IndependensI.com – Kita tahu bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-undang setelah reformasi, karena begitu masifnya perlakuan koruptif yang diwariskan Orde Baru dan aparat penegak hukum dianggap tidak efektif dan tidak efisien untuk menanggulanginya.
Tetapi setelah KPK terbentuk dan berperan positif aktif memberantas korupsi dengan berbagai cara dan modus untuk menekan tindak pidana korupsi ternyata tetap saja tidak memberi efek jera. Bahkan ketua-ketua umum partai, ketua DPD, Ketua DPR, Ketua Mahkamah Konstitusi serta menteri dan dirjen serta kepala daerah bagaikan antri menghadap meja hijau serta “berebut” kamar di Lapas Sukamiskin, Bandung.
Hampir tidak ada lagi profesi yang terbebas dari tipikor. Tetapi ada juga tokoh, pejabat dan elit yang terkena hanya kesalahan administrasi alias tidak makan “duit”-nya, tetapi merugikan keuangan negara serta memperkaya orang lain atau korporasi, namun tetap melanggar UU.
Setelah ada kewenangan baru berbentuk Operasi Tangkap Tangan (OTT) di mana KPK berwenang menyadap pembicaraan target melalui alat komunikasi mereka-mereka yang diduga akan melakukan penyuapan, maka KPK semakin gencar dan “seksi” di mata masyarakat.
Namun tidak demikian bagi para elit yang tidak senang dengan pemberantasan korupsi, berbagai hal mengancam eksistensi KPK seperti halnya pembentukan Panitia Khusus Hak Angket KPK oleh DPR, kriminalisasi komisioner KPK dan mungkin saja ada kaitannya dengan kegiatan KPK dengan penyiraman air keras kepada penyidik senior KPK, Novel Baswedan.
Selain kelonggaran-kelonggaran warisan Orde Baru yang memungkinkan korupsi merajalela, sistem politik kita juga kemungkinan besar berpengaruh terhadap suburnya korupsi terutama oleh elit politik. Sebab tanpa dana omong kosong bisa jadi caleg dan anggota legislative, sebab tanpa mahar mungkin sulit untuk jadi calon apalagi untuk nomor jadi.
Demikian juga kalau ingin menjadi pejabat. Adalah tidak mungkin jadi calon kepala daerah dan menjadi bupati/walikota dan gubernur tanpa uang ongkos politik dan biaya politik, apalagi membeli suara melalui berbagai cara termasuk serangan fajar. Juga harus menyiapkan dana bagai partai, walaupun tidak ada yang mengakui adanya mahar ke partai serta biaya-biaya lainnya.
Tapa disadari semua itu menjadi beban, sehingga mau tidak mau dana-dana yang dikeluarkan harus dikembalikan sekaligus mempersiapkan diri untuk periode yang akan datang, kira-kira itulah yang terjadi dan merupakan ladang baru bagi KPK dengan OTT-nya.
Ketua KPK Agus Rahardjo bagaikan frustrasi mengatakan jika KPK memiliki tenaga yang cukup, KPK akan melakukan operasi tangkap tangan (OTT) setiap hari terhadap kepala daerah dan penyelenggara negara. Hal itu diungkapkannya dalam diskusi Review Konvensi PBB Anti Korupsi (UNCAC) di kantornya, Selasa, (27/11), November 2018. Agus Rahardjo menduga masih banyak kepala daerah dan penyelenggara negara melakukan korupsi. “Kalau kami punya orang, pejabat bisa habis hari ini juga,” ujarnya.
Menurutnya, peningkatkan pemberantasan korupsi diperlukan peran serta masyarakat, dan peran masyarakat tersebut adalah hak dan kewajibannya untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bebas dari KKN. Oleh karenanya peran serta masyarakat itu perlu dimasukkan dalam UU Tipikor, karena menurut dia yang sudah bergerak baru hanya penegak hokum, masyarakat belum.
Masa jabatan Komisioner KPK pimpinan Agus Rahardjo yang dilantik 21 Desember 2015 harus diakui sangat berkesan di hati masyarakat selain berprestasi gemilang juga mampu menepis hantaman angin puting beliung tentu dengan dukungan semua pihak terutama kemauan baik dari Pemerintah dengan kabinetnya yang kompak mendukung pemberantasan korupsi.
Presiden juga membentuk Satuan Tugas Sapu Bersih Pungli, nyatanya juga masih bagaikan macan ompong, Irjen-irjen yang sudah ada sejak Orde Baru, BPKP dan BPK mungkin dirasakan Agus Raharjo justru bagaikan pemukul kentongan di malam hari sehingga kurang berperan memberantas korupsi. Jalan satu-satunya adalah mengajak masyarakat melalui perundang-undangan, persoalannya, kalau pintu UU KPK dibuka apakah lebih baik atau sebaliknya?
Bagi masyarakat, bangsa dan negara lebih baik KPK menambah Penyidik dan melakukan OTT dilakukan setiap hari agar para koruptor bersih, tetapi KPK juga tidak lupa dengan tugas rutin yaitu mensupervisi penegak hukum lain. Tetapi Kepolisian dan Kejaksaan juga harus berbenah dan mempersiapkan diri sebagai penegak hukum agar efisien dan efektif memberantas korupsi. (Bch)
Look my site is good
___
http://davesdevotional.org
Nice posts! 🙂
___
Sanny