BATAM (IndependensI.com) – Wilayah perbatasan menjadi salah satu tempat strategis para penggiat radikalisme dan terorisme, terutama untuk melakukan aksi antar negara. Untuk itulah, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus memperkuat masyarakat kawasan perbatasan tentang potensi ancaman radikalisme dan terorisme.
Salah satunya dengan menggelar Dialog Pencegahan Radikalisme Terorisme di wilayah perbatasan. Kali ini dialog digelar di Batam, Kepulauan Riau (Kepri). Dialog ini digelar BNPT bersama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Kepri dengan dihadiri oleh unsur masyarakat antara lain Forkominda Kepri, kepolisian, TNI, Organisasi Kepemudaan, Ormas Islam, akademisi, dan tokoh agama di Hotel Harris Batam Center, Kamis (22/11/2018).
Dialog ini dibuka oleh Wakil Gubernur Kepulauan Riau, Isdianto, S.Sos, MM, dengan menampilkan narasumber Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. Ir. Hamli, ME, serta mantan teroris yang juga ahli kimia jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) Kurnia Widodo, dan dipandu oleh pengamat terorisme dan Timur Tengah, Dr. Suaib Tahir.
Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. Ir. Hamli, ME mengajak tokoh-tokoh dan seluruh elemen masyarakat pada umumnya, agar memainkan peran aktif dalam mengantisipasi berbagai upaya kelompok yang akan memanfaatkan kawasan perbatasan untuk melakukan aksi radikalisme dan terorisme. Pasalnya, mereka pintar menggunakan dalil-dalil agama untuk mempengaruhi masyarakat sekaligus merekrut anggota baru. Disinilah peran tokoh agama seperti ulama, kiai, ustadz, guru agama memiliki peranan penting untuk membendung propaganda sesat tersebut.
“Tokoh-tokoh agama harus bisa mengcounter narasi-narasi yang dikembangkan penganut radikalisme dan terorisme. Bagaimana pun mereka telah membajak agama untuk kepentingannya,” ujar Brigjen Hamli.
Hamli tidak menafikan bahwa fenomena terorisme bukan saja dalam Islam akan tetapi di hampir semua agama. Kelompok teroris menjadikan agama mereka sebagai alat untuk mencapai keinginannya.
Selain itu, mantan Kabagops Polri ini menjelaskan bahwa proses menjadi teroris bukan instan, tetapi melalui proses yang dimulai dari sikap intorensi terhadap orang lain, yang kemudian berpandangan ekstrem dan radikal. Benih-benih ekstrimisme dalam diri setiap orang yang sudah terpapar akan menyulut yang bersangkutan menjadi pelaku aksi kekerasan.
Ia mencontohkan beberapa pelaku yang telah melakukan tindakan terorisme karena pemikiran dan pandangan mereka yang sangat ekstrem.
“Dinamikanya bervariasi, bisa karena ideologi, dendam, pengaruh lingkungan dan juga karena solidaritas komunal,” ungkapnya.
Selain itu, kata pria kelahiran Sampang ini, jaringan terorisme yang ada di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari jaringan terorisme yang ada di kawasan Timur Tengah. Mulai Al Qaeda, pimpinan Osama bin Laden hingga ISIS yang dipimpin oleh Abu Bakar Al-Baghdadi. Jaringan ini juga tersebar di beberapa daerah di Indonesia termasuk di wilayah-wilayah perbatasan.
Sementara itu, Kurnia Widodo menceritakan pengalamannya selama bergabung dengan jaringan terorisme. “Mereka memutarbalikkan dalil-dalil agama untuk kepentingannya. Padahal jelas itu sangat bertentangan dengan ruh agama Islam. Saya baru sadar setelah saya menjalani proses panjang, setelah sempat tersesat dalam ajaran radikalisme dan terorisme,” kata Kurnia Widodo
Ia mengakui pola pikir kelompok ekstrem terorisme dalam masalah keagamaan sangat aneh dan bertolak belakang dengan logika. Dari situ ia menyadari bahwa apa yang dilakukan dan dipahami adalah sebuah kesalahan besar dalam hidupnya.
“Saya mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya di Batam agar senantiasa menjaga keluarganya dari pengaruh-pengaruh negative, apalagi terkait radikalisme terorisme. Karena yang demikian itu hanya akan membuang waktu dan pada ujungnya akan menyesal atas apa yang pernah mereka dilakukan dan pahami,” tandasnya.