IndependensI.com – Pasca keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan hak konstitusi bagi penghayat kepercayaan terjadi masalah dalam pelaksanaan secara praktis di lapangan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai perwakilan para ulama Islam menentang jika penghayat kepercayaan diposisikan sama dengan pemeluk agama yang lain.
Persoalan inilah yang sedang dihadapi pemerintah dalam rangka memberikan hak konstutusi warga negara penghayat kepercayaan. Pemerintah Jokowi tentu harus berhati-hati agar isu ini tidak dijadikan komoditas politik. Ormas-ormas Islam ataupun partai-partai politik Islam dengan mudah menuduh pemerintah tidak berpihak pada umat Islam sama dengan pernyataan MUI ketika putusan MK yang memberikan hak konstitusi kepada penghayat kepercayaan sebagai tindakan menyakiti umat Islam.
Posisi yang seperti inilah yang membuat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo masih mempertimbangkan opsi-opsi terkait penghayat kepercayaan di kolom KTP. Hingga kini, Kementerian Dalam Negeri masih menggodok opsi-opsi yang berpotensi dicantumkan dalam kolom KTP tersebut.
Sejumlah opsi itu antara lain : Pertama, agama dan kepercayaan ditempatkan di satu kolom KTP, dengan dipisahkan tanda garis miring. Akan tertulis ‘agama/kepercayaan’. Namun, Tjahjo menyampaikan usulan itu menuai pro kontra. “Yang agama ditulis agama yang sah. Kalau tidak beragama ditulis kepercayaan. Tapi tokoh agama (Islam) nggak mau. Wong kepercayaan bukan agama dan agama bukan kepercayaan. Kenapa harus garis miring. Walaupun sama-sama warga negara,” ujar Tjahjo.
Kedua, agama dan kepercayaan ditempatkan dalam baris yang berbeda. Dan opsi ketiga adalah membuat KTP tersendiri bagi para penghayat kepercayaan. “Opsi kedua itu agama titik dua apa, kepercayaan titik dua apa, dalam satu KTP, tapi beda baris. Terus ada opsi lain lagi, bikin KTP sendiri yang berbeda. Yang kepercayaan paling-paling 5 juta bikin cetak khusus KTP-nya,” ungkapnya.
Di Indonesia terdapat banyak aliran kepercayaan dan nama kepercayaan yang berbeda-beda. Ada lebih dari 40 aliran penghayat kepercayaan yang masih ada di Indonesia.
Beberapa waktu lalu Ketua MPR Zulkifli Hasan mengeluh dengan mengatakan jumlah umat Islam akan menurun menjadi 70 persen, pada hal dulu menurutnya mencapai 95 persen. Ia menuding aliran kepercayaan yang kini diakui pemerintah akan mengurangi jumlah pemeluk Islam di Indonesia.
UUD
Pencantuman agama di kolom kartu tanda penduduk (KTP) ini sebenarnya UUD atau ujung-ujungnya duit. Pengkotak-kotakan warga negara berdasarkan agama ini, tujuannya untuk mendapatkan jatah duit dari APBN. Jika kolom agama dalam KTP tidak dicantumkan maka tidak ada kelompok, organisasi atau institusi manapun yang mengklaim pihaknya menjadi mayoritas atau minoritas.
Pemerintah justru akan memberikan pelayanan yang sama dan tanpa diskriminasi kepada setiap warga negara. Akibatnya justru pelayanan administrasi kependudukan akan berjalan lebih optimal karena manusia tidak perlu dikotak-kotakkan dalam agama atau kepercayaan. Negara tidak menjadikan agama sebagai urusan publik dan menjadi urusan pribadi (privat). Negara hanya menjamin dan melindungi kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan kepercayaan yang dipilih oleh setiap warga negara dan memastikan hukum positif ditegakkan dalam kehidupan umat beragama.
Jika negara menjadikan agama atau kepercayaan sebagai urusan pribadi atau privat maka politisasi atas nama agama bisa diminimalkan. Tidak ada kelompok masyarakat, ormas, institusi apapun yang bisa mengklaim sebagai kelompok mayoritas ataupun minoritas. Pengkotak-kotakan masyarakat berdasarkan kelompok mayoritas dan minoritas ini adalah alat efektif untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa dan alat ampuh menciptakan konflik di tengah masyarakat.
Dan sejak Orde Baru dilegitimasi lewat kebijakan kolom agama di KTP. Sebagai akibatnya organisasi agama berlomba-lomba meningkatkan jumlah atau kuantitas anggotanya dan bukan berorientasi meningkatkan mutu atau kualitas . Selama orientasi kehidupan beragama adalah meningkatkan jumlah dan bukan meningkatkan mutu, yang terjadi adalah bagaimana mencari pengikut sebanyak-banyaknya dengan cara apa saja. Tujuannya adalah ingin mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dari APBN.
Hal ini bisa dikonfirmasi dengan besarnya anggaran Kementerian Agama. Anggaran Kementerian Agama pada tahun 2018 mencapai Rp 62,2 triliun atau menduduki peringkat nomor tiga terbesar setelah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat atau PUPR (yang tugasnya membangun infrastruktur) dan Kementerian Pertahanan. Anggaran Kementerian Agama lebih tinggi daripada anggaran Kementerian Kesehatan yang mencapai Rp 59,1 triliun, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp 40,1 triliun, Kementerian Pertanian sebesar Rp 23,8 triliun.
Jika kolom agama di KTP dihapuskan maka tidak ada lagi landasan kuat untuk meminta jatah duit dari APBN sebesar Rp 60 triliun. Organisasi agama dengan demikian dituntut menjadi lebih mandiri tidak mengandalkan duit dari APBN yang diperoleh lewat pajak. Akhirnya tiap organisasi agama akan lebih mengutamakan kualitas para anggotanya dan bukan mengedepankan kuantitas anggotanya.
Di samping itu negara bisa mengalokasikan dana APBN yang semula ditujukan bagi Kementerian Agama untuk dialihkan kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia lewat peningkatan kualitas pendidikan, peningkatan kesehatan atau menciptakan kedaulatan pertanian atau pangan sehingga tidak harus impor bahan pangan. Kebijakan seperti inilah yang tidak siap dihadapi oleh organisasi agama yang setiap hari menjadikan surga-neraka sebagai komoditas barang dagangan. Pencantuman kolom agama di KTP adalah komoditas yang paling laku “diperdagangkan” dimana terdapat dua pilihan yang sangat ekstrim, memilih pahala surga dengan segala kenikmatannya atau azab pedih neraka dengan segala penderitaannya. (Sigit Wibowo)