isu primordialisme.
Dosen ilmu manajemen Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (UTA’45), Berlin Pangaribuan, prihatin dengan maraknya isu perpecahan.
“Jika bangsa ini gagal merawat kebhinnekaan, Indonesia tak bakal bertahan. Mungkin dalam 20 tahun mendatang tidak ada lagi Indonesia seperti yang kita kenal sekarang. Tanpa ada kepemimpinan yang kuat dan sikap toleransi, Indonesia bisa terpecah-pecah,” kata Berlin, Senin (4/9/2017).
Ancaman terhadap NKRI sekarang lebih banyak datang dari unsur sipil ketimbang agresi militer. “Saat ini ancaman serangan militer dari negara lain relatif kecil. Ancaman terbesar justru dari unsur sipil antara lain pengaruh narkotika dan perpecahan karena isi SARA,” kata Rektor Universitas Pertahanan Indonesia Letjen TNI Dr I Wayan Midhio, MPhil dalam Seminar Kebangsaan “Peran Mahasiswa dalam Menjaga Eksistensi Pancasila” di Kampus UTA’45 Jakarta, Kamis (31/8/2017).
Beragamnya budaya di Indonesia sebagai sebuah kenyataan dipaparkan mantan rektor Trisakti, Prof Dr Thoby Mutis. Dalam buku “Keadaban Publik, Menata Masyarakat Multikultural yang Santun”, Thoby mengatakan “Penduduk yang menghuni kepulauan Nusantara sudah sejak berabad-abad lalu hidup dalam kondisi beragam dari sisi etnik atau kultural, agama, dan ras.”
“Dari Sabang sampai Merauke, paling sedikit terdapat 300 suku bangsa, yang masing-masing menganut agama berbeda-beda: Islam, Kristen, Hindu, dan Budha serta Konghucu. Bahkan, ada etnis tertentu yang identik dengan agama tertentu, umpamanya orang Melayu identik dengan beragama Islam, seperti halnya orang Minahasa identik dengan beragama Kristen dan seterusnya.”
Konflik karena isu sara sudah beberapa kali di Indonesia. Yang terbesar adalah tragedi 1998. Unjuk rasa mahasiswa Trrisakti di Jakarta menentang pemerintahan Soeharto itu melebar menjadi konflik SARA berskala nasional.
Di era keterbukaan informasi saat ini, dengan semakin murah dan mudahnya masyarakat mengakses internet, isu SARA ternyata masih laku dijual. Masyarakat bukannya memanfaatkan teknologi untuk menggali informasi yang benar, tapi malah lebih mudah dipengaruhi.
Demonstrasi besar-besaran terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) jelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 membuktikan agama bisa dipolitisasi. Isu SARA juga terbukti masih ampuh untuk menjatuhkan seseorang yang dikenal punya integritas tinggi tapi agama dan sukunya berbeda dari agama dan suku mayoritas.
Bukti terbaru tentang masih rentannya NKRI adalah terungkapnya skandal komersialisasi ujaran kebencian oleh kelompok Saracen. Kelompok itu memproduksi ujaran kebencian terhadap orang-orang yang menjadi sasaran, sesuai pesanan dengan tarif tertentu.
Dengan derasnya rongrongan terhadap keutuhan Republik Indonesia, diperlukan peran dari seluruh komponen bangsa ini untuk mempertahankannya. Mungkin perlu dibuat lagi kesepakatan nasional tentang persatuan seperti yang dilakukan para pendahulu bangsa dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.