JAKARTA (IndependensI.com) – Pengamat pertambangan Jannus T Siahaan menilai, keberhasilan Inalum menerbitkan dan menjual laris global bond bukanlah keberhasilan Inalum sendiri.
“Jika bukan untuk pembiayaan divestasi 51 persen saham Freeport, mana mungkin Global Bond tersebut bisa laris. Investor melihat prospek bisnis Freeport, yang sama sekali tak ikut dibangun oleh Inalum. Jadi lebih besar peran prospek bisnis Freeport dan nama besar Freeport ketimbang Inalum,” kata Jannus kepada IndependensI.com belum lama ini.
Ia dimintai tanggapannya soal penerbitan global bond oleh inalum senilai Rp 53 triliun yang disebut-sebut sebagai obligasi terbesar di industri pertambangan dan mendapatkan minat investor tinggi sampai oversubscribe.
Berikutnya Jannus menggarisbawahi bahwa divestasi saham Freeport yang menggunakan dana Global Bond-notabene nama dan bentuk lain dari utang-juga bukan sebuah prestasi.
“Itu hal yang biasa saja. Bahkan Inalum dalam hal ini, hanya menjadi “pengutang” yang kemudian dananya dipakai untuk membeli saham Freeport. Yield dan dana tersebut tentu harus dibayar, kata Jannus.
Lebih lanjut ia mengatakan , setelah ada aturan Holding BUMN, Inalum sebagai BUMN tidak memerlukan persetujuan DPR untuk berutang “Jadi terkesan Inalum memang sedang memainkan peran “bebas” nya setelah ada Holding BUMN tambang.”
Jannus juga mengritisi penjelasan Inalum kepada publik yang kurang detail. Selama ini publik hanya mengetahui bahwa pemerintah via Inalum berhasil mendivestasi 51 persen saham Freeport, tanpa ada penjelasan detail yang masif seperti apa prosesnya.
Bahkan mungkin akan banyak muncul sinisme di ruang publik jika mengetahui bahwa divestasi berhasil dilakukan karena Inalum berhasil berhutang untuk membiayainya.
Gagap
Divestasi yang diawali dengan right issue 40 persen saham Freeport, kemudian inbreng Hak Partisipasi Rio Tinto ke dalam saham, dianggap oleh Jannus, proses yang gagap dijelaskan kepada publik, sehingga tak banyak muncul kritisisme dalam proses ini.
“Saya bahkan merasa kemahalan harganya karena Inalum justru menunggu Freeport untuk right issue dulu, Hak Partisipasi Rio Tinto diinbreng jadi saham dulu, kemudian baru ditransaksikan. Sehingga konversinya menjadi lebih mahal,” kata Jannus.
Semestinya, papar dia, Inalum membeli Hak Partisipasi Rio Tinto dulu sebelum Freeport Right Issue, maka harga yang harus dibayar akan jauh lebib murah. Nah baru setelah Hak Partisipasi dikantongi, Freeport menerbitkan saham baru, dan kemudian Hak Partisipasi yang sudah jadi milik Inalum diinbreng jadi saham.
“Dengan proses itu, Inalum bisa lebih efisien dalam mengeluarkan dana, boleh jadi bisa jauh dibawah 53 T yang harus dibayarkan ke Rio Tinto.”
Ia menyayangkan proses semacam ini tak banyak dibuka ke publik, sehingga tak banyak pula yang melihatnya secara detail. Apalagi, divestasi tersebut hanya satu point dari empat point besar perjanjian Indonesia dan Freeport.
Inalum sama sekali belum boleh berbesar hati, sebagai BUMN, berutang ke lembaga pembiayaan adalah aksi bermakna ganda, yakni berutang dana dan berhutang moral kepada publik. Oleh karena itu, justru Inal harus lebih hati-hati, bukan malah berbesar kepala.