MATARAM (IndependensI.com) – Kesabaran para petani di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat ada batasnya. Sudah berusaha mengikuti semua aturan yang diminta, namun tetap juga dipersulit. Akhirnya, mereka mengambil sikap dengan cara tidak benar alias melanggar hukum yakni menjarah pupuk bersubsidi yang memang diperuntukkan bagi mereka. Ini mungkin pelajaran mahal bagi aparat atau birokrat untuk lebih tanggap terhadap harapan masyarakat.
Birokrasi yang lamban bukan zamannya. Sekarang ini adalah era kerja, kerja dan kerja. Bekerja dimaksud adalah melayani dan memberikan kemudahan, sehingga tidak terjadi lagi kasus penjarahan pupuk bersubsidi di Kabupaten Bima tersebut.
Kepala Kantor Pemasaran PT Pupuk Kaltim (Persero) Wilayah Nusa Tenggara Barat Rachmansyah membenarkan adanya penjarahan pupuk urea bersubsidi oleh warga di Desa Leu, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima pada Sabtu (6/1/2018) lalu. “Penjarahan itu, akibat birokrasi yang memperpanjang rantai distribusi. Jadi kios pengecer kalau ingin menebus pupuk ke distributor harus ada rekomendasi dari Dinas Pertanian Kabupaten Bima,” kata Rachmansyah, di Mataram, Selasa (9/1/2018).
Sebanyak 5 ton pupuk urea bersubsidi untuk jatah petani di Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima dijarah oleh warga Desa Leu, ketika truk pengangkut melintas di jalan lintas Sumbawa-Bima.
Rachmansyah menilai kebijakan Pemerintah Kabupaten Bima tersebut bertujuan baik, yakni untuk pengawasan dalam proses penyaluran pupuk bersubsidi ke petani.
Namun sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI Nomor 15/2013 disebutkan bahwa distributor dan pengecer wajib menjamin ketersediaan pupuk bersubsidi di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam Permendag itu ditegaskan bahwa distributor wajib menyediakan stok untuk kebutuhan dua minggu ke depan, dan bagi pengecer wajib menyediakan stok untuk kebutuhan satu minggu ke depan. “Harusnya jangan tambah mata rantai distribusi. Pupuk Kaltim selaku produsen ingin distribusi urea bersubsidi mengacu pada enam tepat, yakni tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu dan mutu,” ujarnya lagi.
Jika kebijakan tersebut tetap dipertahankan, pihaknya khawatir aksi penjarahan bisa terulang kembali, sebab para petani di Kabupaten Bima saat ini sedang membutuhkan pupuk urea untuk pemupukan padi. Pada satu sisi, rekomendasi yang diberikan kepada kios pengecer terkadang tidak sesuai dengan total kebutuhan petani di satu daerah.
Pupuk Kaltim Wilayah Pemasaran NTB sudah bersurat ke Pemkab Bima untuk meninjau kembali kebijakan tentang kewajiban kios pengecer mengajukan rekomendasi jika ingin menebus urea di tingkat distributor.
Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB, lanjut Rachmansyah, juga sudah berkoordinasi dengan Pemkab Bima, namun hingga saat ini belum ada respons atau iktikat untuk meninjau kembali kebijakan rekomendasi tersebut. “Kami khawatir aksi penjarahan terulang kembali. Masalah penjarahan hanya terjadi di Bima. Kabupaten/kota lain sejauh ini aman-aman saja,” ujar dia.
Ia juga menegaskan bahwa tidak ada kelangkaan urea di NTB, mengingat stok di gudang per 9 Januari 2018 sebanyak 13.916 ton. Gudang Pupuk Kaltim Wilayah Pemasaran NTB tersebar di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa.
Belum lagi urea yang sedang bongkar muat di Pelabuhan Badas Kabupaten Sumbawa, dan Pelabuhan Bima Pulau Sumbawa sebanyak 8.488 ton. Sebanyak 5 unit kapal pengangkut urea untuk NTB juga sedang berlayar menuju Pelabuhan Lembar Kabupaten Lombok Barat dengan total muatan sebanyak 13.000 ton.
Sedangkan kebutuhan urea bersubsidi selama Januari 2018 sesuai keputusan Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB untuk 10 kabupaten/kota sebanyak 15.163 ton. “Stok urea yang sudah tersedia di NTB sebanyak 22.404 ton, jauh melebihi kebutuhan satu bulan, belum lagi kedatangan lima kapal. Jadi tidak ada kelangkaan, termasuk di Bima,” kata Rachmansyah. (ant/kbn)