Oleh Edy Mulyadi*
IndependensI.com – Akhirnya Presiden Joko Widodo membatalkan rencana pencabutan domestic market obligation (DMO) batubara. Keputusan yang diambil kemarin (Selasa, 31/7) usai rapat kabinet terbatas di Istana Bogor itu sudah tepat.
Disebut tepat karena keputusan tadi telah menggagalkan permufakatan jahat orang-orang serakah yang hendak membunuh PT PLN (Persero). Bukan itu saja, sejatinya keputusan tersebut telah menyelamatkan 67 juta pelanggan PLN dari ancaman pemadaman. Juga, keputusan itu tetap memberi harapan bagi warga 5.000 desa yang tinggal di daerah terluar, terpencil, dan tertinggal (3T) yang sejak negara ini diproklamasikan nyaris 73 tahun silam belum dialiri listrik.
Selanjutnya pengaturan DMO batubara tetap berpegang pada dua peraturan yang sudah ada. Pertama, Kepmen Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Nomor 23K/30/MEM/2018, minimal 25% produksi batu bara harus dijual ke PLN. Kedua, Kepmen ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Batu Bara untuk Penyediaan Tenaga Listrik, menyebutkan DMO harga batubara sektor ketenagalistrikan dipatok maksimal US$70/metric ton (mt) untuk kalori 6.332 GAR, atau mengikuti Harga Batubara Acuan (HBA), jika HBA di bawah US$70/mt.
Beberapa jam sebelum keputusan diambil dalam Ratas di Istana Bogor, saya menulis artikel berjudul Jangan Bunuh PLN Kami! Bisa jadi, Jokowi sempat membaca yang artikel beredar luas di media-media daring dan media sosial itu sebelum memimpin rapat. Tapi, tentu saja, saya tidak layak berpretensi apalagi jumawa, bahwa keputusan tepat Presiden diambil karena artikel tadi. Anak-anak mileneal zaman now bakal bertanya kepada saya, siapa juga elo?
Namun yang pasti, kita layak berterima kasih kepada Presiden. Rakyat Indonesia pun harus bersyukur kepada Allah SWT yang telah menggerakkan hati Jokowi untuk berpihak kepada PLN. Dalam konteks ini, berpihak kepada produsen listrik pelat merah berarti berpihak kepada rakyat Indonesia, baik yang sudah menikmati listrik maupun yang baru akan.
Tidak Kapabel
Pelajaran berharga dari ‘huru-hara’ rencana pencabutan DMO batubara, sekali lagi membuktikan bahwa Jokowi dikelilingi oleh orang-orang yang sama sekali tidak tepat. Tim ekonomi Presiden tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas yang cukup untuk meredam keresahan (dan kepanikan) akibat wacana tersebut. Parah! Jika orang-orang di ring satu Jokowi memang layak, mereka seharusnya mampu mencegah lahirnya ide dan gagasan yang sama sekali tidak berpihak kepada mayoritas rakyat.
Kehebohan ini berawal dari pernyataan Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan. Dari sini saja jelas terjadi ‘salah kamar’. Bagaimana mungkin seorang Menko Maritim masuk terlalu jauh ke ranah kebijakan ekonomi yang begitu penting dan berdampak (baca; merugikan dan membahayakan) pada hajat hidup orang banyak? Luhut, mantan jenderal yang juga pengusaha bermacam lini bisnis, termasuk (terutama?) batubara, jelas tidak elok membuat pernyataan seperti itu. Orang dapat dengan gampang menuding ada konflik kepentingan di sini.
Yang lebih menyedihkan lagi, para menteri yang bertanggungjawab di bidang ekonomi juga tidak bersikap sama sekali. Menko Perekonomian Darmin Nasution diam seribu bahasa. Bukankah perkara ini menjadi domainnya? Menilik rekam jejaknya, memang nyaris tidak ada prestasi yang lahir darinya. Prestasi Darmin selalu saja di bawah banderol. So, untuk apa orang ini berlama-lama selama belasan tahun di lingkar utama kekuasaan?
Lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga tidak terdengar suaranya. Padahal, berbicara soal PLN dan subsidi energi, jelas ini menjadi wilayah perempuan yang hobi membuat utang negara dengan bunga supermahal ini. Apalagi, ada rencana akan dibentuk satu badan di bawah Kemenkeu yang bakal jadi tukang pungut untuk tiap batubara yang diekspor. Mana kehebatan Sri yang selama ini digembar-gemborkan media mainstream dan investor? Atau, itu semua memang cuma buah dari polesan media komparador asing?
Menteri BUMN Rini Soemarno juga setali tiga uang. Katanya BUMN di bawah pembinaannya. Selaku wakil Pemerintah yang menguasai saham BUMN, mosok dia tidak tahu bahwa gagasan Luhut amat sangat membahayakan kelangsungan hidup PLN. Entah apa sebabnya Rini pun tak bersuara. Apakah dia tidak paham atau ada sebab lainnya? Apa pun penyebabnya publik dengan mudah bertanya, inikah yang menjelaskan fakta begitu banyak BUMN kita yang rugi atau hanya menghasilkan return seadanya selama dia menjadi Menteri BUMN?
Tapi, di luar itu semua, satu hal yang amat menyedihkan adalah soal etika dan moral para pejabat publik dan pengusaha yang terjerembab ke comberan. Di tengah ancaman krisis ekonomi yang amat serius, masih ada saja orang-orang yang begitu tamak. Mereka terus berusaha meraup keuntungan superbesar, tanpa peduli polahnya merugikan bangsa dan rakyat Indonesia.
Mustahil kalau orang-orang yang sudah teramat kaya raya tapi serakah itu tidak tahu, bahwa APBN dan BUMN kita compang-camping karena beban utang supergede. Mustahil kalau mereka tidak tahu beragam defisit dalam jumlah superjumbo mengepung keuangan negara. Dan, mustahil bila mereka tidak tahu bahwa sebagian besar rakyat kita termehek-termehek dihimpit harga-harga yang beterbangan bak hendak menjangkau awan.
Rakyat harus berakrobat untuk bertahan hidup. Orang-orang miskin itu musti mampu hidup dengan Rp 401.220/bulan alias Rp13.374 per hari di tengah kepungan harga-harga yang ganas dan kejam. Entah bagaima caranya. Entah dari mana BPS memungut angka-angka itu.
Sudah sedemikian matikah hati nurani mereka hingga bisa abai terhadap semua itu? Kalau saya, misalnya (amit-amit), curang dalam berbisnis dan merugikan rekan kongsi, tentu saja saya tahu itu salah. Tapi, bisa jadi saya tidak peduli. Yang penting saya bisa mengantongi untung sebesar-besarnya.
Tapi kalau bisnis saya meraup laba teramat sangat besar dengan merugikan bangsa dan sebagian besar rakyat Indonesia (na’udzu billahi min dzalik!), masihkah saya tidak peduli? Masihkah saya sanggup membunuh nurani? Dan, jika itu yang terjadi, masih layakkah saya disebut manusia?
Pak Presiden, setelah semua ini, sampai kapankah anda bisa sadari siapa sebenarnya orang-orang di sekeliling anda? Harus dengan cara apa lagi mengingatkan dan menyadarkan sampeyan tentang hal ini? Dengan tim seperti inikah sampeyan masih mau terus memimpin Indonesia?
Kami, rakyat Indonesia, menanti dengan sangat tidak sabar tindakan sampeyan selaku pemegang hak perogratif hadiah dari konstitusi. Jangan biarkan Indonesia terlalu lama dalam cengkeraman mereka yang tidak kapabel dan cacat moral. Kami tidak rela! [*]
Jakarta, 1 Agustus 2018
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS) Jakarta
One comment
Comments are closed.