Oleh : Yo Sugianto
Satu tahun sudah kepengurusan PSSI di bawah kepemimpinan Edy Rahmayadi hasil Kongres Luar Biasa di Jakarta, 10 November 2016. Saat itu banyak harapan disandarkan pada pengurus baru seusai pembekuan PSSI dicabut. Harapan akan prestasi tim nasional membaik, kompetisi bergulir kembali dan organisasi PSSI makin seksi dalam kinerjanya.
“Saya gagal. Tahun ini saya gagal. Gagal yang saya maksud target saya,” kata Edy Rahmayadi kepada media, Selasa (7/11/2017) tentang kinerjanya selama setahun ini. Selain soal prestasi timnas, Edy juga mengakui kegagalannya membangun sistem kerja di PSSI yang lebih baik. Dia juga mengaku gagal menghadirkan kompetisi sepak bola nasional yang sehat juga sportif.
Ia juga mengatakan : “Kalau PSSI tak bisa saya bina seperti yang terjadi saat ini, saya akan cari orang yang akan mampu membinanya.” Pernyataan yang kemudian menimbulkan spekulasi ia akan mundur dari jabatannya..
Namun rumor itu dibantah oleh Edy Rahmayadi, yang menyatakan tetap akan menyelesaikan masa jabatannya hingga 2020. “Tidak benar. Saya akan menjabat sebagai ketua umum PSSI sampai akhir masa jabatan saya,” kata Edy kepada Goal Indonesia (16/11/2017).
Awal Buruk
Edy Rahmayadi sendiri mengatakan bisa membagi konsentrasi dan waktunya sebagai Pangkostrad dan Ketua Umum PSSI. Masyarakat pun mempercayainya, sembari bergumam tidak jelas saat melihat anggota Komite Eksekutif (Exco) yang membantunya.
Dari sekian banyak wajah yang ada di Exco,rasanya hanya Joko Driyono saja yang paling diharapkan mampu memberikan “bekal” untuk Ketua Umum PSSI itu. Jokdri, begitu panggilan Joko Driyono, sudah kenyang pengalaman mengelola kompetisi sebagai CEO PT Liga Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Sekjen PSSI.
Namun tentu tak bisa semuanya disandarkan pada sosok Jokdri saja. Anggota Exco lainnya tentu tidak sekedar jadi pajangan saja. Sepertinya menjadi anggota Exco hanya prestise saja, menambah daftar prestasi di riwayat hidup yang bersangkutan.
Tak mengherankan jika banyak pernyataan dan keputusan Ketua Umum itu yang kemudian menimbulkan kerutan dahi sebelum berubah menjadi geleng-geleng kepala. Seperti pencoretan nama Iwan Budianto dari posisi Wakil Ketua Umum menjadi Kepala Staf Ketua Umum, hanya karena alasan dimana-mana tak ada wakil ketua sebanyak dua orang. Padahal jumlah itu ditentukan di Statuta PSSI. Tugas Iwan cuma mengkoordinir staf yakni para anggota Exco.
“Statuta hanya menentukan jumlah Exco (Komite Eksekutif). Exco kami tetap jumlahnya. Kan tidak mungkin wakil ketua itu dua, di mana-mana wakil ketua itu satu,” kata Edy kepada para awak media usai acara pelantika pengurus PSSI oleh KONI Pusat, (27/1/2017 di Jakarta. Kini hanya Joko Driyono yang menjadi Wakil Ketua Umum PSSI.
Di era Ketua Umum La Nyalla Mattalitti, ada dua orang yang menjabat posisi wakil ketua yaitu Erwin Dwi Budiawan yang mengurusi internal dan Hinca Panjaitan yang membawahi bidang eksternal.
Di kompetisi yang namanya diubah dari Indonesia Super League (ISL) menjadi Liga 1, bersamaan juga dengan operatornya dari PT Liga Indonesia ke PT Liga Indonesia Baru (LIB), penyelenggaraannya terkesan semrawut. Khususnya sejak pertengahan musim hingga mendekati akhir. Tak cuma suporter yang memberi cibiran, tapi juga pemain dan manajer klub.
Dimulai dari kewajiban penggunaan pemain U-23 di setiap pertandingan; kemudian ditangguhkan di tengah kompetisi karena SEA Games, lalu setelah hajatan itu selesai, malah dibatalkan kebijakan itu. Tak heran pelatih PSM, Robert Rene Alberts berujar bahwa selama 32 tahun melatih tak pernah menemukan pergantian peraturan di tengah kompetisi.
Lalu, tak lama kemudian, PSSI membuat peraturan ajaib. Yakni “play-off khusus” di Liga 2 antara Persewangi Banyuwangi vs. PSBK Blitar, pada Selasa (10/10/2017). Hasilnya adalah kericuhan di lapangan yang memalukan.
Belum juga masalah tersebut kelar, sehari setelahnya, Liga Indonesia tercoreng dengan kematian seorang suporter Persita Tangerang, Banu Rusman. Banu tewas dikeroyok suporter PSMS Medan–yang mayoritas personel TNI dari Divisi 1 Kostrad Cilodong.
