JAKARTA (Independensi.com) – Kasus obat Albothyl yang telah beredar bertahun-tahun dan baru diketahui bahwa ada bahan yang berbahaya bagi konsumen di dalam obat sariawan itu merupakan bukti kelemahan instansi terkait. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan institusi yang paling bertanggung jawab dalam kasus peredaran obat sariawan bermerek albohtyl tersebut.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menilai BPOM kecolongan dalam kasus Albothyl yang telah dibekukan izin edarnya. “Semua jenis dan merek obat harus didaftarkan terlebih dahulu ke BPOM sebelum diproduksi dan diedarkan. Proses itu melalui berbagai uji yang dilakukan BPOM,” kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi yang dihubungi di Jakarta, Sabtu (17/2/2018).
Dengan berbagai proses uji yang dilakukan BPOM, Tulus menilai seharusnya kejadian tersebut tidak terjadi. Kejadian itu, katanya, menunjukkan bahwa BPOM belum melakukan pengawasan secara ketat terhadap obat dan makanan. “Berbeda dalam masalah kehalalan suatu obat atau makanan yang bisa saja disalahgunakan setelah didaftarkan ke BPOM,” tuturnya.
Selain menyoroti pengawasan BPOM, Tulus juga menilai bisa jadi permasalahan yang dialami PT Pharos Indonesia, pembuat Albothyl, ada unsur persaingan usaha yang tidak sehat.
Oleh karena itu, BPOM juga harus memeriksa kembali merek obat dari pembuat lainnya serta melakukan pengawasan pascaedar secara lebih ketat dan serius. “Jangan sampai BPOM terjebak irama gendang produsen untuk persaingan usaha yang tidak sehat,” ujarnya.
Sebelumnya, PT Pharos Indonesia juga dihantam kasus temuan suplemen Viostin DS dengan nomor izin edar tertentu yang mengandung DNA babi dalam pengawasan pascaedar oleh BPOM.
BPOM membekukan izin edar Albothyl yang selama ini biasa digunakan sebagai antiseptik dan obat sariawan.
Albothyl merupakan obat bebas terbatas berupa cairan obat luar yang mengandung policresulen konsentrat dan digunakan hemostatik dan antiseptik saat pembedahan, serta penggunaan pada kulit, telinga, hidung, tenggorokan (THT), sariawan, gigi, dan vaginal (ginekologi).
Kajian yang dilakukan BPOM dan klinisi terkait memutuskan policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat tidak boleh digunakan sebagai hemostatik dan antiseptik pada saat pembedahan serta penggunaan pada kulit, THT, sariawan, dan gigi.
Kepada PT Pharos Indonesia selaku produsen Albothyl dan industri farmasi lain yang memegang izin edar obat mengandung policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat, BPOM menginstruksikan untuk menarik obat dari peredaran selambat-lambatnya satu bulan sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Pembekuan Izin Edar. (ant/kbn)