Saatnya Presiden Jokowi Ganti Direksi BPJS Dan Hapus Aturan Yang Bebani Pasien

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Direksi BPJS Kesehatan semakin tamak menindas pasien, dokter, perawat, bidan, puskesmas dan rumah-rumah sakit. Sudah saatnya Presiden Joko Widodo memeriksa dan mengganti semua direksi BPJS Kesehatan yang menguras uang negara dan memeras pasien. Hal ini ditegaskan oleh Hal ini ditegaskan oleh Roy Pangharapan Senin (10/09/2018) sehubungan dengan persiapan aksi pasien-pasien korban BPJS Kesehatan ke Istana Negara pada Rabu (12/09/2018).

Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) juga menuntut agar Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan membatalkan semua peraturan yang merugikan masyarakat dan pasien. “Pelayanan kesehatan di era BPJS Kesehatan ini bukannya makin baik tapi semakin menyulitkan masyarakat dan pasien. Bukan itu saja, dokter, perawat dan rumah sakit pun sekarang menjerit-jerit akibat dirugikan terus menerus oleh hutan BPJS yang tidak dibayar,” katanya.

Menurutnya setelah BPJS Kesehatan mengeluarkan tiga Peraturan Direktur Penjaminan Pembiayaan Kesehatan yang berlaku bulan Juli 2018 lalu, BPJS tidak lagi menanggung kegawat daruratan, operasi katarak, kelahiran normal di rumah sakit dan rehabilitasi medis.

Peraturan BPJS Kesehatan No 1 /2018 Tentang Kegawatdarutan mengakibatkan pasien gawat darurat tidak lagi mendapatkan pelayanan di UGD rumah-rumah sakit, karena tidak memiliki uang untuk membayar pelayanan UGD. “Padahal pasien UGD adalah pasien yang urusannya hidup atau mati. Tapi karena BPJS sudah tidak menanggung biaya pelayanan UGD. Maka pasien miskin walau punya kartu BPJS, tidak bisa lagi menggunakan UGD. Korban kematian karena kegawat daruratan meningkat setelah peraturan itu diberlakukan,” ujarnya.

Padahal menurutnya sebelum ada Peraturan BPJS Kesehatan, semua rumah sakit punya kewajiban untuk segera menolong pasien gawat darurat, karena nantinya akan ditagihkan ke BPJS Kesehatan. “Dengan adanya peraturan itu, maka dokter dan petugas rumah sakit tidak berani menolong, karena tidak ada yang membayar biaya pelayanan pasien miskin,” ujarnya.

Ia melanjutkan selain itu, Peraturan Direktur BPJS Kesehatan No 2, 3 dan 5 tahun 2018 juga mencabut kewajiban BPJS untuk menanggung biaya operasi katarak, kelahiran normal di rumah sakit dan rehabilitasi medis. “Akibatnya semakin banyak pasien miskin penderita katarak walaupun memiliki BPJS akan mengalami kebutaan.sudah pasti pembatasan katarak, berpotensi makin banyak orang buta akibat peraturan itu,” katanya.

Ia juga mengingatkan, karena BPJS Kesehatan tidak lagi menanggung kelahiran normal di rumah sakit. Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan awal yang wajib dikunjungi oleh ibu hamil hanya bisa mengatasi kelahiran normal. Semua kelahiran tidak normal harus dirujuk ke rumah sakit. “Padahal di puskesmas hanya ada bidan. Kalau kelahiran tidak normal dia kirim ke rumah sakit. Dioperasi di rumah sakit. Setelah operasi, dan diaudit BPJS hasilnya menyebutkan bahwa bayi bisa lahir normal, makan BPJS tidak akan bayar biaya operasi rumah sakit itu. Maka resikonya adalah di rumah sakit dan dokter yang melakukan operasi. Ini hanya cara BPJS untuk mengurangi pembiayaan dengan mengorbankan rumah sakit,” katanya.

Pencabutan pembiayaan rehab medis oleh BPJS menurutnya akan menyebabkan pasien walaupun menjadi peserta BPJS harus membayar semua biaya rehabilitasi medis pasca tindakan operasi. “Misalnya. Setelah operasi, melahirkan dan semua tindakan medis, maka BPJS tidak lagi menanggung biaya pasien yang membutuhkan cek dokter, obat-obatan, tindakan lanjut dan rawat inap dan lainnya. Jadi pasien harus membayar sendiri semua biaya rehabilitasi medis tersebut,” jelasnya.

Jadi menurutnya para Direksi BPJS Kesehatan secara terang-terangan atas nama pelayanan kesehatan selalu mengatakan defisit agar bisa mendapatkan tambahan kucuran dana APBN. “Tapi pembiayaan terhadap pelayanan kesehatan terus dikurangi. Pasien, dokter, perawat dan bidan, rumah sakit dan puskesmas di korbankan. Padahal gaji direksi ratusan juta,” tandasnya.