JAKARTA (IndependensI.com) – Masyarakat Indonesia harus yakin bahwa ideologi Pancasila itu merupakan satu kehendak bersama yang merupakan satu-satunya ideologi yang dapat mempersatukan perbedaan yang ada di Indonesia yang memiliki berbagai suku etnis dan agama.
Hal ini sebagai upaya untuk membentengi masyarakat Indonesia dari perpecahan dan sekaligus untuk menangkal ideologi alternatif yang mudah masuk karena lemahnya pemahaman masyarakat yang sudah lama ‘menanggalkan’ Pancasila.
“Tanpa Pancasila kita akan kehilangan dan kemungkinan besar akan mengalami suatu keretakan dalam menyambut hari depan Indonesia. Masyarakat harus yakin pada diri sendiri bahwa hanya Pancasilalah yang bisa mempertemukan perbedaan yang ada di Indonesia ini menjadi persamaan untuk merekatkan bangsa ini dan mampu menolak paham radikal,” ujar Deputi I bidang Pengkajian dan Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Dr Anas Saidi, MA, di Jakarta, Kamis (27/9/2018).
Anas menatakan bahwa kesaktian ideologi Pancasila itu memiliki suatu kekuatan yang dijalankan sebagai pedoman tindakan dalam bernegara. Meski di dalam sejarah, makna atau arti dari sebuah kesaktian itu karena adanya tragedi G30S/PKI. Dari sejarah itu menyebutkan ternyata Pancasila menjadi satu ideologi yang merupakan kekuatan masyarakat Indonesia. Namun persolan tersebut terlihat dari penerapan Pancasila yang mengakami pasang surut selama dua dekade sejak reformasi 1998.
“Ada kecenderungan absennya Pancasila di ruang publik secara intensif. Generasi milenial yang lahir tahun 2000-an umumnya tidak mengenal sejarah bagaimana Pancasila itu dilahirkan dan bagaimana para fundhing fathers dan mothers itu merumuskan dengan satu kebesaran nilai bangsa Indonesia,” ujarnya.
Dirinya mengakui bahwa bangsa ini sering kali melakukan wacana yang tidak produktif, misalnya ada keinginan untuk mengembalikan Piagam Jakarta dan sebagainya. Padahal Pancasila yang sudah final seharusnya sudah tidak lagi mempersoalkan esensi dari ideologi Pancasila itu yang seharusnya tinggal menjalani. Padahal di negara lain seperti Korea dan sebagainya ideologinya sudah berfungsi sebagai pendorong lahirnya satu perubahan. Sementara di Indonesia sendiri masih cenderung jalan di tempat.
“Pancasila itu adalah suatu ideologi yang mempertemukan hampir semua nilai-nilai agama yang ada di Indonesia, yang dipertemukan dalam nilai-nilai universal misalnya keadilan, kemanusiaan, kesetaraan. Pancasila juga memberikan ruang yang kita sebut sebagai kebudayaan, misalnya Bhinneka Tunggal Ika, memberikan nilai-nilai sekuler,seperti demokrasi, HAM dan sebagainya. Jadi Pancasila itu merupakan integrasi dari nilai-nila yang secara universal menjadi pelindung masyarakat Indonesia,” ujar peneliti senior bidang Kemasyarakatan dan Kebudayaan dari LIPI ini.
Bahkan menurutnya, dengan menghayati dan mengamalkan Pancasila tentunya juga dapat mematikan paham-paham lain yang selama ini dihembuskan kelompok radikal terorisme. Karena kelompok-kelompok yang tidak menghendaki Pancasila seperti kelompok yang ingin mendirikan Khilafah di Indonesia itu jelas tidak sesuai dengan Pancasila. Karena di dalam sistem Khilafah itu sendiri menolak demokrasi, nasionalisme dan pliralisme atau keberagaman. Padahal multikulturalisme adalah bagian dari Pancasila.
“Masyarakat Indonesia sering disebut dengan multikultural, pluralisme, pluralitas dan sebagainya. Secara teoritik sangat rentan terjadinya konflik, terutama menguatnya ikatan primordialisme melalui politik identitas keagamaan atau enisitas. Kalau seseorang sudah melampaui politik identitas dan primordialisme, maka dengan sendiriya paham-paham yang di luar Pancasila yang menjadi komitmen bangsa ini akan leleh atau mengalami suatu kemunduran,” ujarnya.
