JAKARTA (IndepenensI.com) – Percaya atau tidak, jumlah penderita insomnia di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Ini pertanda makin banyak masyarakat yang mengalami kecemasan, depresi atau stres berkepanjangan. Kondisi itu tidak terlepas dari efek kamajuan zaman dan kemajuan bidang teknologi.
Hidup di zaman sekarang seperti dikejar-kejar oleh waktu, kebutuhan dan persaingan dalam pekerjaan, usaha dan lain sebagainya. Suasana yang tidak nyaman itu mendorong seseorang menjadi penderita insomnia. Wajar saja jika jumlah penderita insomnia terus meningkat.
Namun, kadang sebagian dari penderita insomnia itu tidak tahu faktor apa yang menyebabkan dirinya menderita kesulitan tidur. Mungkin dia merasa hidupnya semua berjalan dengan normal-normal saja, padahal bisa jadi karena faktor lingkungan yang membuat dia tidak nyaman, faktor hubungan dengan keluarga, kebutuhan, pekerjaan dan lainnya.
Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang menderita insomnia, terutama karena faktor gaya hidup. Faktor gaya hidup ini justru bisa menjadi penyumbang tertinggi penderita insomnia. Kalau tidak segera keluar dari permasalahan itu, maka kondisi penderita insomnia akan makin parah.
Seorang dokter mengatakan jumlah penderita insomnia di Indonesia mencapai 10 persen dari jumlah populasi atau sekitar 28 juta orang. Data itu tentu berdasarkan sebuah kajian yang matang, karena jumlah penderita insomnia di perkotaan terus meningkat. Berbeda dengan penduduk yang tinggal di kawasan pedesaan yang lebih teduh, nyaman dan tidak memiliki tantangan kehidupan seberat yang di kota.
Meski insomnia bukan merupakan sebuah penyakit, namun keberadaannya sangat mengganggu, menyiksa dan lama-lama bisa menjadi pintu masuk bagi penyakit lain. Karena orang yang menderita insomnia dalam kurun waktu panjang pasti merusak sel-sel tubuh lainnya. Termasuk membuat stamina berkurang akibat tidak bisa tidur.
Sebagaimana dikemukakan dokter Welly, insomnia bukanlah suatu penyakit melainkan suatu gejala kelainan yang ada dalam tidur, kesulitan atau gangguan tidur. “Insomnia terjadi karena masalah psikologis misalnya seperti kecemasan, depresi dan stress yang berkepanjangan,” kata dokter Welly seperti dikutip Antara di Jakarta, Selasa (16/1/2018).
Selain faktor psikologis, Welly juga mengatakan insomnia terjadi karena gaya hidup yang buruk seperti pola tidur yang tidak teratur, sering mengonsumsi alkohol dan minuman yang berkafein.
Selain itu, insomnia ditandai dengan karakteristik berupa kesulitan memulai tidur, tidak mampu tidur terlelap, bangun terlalu pagi dan sering terbangun di malam hari sehingga mengganggu kualitas dan kuantitas tidur itu sendiri. “Setiap individu dapat mengalami dan menderita insomnia. Hal itu dapat berlangsung sementara atau dalam jangka panjang. Kalau yang sementara hanya berlangsung beberapa hari, sementara insomnia kronis ditandai dengan kesulitan tidur minimal tiga hari per-minggu selama satu bulan atau lebih,” kata Welly.
Welly juga mengatakan wanita lebih dominan mengalami insomnia dari pria, karena faktor hormonal, mudah depresi, cemas, karena wanita lebih memiliki rasa peka dibandingkan pria dan cenderung melakukan aktivitas hingga larut malam. “Insomnia dapat digolongkan secara primer dan sekunder. Insomnia primer yakni tidak mampu tidur, bukan disebabkan oleh masalah kesehatan, sedangkan insomnia sekunder ditandai gangguan kesehatan, yang mempengaruhi waktu tidur. Gangguan sekunder ini sering disebut juga insomnia komorbiditas,” ujar Welly.
Insomnia yang berkepanjangan juga dapat membahayakan kesehatan. Bila sudah kronis dan tidak terkontrol akan timbul penyakit seperti gangguan pernapasan, hipo atau hipertensi, kanker dan stroke. “Untuk itu, pengobatan pada insomnia kronis dapat dilakukan secara non-farmakologis dan farmakologis, dengan tujuan utama meningkatkan atau memperbaiki fase tidur,” lanjut Welly.
Pengobatan insomnia non-farmakologis diantaranya yang pertama mengubah jam tidur menjadi teratur, bisa dengan meminum susu sebelum tidur dan menciptakan suasana kamar senyaman mungkin, yang kedua, berada di tempat tidur disaat benar-benar mengantuk serta hindari aktivitas yang mengganggu tidur seperti nonton televisi dan telepon, ketiga terapi relaksasi dengan meditasi atau yoga, keempat, bisa juga melalui hipnosis dan yang kelima bisa dengan konseling.
Sedangkan terapi farmokologis pada insomnia kronis bisa di peroleh dengan obat bebas yang dapat dibeli tanpa resep dokter dan dengan resep dokter. Namun demikian pengobatan insomnia disarankan lebih kepada non farmokologis ketimbang farmokologis. Untuk jangka panjang, menggunakan farmokologis jelas lebih berdampak negatif bagi kesehatan secara keseluruhan. (kbn)