Di akhir kompetisi, masyarakat pun mendapat sajian drama hukuman bagi Mitra Kukar yang dinyatakan kalah 0-3, dan Bhayangkara FC mendapat tambahan poin yang membuat mereka sudah menjadi juara Liga 1, meski masih tersisa dua laga. “Liga guyonan,” kata Manajer Madura United, Haruna Soemitro. Pernyataannya ini ia cabut beberapa hari kemudian dengan alasan saat itu sedang emosional.
Kesungguhan
Setahun sudah menjadi pelajaran sangat berharga untuk mengetahui pusingnya mengurusi organisasi PSSI. Ternyata tak cukup hanya berbekal pangkat jenderal untuk menjadikannya organisasi yang lebih baik dari era sebelumnya.
“Profesional dan Bermartabat” yang diusung Edy Rahmayadi saat berkampanye menjadi Ketua Umum PSSI masih jauh dari pencapaian. Bagaimana bisa profesional jika belum memahami Statuta-nya sendiri, menelorkan produk ajaib seperti pergantian pemain menjadi 5 orang atau menyetujui play-off khusus.
Ditambah lagi dengan persepsi negatif tentang pencalonannya sebagai Calon Gubernur Sumatra Utara, yang menjadi sindiran di media sosial tentang PSSI sebagai batu loncatan.
Dalam sisa tiga tahun masa kepengurusan, yang ditegaskannya akan diselesaikan hingga 2020, Edy Rahmayadi perlu mengingat besarnya harapan pada dirinya yang dinilai tepat memimpin PSSI. Latar belakang sebagai anggota TNI dianggap memiliki sikap tegas, disiplin dan disegani.
Hal itu sendiri sudah terbukti bagaimana para klub segan pada dirinya. Mereka yang sempat mengancam mogok main di Liga 1 akhirnya luluh ketika bertemu dengannya. Bukan karena memandang PT LIB yang memang seperti tak punya taring.
Sudah saatnya kerja lebih keras untuk memenuhi harapan yang ada. Potensi anggota Exco yang ada perlu ditingkatkan, tidak dijadikan pajangan saja. Di sana masih ada sosok Joko Driyono yang sarat pengalaman soal kompetisi dan organisasi, tapi terlihat belum dimaksimalkan peran serta pandangannya.
Pembagian kerja yang sudah ada bisa ditinjau ulang, termasuk mengembalikan jabatan Iwan Budianto menjadi Wakil Ketua Umum. Jika ia hanya jadi koordinator anggota Exco, apanya yang dikoordinir jika peran mereka pun jarang terlihat, hanya nama saja yang terbaca di web PSSI. Beberapa anggota Exco juga masih rangkap jabatan di klub maupun Asosiasi Provinsi.
Soal kompetisi misalnya, PT LIB yang terlihat masih gagap menangani jadwal, bahkan regulasinya sendiri, sangat membutuhkan sentuhan pengalaman Joko Driyono. Jangan lagi ada ketidakjelasan regulasi di kompetisi sepakbola seperti play-off atau perubahan regulasi di tengah berlangsungnya kompetisi.
Bahkan untuk mengetahui siapa juara Liga 1 musim 2017 saja masih belum jelas bagaimana regulasinya.. Keputusan itu baru akan diumumkan oleh PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator Liga 1 di akhir kompetisi, meski poin yang diperoleh klub sudah jelas.
Sudah saatnya Pangkostrad itu benar-benar fokus membenahi sepakbola dan organisasi PSSI. Tidak sekedar mempercayai bisikan-bisikan yang mengandung kepentingan individu atau kelompok. Adakan hukuman dan penghargaan dengan tegas, termasuk kepada PT LIB jika tetap semrawut menyelenggarakan kompetisi.
Lebih baik juga Edy Rahmayadi menanggalkan jabatannya di klub, baik sebagai Ketua Umum PS TNI-AD maupun sebagai Pembina PSMS Medan, agar tidak terjadi benturan kepentingan meskipun tidak langsung. Langkah ini menunjukkan kesungguhan membangun PSSI menjadi lebih baik.
Apa yang sudah dicapai dalam setahun ini tidaklah semuanya negatif. Kompetisi yang amburadul bisa berjalan baik, pembinaan usia muda pun mulai menggeliat. Tim nasional dari senior sampai kelompok umur cukup tertata dengan baik jadwal pelatnas dan agenda uji cobanya.
Masih ada waktu selama tiga tahun bagi Edy Rahmayadi untuk mengelola PSSI menjadi “profesional dan bermartabat”, dengan berbagai target yang telah diusungnya seperti membawa Indonesia masuk ke 100 besar ranking FIFA dan timnas U-19 lolos ke Piala Dunia U-20 2019.
Tak perlu ragu jika harus menghukum mereka yang salah, bahkan pengurus PSSI sekalipun. Sebaliknya juga memberi apresiasi bagi yang telah menunjukkan prestasinya bagi perkembangan sepakbola. Dari situ, Edy Rahmayadi dapat menorehkan jejak langkahnya dengan baik bagi PSSI ***.
Yo Sugianto, penyuka puisi dan sepakbola, tinggal di Jogjakarta