Pancasila dan Islam
Namun yang menjadi problem menurutnya kesalahpahaman yang hampir semi permanen itu seolah olah agama islam itu bertentangan dengan Pancasila. Padahal jelas bahwa nilai-nilai Pancasila itu ada di dalam Islam tapi sekaligus juga ada di dalam nilai-nilai agama yang lain. Musyawarah mufakat, keadilan sosial, kesetaraan dan sebagainya sebenarnya sama sekali tidak ada perbedaan
“Karena itu bagi orang-orang muslim yang menjadi mayoritas moderat itu selalu mengatakan bahwa Pancasila itu menyerupai apa yang disebut dengan piagam Madinah. Ini yang saya kira masih sering disalahpahami seolah olah bahwa yang disebut Pancasila itu sekuler, dan kemudian perlu ditata dengan apa yang disebut dengan Islam murni dan yang sebagainya,” ujarnya.
Untuk menyikapi propaganda yang dihembuskan kelompok radikal bahwa ideologi Pancasila bertentangan dengan nilai-nilai agama, dirinya mengungkapkan bahwa Islam dengan Civil Society di Indonesia yakni NU dan Muhammadiyah memiliki kewajiban untuk mengisi ruang-ruang publik untuk memberikan pencerahan bahwa Pancasila adalah Jalan Tengah yang paling bagus. Karena didalam Pancasila itu tidak sekedar mengaplikasikan doktrin agama yang sesuai dengan Islam, tapi juga sesuai dengan seluruh agama yang ada di Indonesia.
“Ini masih kurang disosialisasikan dan kebetulan absennya Pancasila di ruang publik selama 2 dekade dikalangan milenial ini ternyata membawa implikasi yang tidak sederhana. Anak-anak yang sekarang berumur sekitar 20- 30 tahunan umumnya tidak memahami sejarah dan esensi dari Pancasila. Bisa dikatakan Pancasila itu surplus wacana, tapi defisit tindakan. Pancasila belum menjadi bagian Pedoman tingkah laku, belum menjadi alat evaluasi terhadap kebijakan negara,” ujarnya.
Untuk itu menurutnya perlu adanya mengembalikan dan memperkuat lagi di sekolah sekolah terhadap mata pelajaran yang berhubungan dengan Pancasila. Hal ini dikarenakan anak-anak mulai SD hingga perguruan tinggi cenderung tidak mengenal Pancasila sebagai satu doktrin. Karena kalau generasi muda tidak mengerti dan bahkan membenci Pancasila, maka bangsa ini bisa mengalami keretakan.
“Tapi tentu saja bahwa pendidikan Pancasila juga harus didampingi dengan pendidikan agama yang toleran, yang kemudian memberikan kebebasan kepada perbedaan keyakinan dan tidak memutlakkan tafsir yang kemudian memberikan penekanan terhadap kelompok yang berbeda dengan kalimat kalimat bid’ah, takfiri dan lain sebagainya,” ujar pria kelahiran Blitar 7 Februari 1955 ini
Dikatakannya, BPIP sendiri sudah melakukan sejumlah langkah dengan membuat garis besar ideologi Pancasila itu sendiri yang memuat apa yang disebut dengan, etos, logos dan kepercayaam. Karena Pancasila tidak cukup sebagai ideologi saja, tapi perlu digeser perkembangannya yang disebut dengan paradigma ilmu.
“BPIP melakukan pedoman tindakan di seluruh perguruan tinggi agar menjadi satu pedoman tindakan Kita belum punya rumusan kecuali kisi-kisi bahwa demokrasi Pancasila itu apa bedanya dengan demokrasi liberal dan apa yang disebut dengan ekonomi Pancasila dan sebagainya. Persoalan fundamental inilah yang digarap BPIP,” kata peraih doktoral di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia ini.
Dan BPIP sendiri selama ini sudah melakukan MoU dengan berbagai kementerian dalam upaya memperkuat mata pelajaran Pancasila di sekolah sekolah, meskii masih membutuhkan kajian yang lebih mendalam agar pendidikan Pancasila bisa sejalan sebagai upaya untuk membentengi diri dari pengaruh paham radikal.
“Semoga kedepan masyarakat sudah memiliki kesadaran bahwa Pancasila adalah satu-satunya ideologi yang bisa mempertemukan perbedaan, tanpa harus melakukan suatu pemaksaan,” ujarnya mengakhiri.