Korban gempa Palu

Butuh Tindakan Bukan Kritikan

Loading

IndependensI.com – Dulu penyanyi Bob Tutupoli sering melantunkan “memang lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata……..”, ternyata walau itu hanya lagu ada masa bahwa memang omongan, ucapan dan kata-kata itu kadang tidak bermakna, bahkan menyakiti perasaan seperti saat ini.

Begitu kita bangun pagi dan menonton televisi yang menonjol bukan lagi khotbah yang membimbing dan mendidik, melainkan pertengkaran dan perbantahan para tokoh dan pemuka masyarakat. Mereka  sudah keseringan mengeluarkan kata-kata sindiran bahkan merendahkan pihak lain.

Barangkali semua kita perlu merenung, bagaimana penderitaan saudara-saudara kita di Palu, Donggala dan Sigi yang terkena gempa 7,4 skala richter dan tsunami, lebih dari 1600-an orang wafat, ratusan belum ditemukan dan ribuan luka-luka, ratusan ribu mengungsi dan kehilangan tempat tinggal dan harta benda.

Negara-negara lain saja, selain menyatakan turut berbelasungkawa, juga mengirimkan bantuan dana, bahan pangan dan tenaga serta pesawat terbang dan tenaga medis. Apa kita tidak malu hanya mengeritik serta menyindir dan menyalahkan orang lain?

Mari kita merenung, bagaimana mereka yang terkena bencana gempa dan tsunami itu, dan kita sebagai mahluk ciptaan Tuhan apa tanggung jawab kita terhadap korban seperti itu dan apa kewajiban kita sebagai manusia yang masih diberi Tuhan kesempatan hidup dan menikmati berkatnya seperti sekarang ini?

Kalau tidak bisa membantu, mari kita berdoa agar mereka yang bekerja di lapangan diberikan kesehatan dan kekuatan oleh Tuhan agar kehidupan di Palu, Donggala dan Sigi boleh berlangsung normal kembali. Agar para petugas dalam berbagai hal dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana mestinya serta mendapat ridho dari Tuhan.

Kalau semua kemampuan nasional digerakkan untuk mengumpulkan kekuatan mengatasi dampak gempa dan tsunami itu, pasti akan lebih mudah dan lebih cepat teratasi, tetapi kalau ada dari antara anak-anak bangsa yang hanya mengkritik dan melontarkan ucapan nyinir, akan melemahkan semangat para relawan, pekerja serta para penanggungjawab di lapangan dan di pusat.

Dalam menghadapi bencana bagi mereka yang memiliki nurani, tidak ada oposisi dan partai pendukung, sebab siapapun dan apapun jabatan dan partainya akan terimbas oleh bencana yang menimpa sesama umat manusia apalagi sesama warga negara, kecuali sudah hilang kemanusiaannya.

Bersaing untuk meraih suara terbanyak dalam pemilihan umum adalah suatu keharusan, dan peraihan suara terbanyak itu seharusnya dilakukan dengan simpati serta berbuat baik kepada masyarakat. Tetapi untuk menanggulangi bencana dan dampak gempa dan tsunami tidak ada beda antara oposisi dan pendukung, semua terpanggil untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan.

Kita mengimbau semua komponen bangsa ini, terutama partai politik supaya menggunakan kemampuan yang dimiliki untuk memulihkan kehidupan di Palu, Donggala dan Kabupaten Sigi.

Seharusnya para petinggi orgaisasi politik, kemasyarakatan meniru bagaimana TNI, Polri, PLN, Telkom, Basarnas, Pertamina, PUPR, petugas Bandara dan petugas kesehatan yang dengan cepat dapat mengatasi berbagai kerusakan di sana sehingga kehidupan dapan normal di sana.

Rasanya jadi greget mendengar kritikan-kritikan tokoh-tokoh politik yang hanya tidak memperhitungkan tingkat kesulitas serta kondisi lapangan, kadang-kadang pendengar dan penonton sendiri yang “malu” mendengar walau kadang-kadang dalam hati bertanya, “bagaimana nurani mereka yang asal ngomong itu ya?”

Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Kabinet Kerjanya memang yang bertanggung jawa secara de facto dan de jure mengatasi semua permasalahan, tetapi dalam menanggulagi dampak bencana alam, gempa dan tsunami secara moril dan kemanusiaan adalah kewajiban semua warga negara Indonesia.

Seharusnya kita bisa dan harus memilah mana kepentingan perebutan suara terbanyak dengan pemulihan kehidupan warga negara yang terkena bencana, sehingga dalam mengatasi akibat bencana seharusnya berlomba-lomba berbuat yang terbaik mengatasi dampak kehancuran akibat gempa dan tsunami itu.

Marilah kita memberi contoh yang baik dan benar bagaimana seharusnya dengan cara dan baik dan benar pula tidak hanya sekedar mengkritik . Kita berharap agar kita sebagai komponen bangsa saling asih, saling asah dan saling asuh, sehingga terlihat kedewasaan berpikir dan bertindak. Dengan demikian kehampaan omongan ‘memang lidah tak bertulang dan tak terbatas kata-kata itu’, hanya dalam lagu Bob Tutupoli saja. (Bch)