Ilustrasi. (Humas Kementerian Pertanian)

Zonasi, Solusi Efisiensi dan Efektivitas Pengelolaan Lahan Sawah

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Kementerian Pertanian melalui Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan Atlas Peta yang berisi kumpulan peta-peta tanah tematik. Setiap peta menyajikan informasi tipe-tipe lahan sawah dimana setiap tipe berhubungan dengan pengelolaan lahan berupa rekomendasi paket teknologi.

Hasil kajian ini telah dipublikasikan dalam atlas peta yang berjudul Peta Potensi Penghematan Pupuk Anorganik dan Pengembangan Pupuk Organik pada Lahan Sawah Indonesia.

Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Dedi Nursyamsi mengungkapkan bahwa peta-peta ini akan mudah difahami oleh stakeholder karena bagian penjelasan memaparkan secara rinci cara pembuatan, isi dan interpretasinya.

Peta ini sangat penting tidak hanya bagi dinas pertanian setempat dan penyuluh tetapi juga bagi para pelaku agribisnis yang bergerak di bidang pupuk dan pemupukan, imbuh Dedi.

Lebih lanjut Dedi menjelaskan bahwa keragaman sifat alamiah tanah sawah kita adalah salah satu faktor pembeda dalam memproduksi padi meskipun varietas yang ditanam sama.

“Keragaman sifat tanah ini juga menuntut paket rekomendasi pengelolaan lahan sawah yang spesifik lokasi,” ujar Dedi menambahkan.

Kepala Bidang KSPHP BBSDLP Yiyi Sulaeman mengatakan bahwa secara agroekologi, tipe lahan sawah nasional dibedakan atas 5 zona berdasarkan kondisi bahan tanahnya, jenis tanahnya dan status hara P dan hara K. Kelima zona itu adalah Zona A, B, C, D, E dimana 49% lahan sawah tergolong zona D, 29 zona C, 14% zona E, 6% zona A dan 2% zona B kata Yiyi menambahkan.

Lebih lanjut Yiyi menambahkan bahwa zona D adalah zona terluas dan lahan sawah ini berasal dari bahan volkan dengan tipe tanah Inceptisols, Entisols dan Vertisols serta dari bahan bukan volkan dengan tipe tanah Inceptisols, Vertisols dan Ultisols. Status hara P dan hara K bervariasi dari rendah, sedang hingga tinggi.

Sebagai pembanding, Zona A adalah lahan sawah dari bahan volkan dengan tipe tanah Andisols, Alfisols, dan Inceptisols. Pada zona A status hara P dan K tergolong tinggi. Sehingga secara alami zona A lebih baik dari zona B. Demikian hasil penelitian tersebut seperti yang dipaparkan Yiyi.

Kajian ini juga menghubungkan antara setiap zona dengan rekomemdasi pemupukan dan sistem budidaya padi. Untuk Zone D sistem budidaya PTT dianjurkan dan pupuk anorganik 75% hingga 100% dari rekomendasi anjuran sementara pupuk organik 2 hingga 5 ton/ha. Sementara itu, Zona A dianjurkan memakai teknologi SRI dengan 0% pupuk anorganik dan minimal 15 ton/ha pupuk organik.

Perbedaan rekomendasi untuk setiap zona akan menghemat subsidi pupuk karena setiap zona tidak perlu menerapkan anjuran aplikasi pupuk anorganik full paket (rekomendasi 100%).

“Iya, hasil kajian ini dapat mengarahkan logistik pupuk dan implementasi pemupukan di lapang. Tentunya, ini juga akan berkaitan dengan aspek-aspek lain seperti keperluan dan penyediaan pupuk anorganik dan bahan organik serta keperluan pembiayaan untuk subsidi”, jelas Yiyi. Dalam atlas peta ini dipaparkan penghematan pupuk yang dapat terjadi sesuai dengan skenario yang telah ditetapkan kata Yiyi menambahkan.

“Publikasi ini sangat penting dan tersedia serta dapat diakses dengan mudah. Selain itu, penyusunan atlas peta ini menunjukan bahwa pemerintah berkomitmen untuk membangun pertanian yang lebih efisien, efektif, dan berkelanjutan”, demikian pungkasnya.