JAKARTA (IndependensI.com) -Pemeriksaan terhadap Ketua DPR RI, Setya Novanto dalam kasus korupsi KTP-elektronik (KTP-e) yang dijadwalkan pada hari ini Rabu 15 November 2017 batal karena yang bersangkutan tidak bisa hadir.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan, pemeriksaan terhadap Ketua DPR Setyo Novanto tidak jadi dilakukan. “Pagi ini surat dari pengacara Setya Novanto kami terima dari bagian persuratan KPK. Intinya, yang bersangkutan tidak dapat hadir hari ini,” kata Febri Diansyah di Jakarta, Rabu (15/11/2017).
Pemanggilan itu merupakan yang pertama setelah Novanto ditetapkan kembali menjadi tersangka korupsi kasus KTP-e pada Jumat (10/11) lalu. Sebelumnya, Setya Novanto juga tidak memenuhi panggilan KPK sebanyak tiga kali diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Dirut PT Quadara Solution Anang Sugiana Sudihardjo dalam kasus yang sama.
Sebelumnya, Setya Novanto menyatakan pemanggilan terhadap dirinya harus ada izin tertulis dari Presiden.
Selain itu, Setya Novanto juga menyatakan bahwa setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan serta hak imunitas serta menunggu putusan uji materi di MK soal Pasal 46 ayat (1) dan (2) serta Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
“Dalam proses hukum, acuan yg digunakan adalah KUHAP, UU Tipikor dan UU KPK. Jadi sekalipun ada bagian dari UU tersebut yang diuji di MK, hal tersebut tidak akan menghentikan proses hukum yang berjalan,” kata Febri.
Apalagi, kata Febri, terdapat penegasan di Pasal 58 Undang-Undang MK sehingga dalam penanganan kasus KTP Elektronik ini pihaknya akan berjalan terus. Menurut dia, dalam penegakan hukum KPK mempunyai tanggung jawab dan tugas untuk menegakkan hukum secara adil dan berlaku sama terhadap semua orang dan jangan sampai ada kesan hukum tidak bisa menyentuh orang-orang tertentu.
Apalagi, menurut Febri, jika ada yang mengkaitkan dengan pemahaman bahwa imunitas berarti kekebalan hukum tanpa batas karena tentang hak imunitas tersebut, meskipun disebut di UUD 1945, uraian lebih lanjut harus dibaca pada Pasal 80 dan Pasal 224 UU MD3.
“Jelas sekali, pengaturan hak imunitas terbatas untuk melindungi anggota DPR yang menjalankan tugas. Tentu hal itu tidak berlaku dalam hal ada dugaan tindak pidana korupsi karena melakukan korupsi pasti bukan bagian dari tugas DPR,” tuturnya.
Ia pun menegaskan bahwa dasar hukum penanganan perkara di KPK, termasuk anggota DPR adalah KUHAP, UU Tipikor dan UU KPK yg berlaku khusus.
“Ada ketentuan di Pasal 46 ayat (1) UU KPK juga Pasal 46 UU KPK. Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersabgja oleh KPK, terhitung srjak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur di perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan UU ini,” ungkap Febri.
Selain itu, kata Febri, Untuk pemeriksaan saksi tidak ada larangan dan aturan harus izin presiden karena Pasal 245 UU MD3 mengatur prosedur perizinan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.
“Itupun dikecualikan di ayat (3) jika disangka tindak pidana khusus. Orang yang diduga melakukan tindak pidana tersebut dipahami adalah tersangka sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP. Tersangka adakah seorang yang karena perbuatannya atau keadannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana,” kata Febri.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Golkar itu juga pernah ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus proyek KPK-e pada 17 Juli 2017. Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakim Tunggal Cepi Iskandar pada 29 September 2017 mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto sehingga menyatakan bahwa penetapannya sebagai tersangka tidak sesuai prosedur.